12. Langit yang Terus Berusaha

1217 Kata
“Sudah ... sudah sana pulang, ... sudah malam!” sergah Audi sesaat setelah mengakhiri ciuman mereka. Tentunya, ia juga sengaja mengusir Ken. Tatapan Audi langsung mengawasi ke sekitar belakang Ken. Di tengah suasana yang masih sepi, ia tak melihat tanda-tanda kehidupan lagi selain mereka. “Syukurlah ... sepertinya dia memang sudah pergi,” batin Audi seiring dirinya yang menghela napas lega. “Baru ketemu, langsung usir aku buat pergi. Lagi pula, kamu sudah minta aku nyium kamu. Dengan kata lain, kita wajib nikah! Awas saja kalau kamu enggak mau, aku laporin ke pak Ustad biar kita dinikahin paksa,” ucap Ken tak main-main. Audi menatap sebal Ken, kemudian balik badan dan meninggalkannya. Audi merasa tak membutuhkan Ken lagi karena Langit juga sudah pergi. “Di, ... kenapa mendadak pindah? Terus, kamu sakit apa? Sudah enakan kan? Susah payah aku dapat alamat baru kamu. Aku khawatir banget ke kamu karena kamu serba tiba-tiba ngilang. Kebiasaan banget kamu tiba-tiba ngilang,” ucap Ken sembari menuntun motornya. Ia mengikuti Audi. “Ya Allah ... percuma banget aku repot-repot pindah. Kalau pada akhirnya, Ken tahu juga. Karena alasanku pindah juga demi menghindari Ken,” batin Audi, lagi-lagi mengabaikan Ken. “Semoga sih, memang hanya Ken yang harus aku hindari. Semoga Om Langit udahan enggak kejar aku lagi," batin Audi lagi. Karena andai jadi ada orang lain yang harus ia hindari, otomatis hidup Audi akan jadi makin rumit. “Audi langsung balik ke setelan awal, cuek bebek lagi. Jadi, siapa yang Audi hindari dan sampai bikin kami ciuman bibir selama tadi? Sumpah ya, satu minggu ke depan aku enggak akan mandi maupun gosok gigi. Biar aromanya Audi tetap awet dan ... dan memang secandu ini!” batin Ken girang sekali. Senyum di wajah Ken benar-benar lepas. Pipinya yang putih bersih juga jadi merona, seiring tatapannya yang mengawasi sekitar. Layaknya Audi, Ken juga tak menemukan apa pun di belakang sana. Langit terlalu pandai bersembunyi di belakang pohon palem yang menghiasi sepanjang jalan sana. “Mereka mau ke mana?” pikir Langit yang juga langsung yakin, kepergian Audi dan sampai diikuti Ken, akan menuju tempat tinggal Audi. Hingga karena itu juga, Langit berdalih bahwa dirinya harus siap-siap menyusul. *** Sudah sekitar pukul sepuluh malam, tetapi seseorang mengetuk pintu kos Audi. Audi yang baru membasuh wajahnya, berangsur membuka pintu. Tak disangka, buket mawar merah terbilang besar, langsung memenuhi pandangannya. Audi pikir, itu kelakuan Ken. Namun ternyata, itu kelakuan Langit. Langit yang menyambutnya penuh senyum, ditemani ibu Rima selaku pemilik kos. “Mentang-mentang orang kaya apa gimana, bisa diizinin masuk kos gini?” batin Audi ketar ketir sendiri. “Audi ... ternyata kamu kenal Pak Langit? Beliau ini masih kerabat saya,” ucap ibu Rima. “Innalilahi,” batin Audi makin bingung saja. Setelah obrolan singkat, ibu Rima meninggalkan mereka. Langit terlihat sangat senang dan menunggu Audi mempersilakannya masuk ke dalam kamar kos-nya. “Lima menit saja, aku mau ngobrol sama kamu,” ucap Langit. “Kamu butuh tempat tinggal lebih dari ini? Aku akan kasih.” “Aku khawatir ke kamu. Selama kamu pergi, aku terus mencari kamu.” Langit masih bicara kepada Audi yang terus menunduk. Gadis cantik itu terlihat sengaja mengabaikannya. “Aku ngantuk. Capek. Aku juga harus istirahat cukup,” ucap Audi, masih tetap menunduk. “Selain itu, ... aku juga akan menikah. Enggak enak kalau calonku sampai tahu ada pria masuk ke kamar kos aku,” ucap Audi terpaksa mundur karena yang ia larang, justru menerobos masuk. Langit sengaja menentang larangan yang baru saja Audi katakan. Pria dewasa itu tak peduli karena niatnya mendapatkan Audi sudah bulat. “Duh ... gimana, ini?” batin Audi memilih keluar meninggalkan kos-nya. Audi menunggu Langit di luar kamar kos. “Anak itu ... apa yang sebenarnya terjadi?” pikir Langit yang kemudian menaruh buket mawar merah, di tempat tidur Audi. Pandangan Langit mengawasi suasana di sana. Semuanya masih di dalam tas dan terkapar di pinggir lantai. Begitu juga dengan barang-barang yang tadi sempat Audi beli. Menurut informasi yang Langit dapat dari ibu Rima, Audi masih baru di sana. “Jadi, ... sebelum dari sini, dia tinggal di mana?” pikir Langit. Ia tak menemukan benda mencurigakan di sana. Karenanya, ia sengaja menyusul Audi keluar dan memintanya masuk. “Kamu sudah makan belum? Kita makan dulu, habis itu aku pergi. Kamu mau makan apa? Kita pesan, ya?” ucap Langit makin perhatian saja. Audi tetap bertahan di teras depan kos sebelah. Ia kebingungan, dan makin yakin, menghindari pria makan bergelimang harta layaknya Langit, sangatlah sulit. “Sepertinya sebentar lagi hujan. Sudah malam, sementara kamu belum makan dan kamu wajib istirahat,” lanjut Langit menghampiri Audi. “Aku akan makan sendiri, Om pulang saja.” Audi bergegas masuk kamar kos-nya, dan buru-buru menguncinya. Ia juga buru-buru mengunci pintu kamar kos-nya. Sikap Audi yang terus menghindarinya, membuat Langit refleks menghela napas dalam dan sebisa mungkin bersabar. Ia melangkah dan berhenti tepat di depan kamar Audi. “Ya sudah, Di. Jangan lupa makan. Besok pagi kamu mau sarapan bareng, enggak?” Di dalam kamar kos, Audi mondar-mandir gelisah. “Gimana dong, kok malah gini!" batin Audi makin bingung saja. Audi kewalahan, dan nyaris menangis ketika keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Langit sudah datang lengkap dengan membawa sarapan. Langit tak lagi memakai setelan jas warna maroon. Kali ini, pria itu memakai nuansa biru gelap untuk penampilannya. Rambut lurus rapinya masih agak basah. Wajahnya yang dipenuhi ketenangan, juga terlihat bersih. Aroma sabun dan sampo, berbaur menjadi satu dengan aroma parfum yang Langit pakai. “Niat banget nih orang biar aku enggak bisa nolak!” batin Audi yang kemudian merenung. Audi berpikir, jika dirinya hanya lari sekaligus menghindar, pria matang seperti Langit pasti akan tetap sabar. “Om Langit ini setipe papa. Mereka sama-sama sabar dan rela terluka hingga babak belur, asal orang yang disayangi, bahagia,” batin Audi mau tak mau mempersilahkan Langit masuk ke dalam kosnya. “Kamu kerja?” sergah Langit sambil masuk menyusul Audi. Dari penampilan Audi yang lagi-lagi rapi meski rambutnya masih basah dan tengah dikeringkan menggunakan handuk. Langit yakin, Audi memang kerja kantoran. Apalagi saat di CCTV saja, Audi yang lagi-lagi memakai rok selutut dan menciptakan keindahan tersendiri di bagian sana, juga terlihat layaknya karyawan tetap di sebuah instasi. Langit tersipu sendiri hanya karena kesibukannya mengawasi keindahan pinggang hingga lutut Audi. Bagian di sana akan terlihat sangat anggun ketika memakai rok layaknya sekarang. “Aku kerja. Om sendiri? Aku kerja dan satu kantor dengan calon suamiku,” ucap Audi sambil mengeringkan rambut lurusnya menggunakan handuk besar. Audi berpikir, membuat Langit cemburu menjadi satu-satunya cara untuknya membuat papa mantannya itu menyerah. Walau sebenarnya, Audi juga khawatir, bahwa meski dirinya akan menikah dan terus memanas-manasi Langit, yang ada pria itu malah tetap sabar dan bersedia menunggunya. “Eh, ... nih orang emangnya enggak tahu kalau anaknya dipenjara?” pikir Audi yang kemudian dikejutkan dengan kehadiran Langit yang sudah di sebelahnya. “Kamu enggak pakai hair dryer saja?” tanya Langit. “Rambutku sudah rusak dan kering banget. Kasihan kalau harus dihair dryer. Bisa makin kering sama rontoknya juga makin parah,” ucap Audi langsung bungkam lantaran Langit sudah lebih dulu mengambil sisir dari meja kemudian menyisirinya. “Aku tahu kamu sengaja menghindari aku. Ayo kita lihat, sampai kapan kamu bisa menghindar,” batin Langit, dan membuat Audi lagi-lagi mengatakan “Innalilahi”, jauh di lubuk hatinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN