Pintu kamar terbanting keras saat Leonard masuk, dentumannya menggema seperti ledakan kemarahan yang tak tertahan. Ia berdiri sejenak di ambang pintu, napasnya memburu, matanya merah menahan emosi yang meluap-luap. Ia melempar jasnya ke sofa, lalu mengacak rambut sendiri dengan frustasi. Bayangan Vivian yang duduk meringkuk sambil menangis terus menghantuinya—begitu rapuh, begitu menyedihkan. Tapi yang lebih menyakitkan lagi adalah bayangan wajah Karen, istrinya, tersenyum lembut sambil mengusap kepala Kelvin…bayangan yang tak pernah benar-benar pergi. “Cukup!” desisnya lirih, nyaris seperti menghardik diri sendiri. Tapi semakin ia mencoba mengusir semua itu, semakin jelas semuanya menyeruak di benaknya. Ia jatuh terduduk di tepi ranjang, menunduk dalam-dalam, menahan sesak di da-da.