Leonard tidak langsung menjawab. Pria itu hanya menarik napas dalam, masih menatap Vivian seakan mencari kepastian dalam dirinya sendiri. “Aku…” ujarnya pelan, lalu terdiam lagi. Vivian mereguk saliva, menanti dengan jantung yang berdebar keras. “Aku hanya…heran,” lanjut Leonard akhirnya, suaranya rendah. “Kenapa setiap kali aku melihatmu, rasanya seperti melihat bayangan dari masa lalu.” Vivian membatu. Wajahnya tegang, matanya melebar. Dia tahu siapa yang dimaksud Leonard tanpa harus menyebutkan namanya. Leonard menggeser piringnya perlahan, lalu menyandarkan tubuh ke kursi. “Tapi kamu bukan dia. Aku tahu itu. Hanya saja, kadang sulit untuk tidak…terjebak dalam kenangan.” Vivian menunduk, napasnya terasa berat. Suasana hening lagi, menyisakan ketegangan yang tak terucap. “Aku minta