“Luna … kau mau pergi lagi?” “Iya, Kek. Aku mau menemui Calian dan memberinya bekal makan siang miliknya.” Sembari bersenandung dengan perasaan yang ceria, Luna menata satu-persatu makanan yang sudah ia siapkan dengan hati-hati. Kakeknya hanya menggeleng kecil melihat tingkah cucunya tersebut, tetapi ia tersenyum kecil. Luna terlihat sangat bahagia ketika bersama Calian dan berada di sekitarnya. Seolah-olah Calian adalah poros di kehidupan Luna. Sejak dahulu hingga sekarang ini. Seperti sambaran kilat, sebuah gambaran melesat di pikiran kakek tua itu. Ia melihat serentetan kejadian yang membuatnya sampai harus berpegangan erat pada pinggiran kursi. Sebenarnya, apa yang baru saja ia lihat itu? Bagaimana bisa kejadian mengerikan seperti itu akan terjadi di tanah suci ini? “Kek, Kakeeek!”