Kedatangan Kakak Kedua

1424 Kata
“Segarnya dunia!” Edith keluar dari kamar mandi dengan perasaan riang. Rambutnya sudah beberapa hari ini belum dibasuh dan akhirnya ia merasakan kepalanya ringan kembali seperti membawa bulu di sana. “Nyonya! Perhatikan langkah anda, lihatlah, airnya jadi menetes dimana-mana. Akan sangat bahaya jika anda jatuh terpeleset karena menginjak ini. Duh, padahal dulu Nyonya sendiri yang berulang kali mengatakan pada saya untuk tetap selalu memperhatikan tata krama.” Anne mengelap tetesan air di lantai itu dengan kain bersih. Edith bersiul pelan mendengar ocehan Anne yang sangat mirip seperti ibunya. “Itu hanya tetesan kecil, aku tidak akan terjatuh hanya karena air seperti itu. Lagipula, Anne, lupakanlah soal tata krama dan hiduplah dengan bahagia. Kau tahu, ketika kau terlalu fokus dalam melakukan satu hal, kadang kau lupa bagaimana cara melakukan yang lainnya.” Edith meletakan handuk di genggamannya lalu berjalan menuju kursi rias dan duduk di sana. Edith menguji seberapa kenyal wajahnya dan melihat bahwa hampir tak ada kantung mata di sana. “Aku sudah lama mencurigainya, tapi ini sangat menakjubkan! Anne, bagaimana bisa kulit seorang wanita bisa sesempurna ini?” Edith masih mengotak-atik wajahnya. Anne berdiri, ia mengambil handuk yang tergeletak di lantai dan menggenggamnya bersamaan dengan kain lap tadi. “Apa anda sedang memiliki humor yang tinggi, Nyonya? Kenapa anda terus-terusan berbicara seolah anda berada di tubuh orang lain?” Edith membeku. Ia lalu menoleh horror ke arah Anne. “Apa kau sudah mengetahuinya?” “Apa maksud Nyonya? Berhentilah bercanda dan segeralah bersiap, Nyonya Edith. Kita harus menuju ke bawah untuk sarapan pagi.” Anne berdecak ringan, Edith menarik napas lega, namun telinganya mendengar kalimat sarapan pagi dan itu membuatnya kesal lagi setelah mengalami kejadian semalam. “Bawakan saja sarapanku ke sini, Anne.” Edith menggeleng kuat, dia tak mau bertemu dengan Aiden atau semua antek-antek haremnya terlebih dahulu. Ia sudah cukup dipermalukan kemarin malam. Anne berkacak pinggang, dia heran mengapa kelakuan Duchess semakin hari semakin aneh. Duchess yang selalu taat aturan dan tak pernah protes apapun, kini menjadi seenaknya sendiri dan sangat spontan terhadap apapun. “Itu sama sekali tidak boleh, Nyonya.” “Kenapa? Lagi pula itu hanya sarapan, bukan? Kenapa aku harus dan wajib untuk datang ke sana?” Edith mengerucutkan bibirnya, ia sudah mengukuhkan hatinya. Sekali tidak mau, tetap tidak mau! “Masalahnya adalah bukan wajib atau tidak wajib, namun ….” Anne menggantungkan kalimatnya dengan sengaja, membuat Edith yang berpose seperti gadis merajuk itu menoleh karena penasaran. “Kakak anda, Pangeran Arthur datang ke sini untuk mengunjungi Nyonya.” Edith lantas membulatkan matanya karena terkejut setengah mati. Oh tidak, itu sama sekali tidak bagus! Dengan secepat kilat, Edith langsung memakai gaun paling simpel dan mudah untuk dibawa bergerak sesuai permintaannya. Ia hanya diberi sanggul rendah dengan satu hiasan mutiara di rambutnya. Edith, Anne dan juga Poppin langsung turun ke bawah dengan sedikit tergesa. Karena sejauh yang Edith tahu dari membaca buku primbon yang diberikan oleh Anne, bahwa Pangeran Arthur adalah petualang kerajaan dan juga seorang penilai karakter yang handal. Kakaknya bisa tahu itu Isabel atau bukan hanya dari caranya berjalan atau mengedipkan mata. Jika demikian, maka Edith akan berada di dalam bahaya! “Ka-Kakak,” ucap Edith saat ia sudah sampai di ruang makan super besar tersebut. Di sana sudah ada Aiden, Luna dan beberapa selirnya. Pria yang memakai baju coklat khas petualang dan juga kulit gelap hasil terbakar matahari itu pasti kakaknya, Pangeran Arthur. “Freditha!” Arthur meninggalkan kursinya dan langsung menghampiri Edith yang agak kesusahan berdiri saking gemetar karena takut. Arthur tidak memperhatikan itu dan langsung memeluk adik kecilnya dengan hangat. Edith terkejut, namun ia tak menolaknya. Karena ia merasa bukan pelukan intim antar pria-wanita, namun sangat hangat dan nyaman. Arthur melepaskan pelukannya dan menoleh ke arah Aiden yang terus-terusan menatap mereka. “Mohon maaf, Duke. Saya ingin meminjam sebentar istri kesayangan anda, apa itu tidak apa-apa?” Aiden malu saat ia tertangkap basah menatapi mereka berdua secara terus-terusan. Apalagi kini Edith menatapnya dengan penuh kekesalan. Di sekelilingnya muncul aura kematian yang seolah mengatakan agar dia tidak ikut campur dalam semua masalahnya. “Baik, anda bisa membawanya sebentar, Pangeran.” “Itu bagus, ayo Freditha, ikut Kakak ke luar sebentar.” Arthur tersenyum manis, bahkan para wanita di ruangan itu pun merasakan betapa manis dan hangatnya senyuman itu, mereka seolah dibuat meleleh seperti coklat yang lumer akibat dipanaskan oleh matahari. Edith mengangguk, ia menerima uluran tangan Arthur dan mengikutinya keluar. Apakah Edith salah jika menaruh perasaan pada kakaknya sendiri? Tetapi dia bahkan bukan kakak kandungnya, lalu itu tidak akan menjadi masalah bukan? Edith tengah tertawa jahat sendiri di dalam batinnya. “Ada apa denganmu? Aku tidak pernah melihatmu tertawa seperti itu selama ini.” Suara Arthur mengejutkan Edith, dia terkekeh pelan karena malu. “Ah, tidak apa-apa.” “Kemarilah, duduk di sini.” Arthur melepaskan genggamannya dan mempersilahkan Edith untuk duduk di bangku di pinggir kolam terlebih dahulu, barulah ia duduk di sebelahnya. Anne dan Poppin menunggu di pintu lorong, mereka tahu harus menjaga jarak agar privasi tuan mereka tetap terjaga. “Freditha, katakan pada Kakak. Siapa yang melakukan ini padamu?” Tiba-tiba suara Arthur yang terdengar hangat dan nyaman langsung berubah menjadi serius seperti bilah pedang. Edith mengerjap bingung, ia tidak tahu harus mengatakan apa. “Apa maksud Kakak?” Arthur menghela napasnya pelan. “Tidak usah menyembunyikan hal ini lagi. Aku hanya bersikap seperti orang bodoh di hadapan Duke tidak berguna dan wanita-wanitanya itu. Tapi denganmu, aku akan selalu menjadi serius. Kau adalah prioritasku saat ini, Edith.” Arthur menatapnya dalam. Edith menatap ke arah lain. “Aku juga tidak tahu, Kak. Ingatanku kabur ketika aku bangun, dan aku hanya mengandalkan jurnal harianku yang selalu kutulis saat itu.” Ini tidak apa-apa kan? Ini benar tidak apa-apa kan? Edith menggigit bibirnya sendiri. Dia merasa tidak enak pada Arthur, namun dirinya tak bisa begitu saja mengatakan bahwa dia adalah orang dari masa depan yang tiba-tiba berpindah ke masa lalu karena mati. Babam! Bukannya dipercaya, justru Edith akan dibakar karena dikira sebagai penyihir ilmu hitam. “Aku paham.” Arthur mengangguk setelah berpikir cukup lama. “Maafkan aku, Edith. Kakakmu ini selalu sibuk dengan perjalanannya hingga lupa tentang penderitaanmu dengan pria tidak berguna itu. Jika bukan karena Ayah dan perasaan konyolmu itu, kau pasti akan mendapat hidup yang lebih baik.” Arthur mengeluarkan emosinya. Edith menatap kakaknya tersebut, jadi dia juga tahu bahwa Isabel lah yang berperan dalam kehancuran hidupnya sendiri. “Tapi aku sekarang sudah tidak memiliki perasaan apapun padanya.” “Kau benar, kau selalu saja menjawab seperti itu jika aku membahas tentang—” Arthur berhenti, ia kemudian menatap Edith dengan tatapan seperti melihat seekor alien dari antah-berantah. “Kau tadi bilang apa?” “Aku tidak memiliki apapun lagi untuk Duke, Kak. Maafkan aku karena baru sadar setelah sekian lama, namun aku merasa bahwa aku akan lebih baik jika berpisah saja dengannya. Maukah kau membantuku untuk itu?” Edith memainkan kartunya, ia berharap jika Arthur akan mempercayainya dan menjadi pion penting dalam pelaksanaan kehidupan barunya nanti. “Tunggu sebentar, apa kau benar-benar Freditha?” Arthur mengernyit, ia menatap Edith dengan penuh ketidakpercayaan. Edith mengulum bibirnya, tentu saja, tidak akan semudah ini. “Tentu saja ini aku, kau bahkan lupa dengan adikmu sendiri setelah bertahun-tahun pergi menjelajah! Hahahaha!” tawanya garing, Edith menatap ke arah lain kembali dan berharap setidaknya untuk satu persen Arthur akan percaya kata-katanya. “Freditha, darimana kau belajar bicara nonformal? Kau selalu berbicara dengan kaku bahkan denganku, bukankah begitu?” Arthur menyidik lagi. Edith ingin sekali menjedotkan jidatnya sendiri karena sudah tidak kuat lagi dalam mempertahankan pembicaraan ini. “Aku ... belajar dari Anne, agar bisa berkomunikasi lancar dengannya.” Edith mencari alasan. Maafkan aku, Anne! “Begitu rupanya.” Arthur akhirnya memilih untuk tidak membahas ini lagi, itu membuat secercah kelegaan besar di hati Edith yang serasa hampir meledak berulang kali. Arthur kemudian berdiri, ia lalu megulurkan sebuah undangan berstempel emas ke hadapan Edith. “Apa ini?” tanya Edith singkat. Arthur kembali ke mode hangat miliknya, “Bukalah, dan kau akan tahu.” Edith mengambil dan langsung membuka amplop berukiran sulur emas tersebut. Ia mengambil kertas yang ada di dalamnya dan membacanya dengan cepat. “Pesta Debutante?” “Benar, ini pesta Debutante Iris kita yang akan diadakan dalam tiga hari lagi. Ayah juga akan mengadakan jamuan besar, jadi datanglah. Kau harus menikmati pesta tersebut. Aku akan menunggumu di sana, adikku yang manis.” Arthur menarik kedua sudut bibirnya, membuat senyuman yang memikat hati, namun itu cukup menenangkan Edith. Setidaknya, ia punya keluarga di sini. “Aku akan datang, terimakasih, Kak.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN