Edith refleks mundur satu langkah, ia sama sekali tidak takut dengan playboy cap kakap ini, namun wajah Aiden kini terlihat sangat aneh di matanya. Edith kemudian melebarkan matanya, ia lantas dengan spontan menutup hidungnya dari bau menyengat yang menguar tajam dari arah Aiden. “Apa kau mabuk, Duke?”
Satu cegukan. Aiden menggeleng pelan. “Aku adalah Duke dari keluarga Porvich. Mana mungkin aku akan mabuk dengan sebotol wine murahan dari pelayan itu. Aku hanya ... mabuk ....” Edith menepuk jidatnya, ia sudah lelah akan kesialan yang terjadi hari ini. Kenapa Aiden harus datang dan mabuk secara terang-terangan di depannya. Dia pikir memangnya ini klub malam?
Edith menggeretnya masuk ke dalam kamar, setidaknya pria ini tidak boleh sampai terlihat oleh pelayan atau mereka akan mulai menyebarkan rumor tentang Duke yang mabuk dan mengunjungi istrinya yang meminta cerai karena kasihan. Itu hantaman langsung di harga diri Edith jika Aiden benar-benar akan melakukan hal itu. “Aku akan memanggil beberapa pelayan, duduklah dan coba dapatkan kembali kesadaranmu.”
“Tunggu.” Dengan cepat Aiden mencekal pergelangan tangan Edith dan meremasnya pelan. “Tunggu, Duchess, ah bukan! Tunggu sebentar, Isabella.” Aiden kembali cegukan, Edith menatapnya jengah. Ia menarik tangannya dari cengkeraman Aiden namun itu justru semakin kuat dan susah untuk dilepaskan. Edith bahkan memakai kedua tangannya untuk melepas jari-jari Aiden yang menekan kuat di sana.
“Itu sakit, bodoh!” Geramnya sambil terus berusaha melepaskan diri.
“Tidak!” kini justru kedua tangan Aiden mencekal tangan Edith. Pria itu menatapnya dengan memelas seolah kehilangan sesuatu yang begitu penting. Edith ingin meludahinya namun percuma saja, itu tak bisa membangunkan orang mabuk. Satu detakan kuat tiba-tiba muncul di d**a Edith, tangannya yang lain kemudian menekan d**a kirinya, itu bukan dirinya, apa itu jiwa Isabel yang bereaksi?
Edith menatap Aiden yang masih mabuk dan bergumam tidak jelas. Edith mengepalkan tangannya kesal. “Apa kau masih mencintai berengsek ini setelah semua yang ia lakukan padamu?”
“ ... aku.”
Edith mengernyit, ia merasa Aiden seperti mengatakan sesuatu. Dia mendekat dan mencoba mendengarkannya lagi, siapa tahu itu adalah potongan dari masa lalu mereka yang dapat membantu Edith untuk keluar dari sini.
“Apa yang baru saja kau katakan, Duke?” pancing Edith, Aiden semakin merunduk dalam, membiarkan wajahnya menghilang di balik kerumunan rambut hitamnya. Aiden melemaskan pegangannya, ia seperti orang yang berada diantara fase sadar dan tidak sadar. Edith menghela napas dan segera menegakan dirinya kembali, ia tahu cara ini tidak akan berhasil.
“Maafkan aku.”
Itu adalah suara samar terakhir yang mampu ditangkap Edith ketika tubuhnya tiba-tiba terbanting ke atas kasur. Sebelum otaknya mampu mencerna lebih jauh, benda kenyal dan lembut menekan bibir Edith dengan paksa.
“Mmmh!” Edith berontak, ia menggerakan tangannya namun keduanya telah terkunci rapat oleh cengkeraman Aiden, ia kemudian berusaha menendang Aiden dan keluar dari kungkungannya. Nihil, tenaganya sejak awal tidak bisa dibandingkan dengan Aiden yang sering pergi keluar untuk berperang dan berburu. Terlebih lagi rangsangan tiba-tiba ini langsung melemahkan penjagaannya. Sial, aku lengah!
“Mmmmmh!” Edith berteriak dalam bungkamannya, namun Aiden tak mau melewatkan itu dan segera memasukan lidahnya ke dalam. Edith membelalak karena terkejut ketika ujung lidah Aiden mengenai langit-langit mulutnya dan membuat sensasi yang tidak tertahankan. Pria itu memagut bibir bawahnya dan membuat otak Edith semakin kacau. Dia tidak bisa berpikir sama sekali.
Edith memejamkan matanya erat, ia tidak berdaya melawan lagi ketika bibirnya mulai berpagutan dan hampir pasrah ketika nafasnya tersengal akibat adegan yang begitu tiba-tiba ini. “Hah!” saat ciumannya terlepas, mereka berdua saling berpandangan dengan napas terengah-engah dan air liur yang menetes di antara kedua orang tersebut.
Edith mengernyit murka. “Kau b******n bereng—”
Aiden tidak membiarkannya berbicara dan kembali membungkamnya dengan ciuman. Edith berteriak penuh amarah dan kesetanan di dalam hatinya. Namun, Aiden tidak lagi seagresif tadi. Dia hanya menempelkan bibirnya di sana dengan durasi yang sangat lama. Tidak bergerak ataupun berbuat yang lainnya. Edith menggulirkan bola matanya dan melihat pria itu jatuh tertidur di atasnya. Benar-benar tertidur, dengan posisi yang membuat siapapun menjadi salah paham ketika melihatnya.
“Ugh!” Edith mendorong tubuh Aiden sehingga terjatuh di sampingnya dan mendengkur nyaman. Edith menatapnya nyalang—Kau bisa tidur setenang itu setelah apa yang kau lakukan padaku? Ia ingin sekali mencari benda tajam dan langsung menusuknya tepat di jantung sang Duke. Edith menutup matanya, ia membersihkan area bibirnya dengan pinggiran baju. Edith menggosoknya keras, ia tak mau ada bekas di sana.
“Bagaimana bisa ciuman pertamaku menjadi semenjijikan ini?” gumamnya lirih sambil terus menggosok bibirnya, berbaring pasrah di samping pelaku yang menyebabkan penderitaan di hidupnya tersebut. Ketika Edith membuka matanya kembali, ternyata pagi telah datang dan ia sudah berada di ranjangnya, dengan selimut dan posisi yang nyaman. Edith langsung duduk tegap.
“Apa yang kemarin hanya mimpi?” Matanya bergulir dan melihat ada sepucuk kertas di atas nakas bersama dengan segelas air. Edith mengambil surat tersebut dan membacanya.
Aku meminta maaf dari lubuk hatiku tentang kejadian yang terjadi kemarin malam. Aku mabuk dan bersikap tidak pantas padamu, kau pasti sangat terluka. Jika kau sudah membaca suratku, datanglah ke bawah dan temui aku secara pribadi.
Aiden Porvich.
“SREEEEK,” Edith tanpa menunggu apapun langsung menyobek kertas tersebut dan meremasnya menjadi satu bulatan kecil. Ia lalu membuangnya ke sembarang tempat. Edith mengambil gelas berisi air putih tersebut dan langsung menenggaknya habis. Ia menjadi sangat dehidrasi akibat kewarasannya menguap dengan begitu cepat kemarin.
“Bagaimana bisa berengsek itu dengan tenang memintaku untuk menemuinya setelah kejadian memalukan itu? Tentu saja aku menolak!” Edith meletakan gelas itu dengan kasar kembali ke atas nakas. Ingatannya terbayang-bayang kejadian semalam, membuat pikiran Edith menjadi campur aduk. Dengan satu langkah sigap, dia menjedotkan jidatnya sendiri ke dinding kamar dengan sangat keras. Ia melakukannya sampai tiga kali dan berharap agar memori semalam bisa terhapus selamanya dari folder otaknya.
“Nyonya!” sebuah tangan menghalangi jidat Edith untuk kembali bersalaman dengan tembok. Edith mendongak dan melihat Anne tengah menatapnya penuh kemarahan. Alhasil kini jidatnya justru memerah dan menjadi sedikit bengkak.
“Anne, apa kau punya mantra untuk menghapus ingatan secara permanen?”
Anne memiringkan kepalanya. “Apa yang anda maksud?”
Edith menghela napas panjang, ia menyandarkan kepalanya di dinding dengan lemas. “Aku sudah tidak layak hidup lagi.”
Anne tiba-tiba berjongkok di hadapan Edith. “Anda jangan bilang hal mengerikan seperti itu! Saya dengar kemarin malam Duke datang ke kamar anda setelah anda membuat keputusan cerai. Bukankah itu hal baik?”
“Apa?” Edith menaikan alisnya tidak percaya. Bagaimana hal seperti kemarin itu bisa dikatakan sebagai hal baik? Datang dalam kondisi mabuk dan seenaknya saja mencuri ciuman pertama orang lain, tidak lain dan tidak bukan, Aiden adalah berengsek sejati!
“Betul, Nyonya. Itu menandakan jika Duke tidak mau berpisah dengan anda, dan lebih mementingkan anda dibanding seluruh selirnya yang lain.” Edith berdiri, ia tidak mau mendengarkan apapun lagi. “Berhentilah mengoceh, Anne. Aku sudah muak mendengar kata Duke ataupun Aiden. Aku mau mandi dan pergi berjalan-jalan sendiri.”
Anne merengut. “Nyonya memang selalu saja keras kepala, tidak heran jika Duke kesusahan untuk mendekatinya.”
“Aku bisa mendengarmu, Anne!” teriak Edith dari dalam ruangan kamar mandi. Anne menggigit bibirnya sebelum kemudian berdiri dan mengikuti Edith ke sana. Anne hanya berharap jika Nyonya bisa mendapatkan kebahagiaannya, terlepas ia menjadi istri sang Duke maupun tidak.