Serigala Putih dan Keputusan Tiba-tiba

1522 Kata
“A-anjing!” Edith berteriak spontan, ia melompat saking terkejutnya dan terjerembap ke belakang. Serigala putih itu menatap Edith kesal karena memanggilnya 'anjing'. “Jangan dekati aku, jangan dekati aku.” Edith trauma dengan anjing berbulu, di kehidupannya yang lalu ia selalu dimusuhi oleh para anjing dan dikejar kemanapun ia pergi. Serigala itu tidak memperdulikan Edith dan mengganti posisinya untuk tidur dengan membelakangi Edith, seperti ia tidak mau berurusan dengannya. Edith menghela napas lega, ia berdiri dan segera berjinjit pergi dari sana. “Citcitcitcitcit!” Itu adalah suara kelelawar malam. Edith bergidik ngeri saat melihat sekawanan kelelawar yang berputar-putar di atas mansion ini. Dia benar-benar dalam bahaya! Di belakangnya ada anjing besar dan di atasnya ada sekelompok kelelawar yang bisa menyerangnya kapan saja. Biarlah, lebih baik aku berjalan dengan cepat melewati para kelelawar itu. Mereka pasti tidak akan menyadari keberadaanku. Edith tidak akan memilih opsi untuk tetap berdekatan dengan seekor anjing besar dan berbulu. Ia menutup kepalanya dengan kedua telapak tangan dan segera mengambil ancang-ancang untuk berlari cepat. “HYAAAAT!” Edith berlari melewati tempat terbuka, pandangannya hanya berfokus pada gerbang mansion yang akan mengantarnya menuju jalan setapak dan kembali ke kamarnya. Ia harus sampai di sana. “Citcitcitcitcitcit!” Secara mengejutkan, gerombolan kelelawar itu secara beruntun terjun ke arah Edith. Mata mereka merah menyala dan taring mereka mencuat tajam. Edith tidak menyadarinya karena terus berlari ke arah depan. Langkah Edith tiba-tiba berhenti ketika ia mendengar suara geraman kuat dari belakangnya. Ia menoleh secara patah-patah ke belakang, melihat apakah punggungnya masih utuh atau tidak. Namun, apa yang ia lihat saat ini adalah anjing putih tadi tengah berdiri membelakanginya dan menatap marah ke arah kerumunan kelelawar tersebut. Gerombolan kelelawar itu kemudian pergi, mereka memilih untuk tidak menciptakan keributan dan mencari mangsa lainnya. Edith terduduk lemas, ia baru menyadari jika leher dan seluruh tubuhnya menjadi incaran empuk bagi hewan penghisap tersebut. “T-terimakasih, Anjing.” Serigala putih berukuran dua orang dewasa itu menoleh sejenak, menampilkan iris matanya yang secantik batu amethyst. Dia kemudian mendengus singkat sebelum akhirnya pergi meninggalkan Edith di sana. Duduk tak berdaya dengan wajah penuh kebingungan. “Nyonya! Nyonya! Anda di mana?” Edith  terkesiap, itu adalah suara Anne. Dia langsung berdiri dan berlari menuju gerbang mansion. Dari kejauhan terlihat cahaya obor dan juga suara orang berteriak. Edith melambaikan tangannya kuat. “Aku di sini! Anne!” “Nyonya! Anda di mana?” Karena kegelapan malam, lambaian tangan Edith tak dapat dilihat dengan jelas. Ia lalu berlari menuju sumber cahaya tersebut. Edith berhenti sejenak, ia berbalik dan melihat mansion itu sekali lagi. “Anjing yang aneh dan cantik,” gumamnya singkat, sebelum ia akhirnya berlari ke arah Anne dan membuat semua orang berteriak penuh kelegaan ketika menemukan Duchess mereka. “Nyonya! Anda darimana saja?! Sudah saya bilang untuk kembali ke tempat saya, kenapa Nyonya justru menghilang sejauh ini?” Anne langsung memarahi Edith, meski ia tahu itu tidak sopan, hanya Anne yang bisa memarahinya. Edith menggaruk kepalanya, ia juga tidak tahu bagaimana caranya ia bisa sampai di sini. “Aku juga tidak tahu.” Edith menggigit bibirnya, ia merasa sedikit bersalah karena membuat banyak orang khawatir. “Duh! Bagaimana bisa Nyonya tidak tahu kemana anda pergi, seharusnya anda memberitahu saya dulu jika ingin pergi sendirian!” Anne masih mencak-mencak dengan kesal, ia dihentikan oleh Dave. Edith merasa ia seperti tengah dimarahi oleh ibunya sendiri karena pulang kemalaman atau babak belur karena menghajar orang. “Sudahlah, Anne. Duchess hilang ingatan, mungkin dia tidak tahu arah di kompleks ini dan tersesat saat berjalan-jalan. Sebaiknya kita kembali sebelum Duke turun tangan.” Edith sumringah. Kerja bagus, Dave! Aku merestuimu untuk menjadi suami Anne! Anne menghela napas panjang, ia kemudian menatap Edith yang kini berusaha mati-matian untuk menghindari tatapannya. “Baiklah, Nyonya ayo kita kembali ke kamar dan bersihkan dirimu.” “B-baik!” Setelah dipandu kembali ke kamarnya, Edith segera menyegarkan dirinya dan mengganti pakaian dengan yang baru. Ia kemudian turun untuk makan malam bersama Aiden dan juga Luna. Edith baru tersadar jika ia akan bertemu dengan duo sejoli itu. Ia mendengus lelah, kenapa hari ini nasibnya begitu mengenaskan. Sesampainya di bawah, Edith melihat Aiden dan Luna sudah duduk di tempat mereka. Juga ada beberapa wanita yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Anne pernah bilang jika Duke punya beberapa selir lain. “Tch.” Edith menyumpah serapah, ia benci melihat lelaki berengsek pemain wanita sepertinya yang hanya mengandalkan tampang dan juga harta kekayaannya. “Kau terlambat, Duchess.” Aiden sudah mengiris daging di piringnya. “Ah, maafkan aku, tadi ada beberapa masalah sehingga saya telat untuk makan malam.” Edith duduk di kursinya dan dalam beberapa saat di hadapannya sudah tersaji berbagai jenis makanan. “Huh, betapa tidak kompetennya dirimu, Duchess, ketika aku pertama kali melihatmu di rumah ini aku sudah menduga jika kau tidak cukup bagus untuk menyandang gelar seorang Duchess.” Salah satu selir menatap Edith dengan penuh merendahkan dan tersenyum sinis. Edith memiringkan kepalanya, dia bahkan tidak tahu siapa nama w***********g itu. “Maafkan aku, Selir nomot 1. Namun, jika kau mau, silahkan ambil saja gelar ini dariku. Itupun jika kau pantas.” Edith membalasnya tenang sambil memasukan potongan daging ham ke dalam mulutnya—Oh, ini enak! “A-apa?! Namaku bukan Selir nomor 1 melainkan Dyvonne! Lagi pula, kau terlihat cukup yakin jika posisimu tidak akan pernah direbut suatu saat nanti.” Senyumannya kembali mengembang dengan licik, Edith meletakkan garpunya kasar. Ia menatap Aiden yang tidak menggubris percakapan di meja makan ini dan sibuk dengan makanannya sendiri. “Aku bukannya tidak cukup percaya diri, tetapi aku memang akan melepaskannya.” Aiden mendongak dan menatap Edith yang kini balik menatapnya serius. Ia mencoba mencari makna dari perkataan istrinya tersebut. “Aku serius, Duke. Aku ingin mengajukan permohonan cerai denganmu.” Suasana di ruang makan itu tiba-tiba hening setelah Edith mengungkapkan kalimat yang mungkin tidak akan pernah didengar oleh Aiden sebelumnya. Para pelayan dan juga koki hanya terdiam sambil memelototkan matanya. Anne menutup mulutnya terkejut, ia tidak pernah membayangkan ada hari di mana Duchess mengajukan permohonan cerai setelah sekian lama diam tanpa suara. “Apa kau bercanda? Ini sama sekali tidak lucu,” Aiden meletakan garpunya di atas piring dan mengelap bibirnya dengan sapu tangan, pertanda bahwa ia telah selesai makan. Edith melipat tangannya di depan d**a. “Aku serius.” Aiden memiringkan kepalanya. “Tidak, kau pasti bercan—” “Dengan penuh kesadaran aku menyatakan bahwa perkataanku ini serius dan benar adanya. Aku ingin bercerai denganmu, Duke.” Edith menyuapkan daging terakhir di piring ke dalam mulutnya dan segera berdiri. “Kalau begitu, selamat malam. Kita bisa membicarakan hal ini lagi besok. Ayo, Anne.” Edith berjalan pergi kembali ke ruangannya, meninggalkan Aiden bersama wanitanya yang lain terdiam di ruang makan. “Eh? Baik, Nyonya. Semoga kedamaian selalu bersama anda.” Anne membungkuk sejenak sebelum akhirnya pergi mengekori Edith dari belakang. Di perjalanan, Edith tiba-tiba bersorak. “Aku berhasil!” Anne berhenti. “Nyonya Edith?” Edith berbalik dan menatap Anne dengan canggung. “Uh, oh, tidak apa-apa. Aku bisa berjalan sendiri ke kamarku. Kembalilah, Anne.” Edith berjalan lebih cepat dan meninggalkan Anne, ia masuk ke dalam kamarnya sendiri. Edith segera duduk di meja belajarnya dan membuka buku jurnal milik Isabel. Ia membuka halaman terakhir, di mana rancangan dari rencana 'hidup-damai-selamanya' milik Edith berada. 1. Bercerai dengan Duke Aiden. (mission complete) “Tapi kami belum bercerai, jadi belum bisa kukatakan selesai.” Edith menggigit jarinya dan kembali mencoret kalimat 'complete' kemudian menutupnya kembali. Ia bersandar di kursinya dan menatap langit-langit dengan damai. “Lagi pula, di jurnal dikatakan jika Duke yang meminta perceraian terlebih dahulu. Jadi ini pasti akan berjalan dengan mulus. Tenang saja, tenang saja.” Edith tertawa kecil, ia akan hidup bahagia di sini, meski tanpa gelar Duchess dan kekayaan. Sejak dulu pun ia selalu hidup susah dan seadanya, mengulangnya untuk kedua kali bukan masalah besar untuknya. “Tinggal pindah ke desa dan cari pemuda pekerja keras. Kami lalu akan menikah dan punya dua putra-putri yang sehat dan ceria, hehehe. Oh! Untuk masalah makanan dan uang, mungkin aku bisa menggunakan beberapa keterampilanku dari masa depan seperti memotong rambut atau membuat barang-barang dari kayu. Ya, ya, itu akan menyenangkan.” Edith sudah membuat rencana kehidupan 2.0 miliknya sendiri. Awalnya ia memang akan bertahan menjadi seorang Duchess dan berfoya-foya sepuasnya. Namun, setelah membaca jurnal milik Isabel membuat Edith menjadi berubah pikiran. Dia tidak mau bersenang-senang atas status yang telah membuat seseorang menderita akan itu sebelumnya. Edith menyangka, jika Isabel dan Aiden hanyalah orang biasa, mungkin hubungan mereka tidak akan sejauh ini meski Edith sendiri masih belum tahu apa penyebab renggangnya hubungan mereka. Itu tidak ada di dalam jurnal milik Isabel. Lamunannya buyar saat ia mendengar pintu kamarnya diketuk dengan keras. Mata Edith beralih ke arah jam yang menunjukan pukul satu dinihari. Ternyata ia sudah berkhayal terlalu lama. “Siapa yang datang di jam dinihari seperti ini? Apa itu Anne?” Edith turun dari kursi malasnya dan merapikan bajunya. Ia membuka pintunya dengan wajah malas. “Aku tidak perlu camilan apapun lagi, Anne.” Mata Edith membelalak lebar, ketika mendapati yang berada di depannya bukanlah Anne, namun pria yang baru saja ia ajak untuk bercerai. Aiden Porvich.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN