Malam itu lengang. Rumah-rumah mematikan lentera mereka dan rembulan bersembunyi di balik mega. Kegelapan menyeruak di antara pepohonan, menemani jangkrik dan hewan malam yang saling bersahutan. Tak jauh dari sudut jalan di persimpangan pertokoan, menuruni tangga hingga sampai di sebuah ruangan kecil dengan lampu minyak tertempel di dinding. Di dalamnya terdapat sekitar enam orang, nampak tengah berdiskusi.
“Bagaimana persiapan untuk melawan rencana mereka?” Mereka semua tertutup oleh jubah bertudung yang menyembunyikan wajah masing-masing. Namun satu yang pasti, kulit keenam orang tersebut nampak seperti warna salju di awal musim dingin.
“Tidak ada gangguan, semua sudah ada di tempatnya. Hanya perlu beberapa langkah lagi agar bisa masuk ke tahap pelaksanaan akhir.” Seseorang yang duduk di bangku arah tenggara mengangkat suaranya, ia nampak seperti seorang wanita dengan vokal yang cukup melengking halus.
“Bagus, bagaimana kabar Luna?” tanya si pemilik suara dari arah utara, dia punya suara paling berat dan berwibawa. Mendengar pertanyaan itu, kelima orang lainnya hanya mengalihkan pandangan mereka, seolah enggan menjawab apa yang telah terjadi.
“Kurasa dia terlalu banyak bermain-main dengan boneka kita. Kau tahu sendiri, ‘kan, dia sudah tidak waras semenjak kejadian itu.”
Pemilik suara berat dan berwibawa itu menghela napas pelan, “Aku mengerti. Selama tidak melenceng dari rencana, biarkan dia melakukan hal yang dia mau. Apa kalian sudah menemukan Calian?”
“Kami belum menemukan Tuan Muda, Ketua. Dia sangat pandai menyamarkan baunya dan bersembunyi di antara manusia.” Kini salah seorang pria dengan nada marah mengangkat suaranya, ia nampak memiliki kekhawatiran tinggi dengan sosok yang disebut Calian tersebut.
“Kita harus memperluas pencarian dan segera membawanya—”
Suara ranting yang terpijak berasal dari luar ruangan membuat keenam orang itu diam seketika. Mereka berpandangan satu sama lain dan salah satu dari mereka berdiri lalu berjalan menuju pintu ke luar ruangan. “Siapa di sana?”
Tidak ada jawaban. Pria itu menoleh untuk meminta izin yang lain agar membuka pintu dan mencari tahu siapa yang berada di sana. Bunyi pintu yang dibanting terdengar keras dan pria itu langsung menghunuskan pedangnya. Tepat ia membuka pintu, matanya melihat sesosok siluet yang baru saja berbelok dari persimpangan jalan.
“Penyusup!” teriaknya, lalu kelima orang lain segera berdiri dan mendekat.
“Kejar dan pastikan dia tidak mendengar apapun,” perintah sang Ketua. Mereka pergi dengan pedang yang tak tersarung dan menembus kegelapan malam. Kecepatan fisik mereka di atas rata-rata, bahkan melebihi manusia. Mereka berlari seperti menggunakan empat kaki, seperti seekor serigala yang buas.
“Tch.” Sosok yang dikejar itu berdecih kesal dan mulai mempercepat larinya. Ia melompat dari batang pohon ke batang pohon yang lain dan beberapa kali salto di udara untuk menghindari lesatan anak panah yang dilepaskan khusus untuk menangkapnya.
“Kejar dia! Jangan sampai penyusup itu lolos!” Ia dapat melihat sebuah tempat yang tidak asing di matanya. Dengan cepat kakinya menambah tekanan dan membuat lompatannya menjadi lebih jauh. Tubuhnya tiba-tiba menegang dan pijakannya terhuyung. Pria itu menoleh dan mendapati sebuah panah menancap tepat di bahu kirinya.
“Sial, aku tidak boleh mati secepat ini.” rutuknya, tetapi kesadarannya menghilang dan ia jatuh tepat di atas aliran besar sungai yang bermuara di lautan lepas.
֍
“Kau tidak akan pergi kemanapun,” terang Aiden. Ia dengan Edith kini tengah mengantar Arthur untuk kembali ke istana. Setelah kakak Duchess itu menaiki kereta kudanya dan pergi, tanpa basa-basi pria setinggi 178 cm itu mengutarakan pikirannya.
“Apa kau paham dengan yang baru saja kau katakan?” Edith menatapnya dengan marah, Aiden menoleh dan memandangnya balik, ia tahu jika akhirnya akan menjadi seperti ini setelah semua sikap yang ia lakukan padanya selama dua tahun.
“Kau tidak boleh pergi ke pesta Debutante itu. Ini adalah perintah,” ucapnya lagi untuk menegaskan, Edith menatapnya tak percaya. Dia menutup matanya sejenak untuk mengendalikan emosinya sebelum akhirnya membukanya kembali. Edith menatap Aiden yang masih berstatus sebagai suaminya tersebut dengan penuh amarah.
“Kenapa dan mengapa aku tidak boleh pergi? Aku tidak akan berbuat hal aneh di sana seperti merayu pria lain atau yang sering kau lakukan selama ini. Aku datang ke sana karena Kakak memberikanku undangan secara langsung.” Edith merasa tidak terima, ia sebenarnya tidak terlalu peduli dengan pesta tersebut, ia hanya tidak mau diperintah oleh Aiden. Pria itu menghela napasnya pelan.
“Kau hanya harus menaati perintahku sebagai suami sahmu, meski hanya untuk saat ini.” Edith sedikit tertegun sejenak, tak lama kemudian ia kembali menatap pria berambut hitam legam itu dengan penuh kekesalan. Pikirannya tidak bisa jernih jika Edith sudah dikuasai emosi, dan sejak kemarin emosinya sudah berada di tingkat 100 persen.
“Aku tidak peduli.” Ia berbalik dan segera mengambil langkah menjauh darinya, meninggalkan Aiden yang masih berdiri diam di sana. Setelah Duchess pergi, Diallo, kepala butler di mansion Porvich mendekat ke arah Aiden.
“Ada apa Diallo? Kau tidak lihat aku sedang patah hati?” Aiden tertawa hambar, dia hanya menyuarakan perasaannya dalam bentuk candaan yang sama sekali tidak lucu.
“Hamba rasa itu kesalahan Tuan karena merahasiakannya selama dua tahun ini dari Nyonya Duchess.” Diallo menjawab ucapan Aiden dan membuat pria berusia 23 tahun itu menoleh tidak suka.
“Apa kau baru saja mengejek jika aku pengecut?”
“Maafkan hamba, Tuan. Tapi hamba punya kabar penting untuk Tuan ketahui.” Diallo menunduk, ia mengenakan setelan butler rapi dengan kacamata rantai yang menempel manis di wajahnya yang berjanggut tipis.
Aiden memasang wajah seriusnya kembali. “Tingkatnya?”
“Tingkat S.”
Aiden menoleh cepat, ia mengangguk dan segera berjalan terlebih dahulu menuju ke ruangannya kembali di mansion. Aiden mengepalkan tangannya selama perjalanan seperti mengumpulkan emosinya di kepalan tangan itu dan membukanya kembali, setelah itu wajahnya nampak lebih rileks.
“Selamat pagi, Tuan Duke.” Beberapa selir yang tengah menikmati pesta teh pagi dengan ditemani penjual gaun dan perhiasan menyapa Aiden yang melewati ruang utama. Pria itu tersenyum manis dan tetap melanjutkan perjalanannya. Meninggalkan kumpulan wanita gila harta dan kecantikan tersebut di sana.
“Diallo,” panggil Aiden.
“Apa Tuan memanggil hamba?” Diallo mendekat beberapa langkah. Mereka berdua berbelok ke arah kanan dan masuk ke dalam lorong khusus ruangan miliknya. “Apa kau tidak membatasi anggaran mereka semua? Aku melihat mereka setiap hari menghamburkan uang untuk membeli gaun dan perhiasan tidak berharga itu.”
Diallo mendesah pelan. “Saya sudah membatasi dan memperingatkan mereka. Namun, mereka semua mengancam dan memaksa saya untuk memberikan anggaran lebih untuk mereka dengan jaminan posisi mereka sebagai istri dari pemilik rumah.”
Mereka sampai di ruangan kerja milik Aiden, pintu terbuka dan yang ada di dalamnya sama sekali tidak bisa dibayangkan. Tumpukan buku dan juga tempelan kertas di dinding. Tidak ada tempat yang bersih, semuanya berserakan dengan buku dan juga catatan-catatan penting milik Aiden. “Itu kesalahanku. Aku perlu menenangkan pemberontakan di berbagai wilayah saat kerajaan ini tidak stabil dan mereka semua ingin anaknya menjadi bagian dari keluarga ini. Aku tidak bisa menolak dekrit kerajaan hanya karena mereka sedikit lebih berwenang dariku.” Aiden merapikan beberapa berkas di mejanya dan duduk di kursi.
“Anda tepat sekali. Namun, anda tidak bisa mengatakan hal yang sejujurnya pada Nyonya Duchess dan hanya membawa mereka seperti wanita jalanan. Tanpa sadar imej anda di pandangan Nyonya Duchess sudah hancur lebur.” Diallo membungkukan badannya hormat. Aiden yang tengah menulis lalu mematahkan busur penanya karena kesal. Ia tak bisa membantah karena semua perkataan Diallo itu benar.
“Diallo, apa kau tidak bisa sekali saja berpihak padaku?”
“Maafkan hamba, Tuan. Tapi hamba, Diallo, selalu berpihak kepada anda dan akan selalu menjadi hamba yang setia.”
Aiden mendesah kesal, ia kemudian mengambil pena baru dari lacinya. “Lalu, kabar apa yang kau bawa padaku?” Diallo menutup pintunya rapat sebelum akhirnya pria berusia lima puluhan itu mendekat ke arah Aiden yang duduk di kursinya. “Salah seorang mata-mata kerajaan melihat pergerakan misterius di distrik pertokoan di kota Lothudia. Kemungkinan itu adalah kelompok pemberontak dari suku Bulan.”
Aiden menyatukan kedua tangannya dan masuk ke dalam mode berpikir miliknya, ia mengangguk paham. “Yang Mulia ingin aku menyelidikinya lebih lanjut?”
Diallo mengangguk membenarkan. Aiden paham itu. Menggunakan bangsawan sebagai tameng karena jeratan pernikahan atau persaudaraan, jika rencana berhasil, maka nama baik akan diserahkan kembali ke kerajaan, dan jika rencananya gagal, Bangsawan Porvich yang akan pertama hancur. “Biarkan mereka bergerak, tetap awasi mereka dan laporkan setiap pergerakan padaku. Jangan lupa tuliskan laporan pada Yang Mulia tentang perkembangan rencana penghentian pemberontakan.”
“Baik, Tuan.” Diallo mengangguk paham.
“Di mana Luna?”
“Dia berada di pinggir kolam air mancur seperti biasa, Tuan Duke. Tapi apa yang akan anda lakukan pada putri dari suku Bulan tersebut? Kenapa anda mau berpura-pura terjebak dalam rencananya?” Diallo tidak paham akan jalan pikiran Duke muda tersebut.
Aiden menaikan senyumannya, nampak mengerikan sekaligus menawan. “Aku punya urusan pribadi dengan mereka, selama tidak mengganggu rencana itu tidak akan menjadi masalah. Kelompok itu hanya akan menari di atas telapak tanganku.”
Setelah Diallo pergi, Aiden keluar dari ruangannya dan menuju ke tempat Luna, putri dari suku Bulan tersebut. Sekitar satu bulan yang lalu, Aiden mendapat perintah rahasia untuk menyelidiki soal suku Bulan—suku mistik yang mampu berubah wujud menjadi hewan berkaki empat dan memiliki ukuran fisik yang besar, seekor serigala. Aiden mendengar jika terjadi p*********n di tanah mereka dan suku Bulan menganggap itu adalah ulah kerajaan Etilithiel dan merencanakan balas dendam. Di perjalanannya pulang setelah tidak menemukan apapun untuk menjadi bukti, Luna tiba-tiba datang langsung ke hadapannya dengan penampilan yang lusuh dan penuh luka.
Suku Bulan memiliki ciri yang khas, rambut seperak rembulan dengan warna mata seperti batu berharga dan kulit mereka seputih salju.
“Luna, kau ada di sini.” Aiden tersenyum menawan, membiarkan gadis itu menoleh dan menganggapnya sebagai pria berengsek bodoh yang hanya menyukai wanita cantik dan kepopuleran. Ia harus bersabar. Aiden hanya menunggu tanggal main miliknya sendiri.