Serigala yang Terluka

1472 Kata
“Apa-apaan sikap kurangajarnya itu. Seenaknya menyuruhku untuk patuh padanya.” Edith menyingkap sedikit roknya agar mampu berjalan sedikit lebih cepat. Padahal ia sudah pernah mengatakan pada Poppin agar membawakannya baju yang lebih mudah untuk dibawa gerak, namun semua baju di lemari Edith berupa gaun atau rok. Itu sangat menyakiti hati Edith yang menyukai celana longgar. Edith berhenti sejenak, ia menoleh ke samping dan melihat jalan setapak yang sama ketika ia tersesat beberapa hari yang lalu. Mendadak pikirannya mengeluarkan kata 'anjing' dan membuatnya teringat dengan hewan berbulu putih dan berukuran sangat besar itu. Edith menepuk tangannya satu kali. “Aku akan mengunjunginya dan mengucapkan terimakasih karena telah menolongku waktu itu.” Namun sebelum itu, ia berbalik dan mengarah pada Anne yang menunggunya di pinggir lorong. Gadis itu masih setia berdiri dan menatap lurus ke arah Edith yang susah payah berjalan dengan sepatu hak tinggi yang ia kenakan. “Nyonya!” “Oh, Anne! Kemarilah, aku ingin memintamu untuk melakukan sesuatu.” Edith duduk di bangku terdekat yang bisa ia capai. Anne berjalan mendekat dan berdiri di sebelahnya. “Duduklah, apa kau tidak letih berdiri terus-menerus? Memangnya kau ini robot?” Anne mengernyitkan dahinya. “Robot?” “Ah! Robot itu ... robot itu ... lupakan! Aku sedang melantur tadi. Oh iya, apa rumah ini punya makanan anjing?” Dengan cepat Edith mengubah topik, ia keceplosan mengatakan kosakata modern pada jaman pertengahan ini. Sebenarnya, Edith justru lupa di tahun berapa ia terlahir kembali. Nanti saja ia mengeceknya, Edith tidak suka melihat buku, apalagi melihat deretan angka. “Makanan anjing? Biasanya ada di pasar dan dijual secara eceran. Namun, rumah ini tidak memelihara anjing, Nyonya.” Anne bingung, ia sudah bekerja di sini sejak lama dan tidak pernah melihat ada anjing di sini. Salah satu alasan kenapa tidak ada anjing di sini adalah Duke Aiden punya alergi dengan bulu anjing atau serigala. “Heeee, benarkah? Lalu, apa yang kulihat kemarin?” Edith berdecak bingung, ia jelas-jelas melihat hewan besar berbulu itu. Meski mirip dengan anjing, Edith baru menyadari jika anjing itu bukan seekor anjing. Apa dia anjing serigala? Entahlah, Edith dibuat bingung sendiri dengan perkataannya. “Ya sudah, aku mau berjalan-jalan ke mansion yang kukunjungi kemarin. Tidak usah menjemputku, Anne.” Edith berdiri dan melambaikan tangannya pada gadis yang mengenakan pakaian hitam dan putih ala pelayan tersebut. “Nyonya, tapi ....” “Aku hapal jalan pulangku sendiri!” Edith mengacungkan jempolnya dan berjalan lebih cepat menapaki jalan berbatu tersebut. Anne meletakan tangannya di depan d**a, wajahnya terlihat khawatir saat melihat punggung Duchess semakin menjauh. Anne kemudian berbalik dan masuk ke dalam mansion Rosemary, mansion khusus milik Duchess Isabella. Edith tiba-tiba berhenti. Wanita itu menggaruk kepalanya bingung. Dia sama sekali tidak menemukan mansion tua itu. Edith kemudian berjalan beberapa langkah ke depan dan melihat ada kumpulan semak tinggi yang seperti dinding di sebelahnya. “Hmmmh, aku yakin sekali kalau arahnya ke sini. Kenapa jalannya menjadi berputar-putar sekali?” Edith memandang sekeliling, ia ingat jika kemarin dirinya hanya berjalan lurus dan sudah sampai ke mansion tua itu. Saat ia berjalan mundur untuk bersandar di semak-semak yang cukup rindang tersebut, kakinya terselip sesuatu dan membuatnya terjatuh ke belakang. “Adudududuh!” ringisnya kesakitan. Edith jatuh di atas semak-semak tinggi yang ternyata tidak tebal sama sekali. Kini seluruh punggungnya sakit dan memerah karena tertusuk ujung tumpul dari ranting semak-semak. Namun, ketika ia mendongak ke atas, Edith melihat mansion itu kembali. “Ini dia tempatnya!” ucapnya senang sambil berbinar. Edith kemudian membantu dirinya sendiri untuk berdiri dan membersihkan bajunya dari butiran tanah kering yang menempel di sana, meninggalkan bekas kecoklatan yang mungkin akan membuat Anne mengomelinya lagi. Edith menghiraukan noda tersebut dan segera masuk ke sana melalui lubang yang ia ciptakan di semak-semak. Semuanya masih sama seperti hari itu. Pohon besar, mansion yang ditumbuhi tanaman jalar dan bunga-bunga liar yang berwarna-warni tumbuh dengan bebas di tanah. Ah, benar juga. “Anjingnya!” Edith segera mencari hewan berbulu itu. Ia mencari di sekeliling mansion namun sama sekali tak menemukan keberadaannya. Wanita itu lalu menghela napasnya pelan, “Apa memang benar waktu itu aku hanya berhalusinasi?” Edith hendak berbalik untuk pergi mencari ke tempat lainnya, barangkali bukan mansion ini yang ia datangi. Saat kakinya sudah hendak berbalik, dirinya mendengar sesuatu dari arah dalam mansion. Tanpa tunggu lama, Edith segera kembali ke mansion dan mendekat ke pintu masuk yang sudah berdebu seolah tak pernah digunakan itu. Jemari Edith meraih kenop pintu dan hendak membukanya, tetapi saat ia mendongak karena mendengar sesuatu yang lain, Edith terkejut saat melihat ada sekumpulan kelelawar yang tengah tertidur lelap tepat di atasnya. “Kelelawar itu yang menyerangku tempo hari ....” Edith agak sedikit trauma dan membuat pegangannya sedikit bergetar, namun ia berusaha untuk mengabaikan ketakutannya. Tangannya nekat untuk menarik gagang pintu ke arahnya dan membuat pintu berdebu itu terbuka sedikit. Edith mengintip ke dalam mansion tersebut, tidak ada yang bisa Edith lihat di sana. Satu-satunya yang ada di dalam sana hanyalah kegelapan. Tidak ada listrik yang mengalir sampai ke mansion ini membuat penerangannya menjadi sangat buruk. Edith nekat masuk ke dalam mansion dan berjalan pelan sambil meraba tembok agar tidak kehilangan pegangannya. “Grrrhh ....” Geraman sakit itu semakin terdengar kuat dan membuat rasa penasaran Edith bertambah besar. Edith berjalan menuju ruangan itu, dirinya kemudian mengintip ke dalam ruangan dengan sumber suara geraman tersebut. Apa yang Edith lihat saat ini membuatnya terkejut setengah mati. Seekor serigala berbulu putih yang tengah sekarat. “Kau terluka!” Edith segera berlari dan mendekatinya. Serigala itu tengah berbaring di lantai dengan darah yang mengucur deras di sana dan membasahi lantai juga bulu putih miliknya. Bahkan kini Edith tengah berdiri di kubangan darah berbau anyir tersebut. Edith menatap serigala yang sudah lemas kehabisan darah itu dengan tatapan nanar. “Sebenarnya apa yang telah terjadi?” “Kenapa kau bisa terluka seperti ini?” Serigala itu tidak melihat ada Edith di sini. Seluruh indranya semakin melemah dan nyawanya sudah berada di batas kematian. Hidupnya hanya tinggal menghitung mundur waktu. Edith menggigit kuku jempolnya, ia bingung harus melakukan apa. Dirinya dulu adalah seorang anggota Palang Merah dan sering membantu korban bencana. Namun, saat ini ia justru membeku dalam kebingungan ketika melihat kondisi sekarat. “Tekan lukanya, benar! Ketua selalu mengatakan padaku untuk menekan lukanya agar korban tidak kehabisan banyak darah.” Edith bergerak cepat, ia menyobek bagian luar gaun tiga lapis miliknya dan segera melipatnya agar cukup tebal untuk menghentikan aliran darah. Edith mendekat ke arah serigala itu dan mulai mencari di mana lukanya berasal. “Ini kenapa aku benci hewan berbulu.” Ia terus mencari melewati jajaran hutan bulu itu dan menemukan ada pancaran hangat dari punggung sebelah kiri. Dengan sigap, ia menaruh kain sobekan itu dan menekannya kuat di luka itu. Serigala itu mengaum kesakitan. Kain yang ditekan Edith juga sudah mulai berlumur dengan darah yang terus-terusan ke luar. Edith menggigit bibirnya sendiri. Ini gawat, serigala ini bisa saja mati kehabisan darah jika terus seperti ini. Edith berdoa di dalam hatinya, ia berharap semoga ada keajaiban yang terjadi. Kumohon, selamatkan makhluk ini apapun yang terjadi. Edith memejamkan matanya erat sambil terus menekan kuat kain di tangannya tersebut. Seiring dengan doanya yang menguat, tanpa disangka muncul pola sulur emas di tubuh Edith yang terus bertambah terang. Cahaya keemasan itu keluar dari sulur-sulur tersebut dan masuk ke dalam luka serigala tersebut. Seperti sihir, luka serigala itu menutup tanpa bekas dan darah di sekelilingnya berubah menjadi partikel bercahaya dan menghilang di udara. Edith tiba-tiba merasakan tubuhnya menjadi sangat lemas. Apa yang terjadi padaku? Ia membuka matanya yang begitu berat, kini posisinya tengah berbaring di lantai karena kehabisan tenaga. Padahal Edith hanya menekan luka serigala itu, kenapa rasanya seperti tidak tidur berhari-hari. Edith merasa sangat lelah dan mengantuk. Entah itu mimpi atau bukan, Edith melihat sesosok pria berambut seperak rembulan dengan sorot mata yang begitu cantik duduk di depannya. Edith tersenyum tipis, jemarinya terangkat seperti hendak menyentuh wajah yang terlihat samar-samar itu. “Syukurlah, kau selamat.” Itu kalimat terakhir yang mampu Edith ucapkan sebelum kesadarannya menghilang sepenuhnya. “Selamat tidur, ma sauveure.” Pria itu menaruh tangan Edith kembali ke lantai dan mengangkat tubuh kecil itu dalam gendongannya. Ia kemudian membawanya ke atas tempat tidur yang ada di dalam mansion dan menaruh Edith dengan sangat hati-hati di sana. Ia menaikan selimut hingga sampai ke atas dadanya dan membiarkan wanita itu memulihkan tenaganya. Pria itu bersiul. Dari luar muncul seekor kelelawar yang langsung bertengger di bahunya. “Katakan pada pelayannya bahwa Duchess berada di sini.” Kelelawar itu kemudian terbang dan pergi ke luar jendela. Pria berambut perak itu mendekat dan berlutut tepat di sebelah Edith yang masih tertidur lelap. Jemarinya mengambil beberapa helai rambut Edith yang terurai dan menatapnya diam tanpa melakukan sesuatu yang lain. Pria itu kemudian kembali berdiri dan menghilang di dalam kegelapan mansion tersebut. “Aku, Calian Forestier, telah berhutang nyawa padamu, My Lady.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN