Anne tengah membersihkan meja di kamar ketika terdengar suara dari arah tempat tidur. Gadis yang kira-kira berusia 18 tahun itu menoleh dan menahan pekikan senang ketika melihat Edith telah terbangun. “Nyonya!”
Edith yang tadinya masih samar-samar langsung mengerjap kuat saat rangsangan suara Anne datang. Ia langsung teringat dengan apa yang terjadi. Edith menolong serigala itu. Dia menggunakan kekuatan aneh yang tiba-tiba saja muncul dari dalam dirinya.
“Anne ...,” lirihnya.
Anne segera membantu Edith untuk duduk bersandar di ranjangnya. Gadis itu berlutut di pinggir ranjang sambil menggenggam tangannya sendiri dan berulang kali mengucap syukur. Edith mengernyit, memang kenapa dengannya hingga Anne sangat bersyukur seperti itu? Dan juga, bukannya Edith teringat jika ia jatuh tak sadarkan diri di mansion itu, kenapa dia sudah ada di kamarnya lagi?
“Nyonya, akhirnya anda bangun. Saya akan memberitahu Duke terlebih dahulu,” ucap Anne riang, dia berdiri dan hendak pergi namun tangannya langsung dicekal oleh Edith.
“Jangan, tidak usah pergi ke dia.” Edith melarang keras. Dia tidak mau bertemu dengan perusak suasana hati terbesarnya. Setidaknya ketika ia baru saja tersadar. Anne menurut dan kembali berlutut di sampingnya. Edith memijit kepalanya yang masih agak pening.
“Berapa lama aku tidak sadarkan diri?” tanya Edith, ia seperti tertidur seharian ini.
“Sekitar tiga hari.”
Deg. Edith menatap Anne dengan horror, apa gadis itu baru saja mengatakan bahwa Edith tertidur selama tiga hari penuh?
“Apa kau sedang bercanda denganku?” Edith menatap Anne tajam, meminta penjelasan dari perkataannya. Tiga hari bukan waktu yang sebentar. Anne menunduk dengan wajah yang sedih, seolah mengatakan bahwa perkataannya sama sekali bukan candaan. Edith melengos kasar, sebenarnya apa yang terjadi dengan dirinya?
“Pesta!” Edith membelalakan mata ketika tengah mengacak-acak rambutnya. Anne memiringkan kepalanya ketika mendengar kata pesta, ia berpikir jika Duchess pasti gila jika ingin berpesta ketika ia baru sadarkan diri. Edith mencengkeram bahu Anne dan menatapnya dengan tatapan yang diliputi kecemasan. “Apa pesta debutante adikku sudah terlewat? Kapan pestanya dimulai? Apa aku melewatkannya?”
Anne mengerjap paham. “Nanti malam, Nyonya. Tapi Tuan Duke melarang saya untuk membiarkan anda pergi ke sana.” Ia mengubah ekspresinya menjadi murung kembali. Edith menghela napas lega ketika mengetahui bahwa ia tidak melewatkannya. Edith ingin mencari dukungan lebih dari keluarga kerajaan agar mampu bercerai dari Aiden. Ia tidak mau melewatkan acara resmi seperti ini. Edith bergerak turun dari ranjang, membuat Anne kaget karenanya.
“Nyonya? Anda mau ke mana?”
“Ke mana lagi? Tentu saja bersiap untuk pergi ke kerajaan. Katakan pada Poppin untuk menyiapkan gaunku malam ini, Anne.” Edith masih merasa pusing, namun ia bisa menahannya jika tidak terlalu banyak bergerak.
“Tapi, perintah Duke ...,” lirih Anne sambil menatap Edith dengan nanar. Ia menggeleng pelan, benar, dia harus mengutamakan keinginan tuannya, dan itu adalah Duchess, bukan Tuan Duke. Anne sudah bersumpah setia untuk selalu melayaninya dan mendukungnya di masa-masa sulit. Dia tidak seharusnya mencegahnya untuk melakukan hal-hal yang Duchess ingin lakukan. “Baik, Nyonya. Saya akan memanggil Poppin dari kamarnya.” Anne menunduk memberi hormat dan segera berbalik pergi. Dia hendak membuka pintu ketika Edith mengedipkan matanya saat kembali dari lamunannya.
Edith melupakan sesuatu yang penting. “Anne, apa sihir adalah hal yang wajar di kerajaan ini?”
Gadis itu menoleh bingung. “Sihir?”
Edith mengangguk cepat. Alasan kenapa ia mampu menyelamatkan serigala itu karena muncul kekuatan aneh dari tubuhnya, Edith ingin tahu apakah itu sihir atau bukan. Anne menggeleng tidak paham, “Tidak ada seseorang yang seperti itu di kerajaan ini, Nyonya. Sejauh yang saya tahu pengguna kekuatan aneh adalah suku Bulan yang dikenal karena kemampuan mereka untuk berubah wujud. Tapi itu hanya kabar burung, karena tidak ada yang pernah melihat mereka satu kalipun.”
Suku Bulan?
“Baiklah, kau boleh pergi.” Edith menghempaskan tangannya pelan sebagai tanda agar Anne segera pergi. Wanita dengan piyama tidur itu kembali berbaring di atas ranjang miliknya dan melihat kedua tangannya.
“Tidak ada pengguna sihir? Lalu, kekuatan apa yang muncul waktu itu? Apakah itu hanya mimpiku saja?” gumam Edith, ia membolak-balik tangan yang sangat kecil dan terlihat rapuh itu. Memandangnya saja sudah membuat hati teriris, kenapa seorang wanita bisa sekurus ini. Edith menyayangkan program diet ketat yang harus dijalani oleh para wanita generasi ini hanya karena ingin mencari pria idaman mereka. Mereka pasti tidak tahu bagaimana enaknya memiliki pipi yang empuk sebagai teman tidur setiap harinya.
“Hmmmh,” lirih Edith sambil berganti posisi tidurnya. Jika kekuatan itu adalah mimpi belaka, maka pria berambut perak itu juga hanya bunga tidurnya. Edith samar-samar mengingat wajah pria yang menjadi tumpuannya ketika tak sadarkan diri itu. Rambutnya perak dan matanya secantik batu amethyst yang berkilau. Edith menggembungkan pipinya kecil, dia ingin bertemu dengan pria itu lagi meski hanya di dalam mimpi.
Dia menggeleng pelan dan menampar pipinya ringan agar kembali tersadar. Prioritasnya saat ini bukanlah itu, Edith sekarang harus bersiap-siap untuk pergi ke pesta debutante itu meski harus menyatakan bendera perang pada Aiden sekalipun.
“Demi kebebasan jiwa Isabel dan juga hidupku yang baru. Aku harus lepas dari sarang penyamun ini.” Begitu katanya, ia menganggap Aiden adalah penyamun paling kejam yang hanya mementingkan dirinya sendiri dan menganggap orang lain hanya sebagai objek miliknya. Apapun alasan dibalik itu, Edith tidak bisa menoleransi tindakan Aiden. Suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatian Edith. Benar, dirinya juga harus mulai bergerak.
֍
“Tuan, salah satu pelayan mansion Rosemary mengatakan jika Duchess telah sadarkan diri.” Diallo masuk ke dalam ruangan Aiden, melihat pria itu tengah merapikan pakaian resmi yang akan ia pakai ke acara nanti malam. Aiden membeku sejenak, tangannya yang tengah memasangkan kancing di lengan bajunya mendadak berhenti.
Dia menghela napas lega. “Begitu?”
Aiden berbalik dan menatap Diallo kembali dengan ekspresinya yang tidak bisa ditebak. Apakah tengah senang, sedih, terharu ataupun marah. Ini adalah nilai plus dari Aiden karena mampu mengontrol emosinya dengan sangat baik bahkan mampu mengelabui orang yang tengah berbicara di depannya. Ia seperti selalu memasang topeng di wajahnya.
“Biarkan dia beristirahat dan taruh beberapa penjaga di sana. Jangan sampai Duchess ikut pergi ke pesta debutante dan perjamuan besar tersebut. Akan ada kekacauan besar di sana, dia tidak perlu repot-repot datang untuk melihatnya.” Aiden berjalan melewati Diallo, membiarkan kepala pelayan di rumah itu mengangguk paham akan tugas yang diberikan kepadanya. Di luar ruangan, Aiden langsung disambut Luna dengan pakaian yang terlihat cukup cocok dengannya.
Pria itu tersenyum dan menggandeng Luna untuk masuk ke dalam kereta kuda. Akan muncul bisik-bisik yang tidak bisa dihindari nantinya, namun Aiden tidak peduli dan tetap membawa Luna. “Apa kau siap untuk pergi, Luna?” Aiden mencium punggung tangan gadis tersebut dan menatapnya mesra. Membuat telinga dan wajah Luna memerah malu karenanya. Dia mengangguk pelan sambil menutup wajahnya.
“Iya, Luna siap untuk pergi.” Mereka lalu duduk berdampingan di dalam kereta. Tangan Aiden bergerak untuk menggenggam tangan Luna dan tersenyum manis kembali. “Aku akan menggenggam tanganmu selama perjalanan, apakah itu membuatku merasa tidak nyaman?”
“Sama sekali tidak, Aiden. Luna sangat menyukainya.” Luna menjawab dengan wajah yang memerah malu lagi. Aiden membalas ucapan Luna dengan menggenggam tangannya dengan lebih erat kembali. Setelah kereta berjalan, mereka berdua kemudian menghadap ke arah yang berlainan dan menatap ke luar jendela. Kereta berjalan menembus kegelapan malam dan menuju ke jalan yang penuh dengan lampu di kota. Banyak hal yang hangat di sana, mengingat ini adalah acara yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan gadis muda yang siap untuk menginjak usia dewasa. Namun, ada satu hal yang berlainan, reaksi kedua orang itu sama-sama datar dan dingin saat mereka tidak saling bertatapan.
֍
Edith menggebrak meja sambil mengeluarkan ekspresi marah. “Kenapa ada penjaga di depan pintu!”
Dia masih berada di dalam kamarnya bersama Poppin dan juga Anne. Mereka baru saja selesai bersiap namun penjaga yang ditugaskan Aiden membuat Edith tidak bisa berkutik. Anne menggigit jarinya sendiri, “Nyonya, maafkan saya! Ketika saya hendak pergi mencari Poppin, saya sempat ditanyai oleh kepala pelayan dan mengatakan bahwa Duchess telah sadar. Kemungkinan kepala pelayan yang telah mengatakan pada Tuan Duke dan langsung mengirim penjaga-penjaga ini.”
Anne terlihat sangat murung, Poppin memegang lengannya untuk menenangkan gadis yang sepantaran dengan dirinya itu. Edith duduk di kursi sambil memijit kepalanya yang terasa pening. “Itu bukan salahmu, Anne. Cepat atau lambat pria itu pasti akan tahu jika aku telah sadar. Ini salahku karena kurang waspada.”
“Nyonya!” Anne memekik tertahan, ia tidak bisa membiarkan Duchess mengambil kesalahan yang seharusnya ditimpakan kepada dirinya. Tiba-tiba terdengar suara aneh di jendela. Mereka lantas menoleh dan melihat ada seekor kelelawar di luar jendela yang tengah mengepakan sayapnya dan membenturkannya ke jendela seolah sedang berusaha untuk mengetuknya.
“Ah, kelelawar itu!” Anne mengingatnya.
“Kelelawar itu?” tanya Edith dan menatap kelelawar yang ada di jendelanya tersebut. Tunggu, bukannya itu kelelawar yang ada di mansion tua waktu itu? Anne bergerak untuk membuka jendela dan membiarkan kelelawar itu terbang masuk ke dalam kamar. Edith hampir terjungkal karena kaget, sementara Poppin berteriak ketakutan dan bersembunyi di balik pintu.
“Anne! Kenapa kau membiarkan hewan itu masuk?” Edith mengeluarkan amarahnya, Anne menutup jendelanya dan memiringkan kepalanya bingung. Membuat mereka semua berpandangan satu sama lain dengan bingung.
“Saya kira kelelawar itu adalah peliharaan Nyonya.” Anne mengucapkan itu dengan wajah yang tidak berdosa. Edith menatapnya geram seolah mengatakan 'itu tidak mungkin dan tidak akan pernah mungkin'. Lagipula, dia itu membenci kelelawar. Anne menjelaskan lagi, “Waktu itu kelelawar ini yang memberitahu saya bahwa anda ada di mansion yang sudah tidak terpakai itu.”
Edith mengerjap. “Apa maksudmu?”
Anne menceritakan tentang bagaimana kelelawar itu mengetuk jendela sama persis dengan apa yang ia lakukan malam ini. Kelelawar itu memang tidak bisa berbicara, namun dia seolah mengirimkan suara tingkat rendah dan mengirim sinyal jika Anne harus mengikutinya. Anne kebingungan saat mengikuti kelelawar itu pertamanya, namun ia sangat terkejut ketika melihat Edith tengah tertidur pulas di atas ranjang yang berada di mansion tak terpakai itu.
“Apa itu mungkin?” Edith menatap horror ke arah kelelawar yang tengah bergantung terbalik di rak gantungan baju miliknya. Edith mendapati sesuatu yang menempel di kaki kelelawar tersebut. Dia bergerak mendekatinya dan segera mengambil gulungan kertas yang terikat di sana.
“Apa itu Nyonya?” tanya Anne, sementara Poppin masih bersembunyi di balik pintu. Ia takut dengan hewan bergigi lancip tersebut. Edith menggeleng pelan. Ia membuka simpul ikatannya dan melihat apa yang tertulis di sana.
Jika anda butuh bantuan saya, keluarlah menuju balkon dan tepuk tangan anda sebanyak tiga kali.
- Cal.
“Cal itu siapa?” Edith mengernyit bingung, Anne menggeleng tidak tahu. Poppin yang berada di balik pintu juga menggeleng tidak paham dengan nama tersebut.
“Mungkin saja orang luar yang berusaha menjebak anda, Nyonya. Ini mungkin alasan kenapa Tuan Duke ingin Nyonya tetap di rumah.” Edith menatap Anne dan memikirkan ucapannya. Tapi, apakah itu mungkin? Itu bukan alasan yang buruk, dia tetap saja putri kerajaan dan juga seorang Duchess dari keluarga bangsawan yang berpengaruh tinggi. Itu hal yang wajar jika banyak yang menginginkan Edith sebagai tumbal untuk menciptakan perselisihan.
“Tapi, apa itu benar?” Edith mengernyit, kedua alisnya bahkan saling bertautan karena saking kerasnya ia berpikir. Ia memandang kertas di tangannya kembali dan menatap jam besar di kamarnya. Sudah pukul tujuh malam, sementara pestanya dimulai pukul delapan malam. Edith meremas kertas kecil tersebut dan memejamkan matanya, ia harus mempertaruhkan sesuatu saat ini. Kemungkinan nyawanya dalam bahaya jika mengikuti orang asing ini, tetapi masa depannya juga dalam bahaya jika tidak pergi ke kerajaan.
“Nyonya ....”
“Duchess, anda tidak perlu memaksakan diri seperti itu.” Poppin menatap Edith dari balik pintu dengan tatapan yang sedih, meski sangat tidak sinkron dengan kondisi Poppin saat ini.
Edith membuka matanya. “Kau benar.” Dia kemudian menjatuhkan kertas itu ke lantai dan segera berdiri lalu berbalik. “Aku tidak seharusnya memaksakan diriku untuk tetap menjadi anak baik yang patuh. Maafkan aku Anne, Poppin, tapi bisakah kalian menjaga kamar ini untuk satu malam?” Edith mengedipkan matanya dan berlari menuju balkon di kamarnya. Dia lalu menepuk tangannya tiga kali dengan keras agar seseorang bernama Cal itu mampu mendengarnya.
“Nyonya, apa yang anda katakan—” Ketiga wanita itu kaget setengah mati ketika seekor serigala putih raksasa tiba-tiba meloncat entah darimana dan sudah berdiri di depan Edith.
“Woof!” Begitu salamnya.