Part 5 : Renata

997 Kata
Renata, pandangan gadis manis berhijab itu terfokus pada layar laptop miliknya. Foto wisuda dirinya bersama seorang laki-laki yang amat ia cintai, laki-laki yang kini telah resmi menjadi suami wanita lain. Pandangannya mengabur, air matanya siap meluncur kapan saja. Ia kalut, ia benar-benar mencintai Pandji, bahkan sampai detik ini ia masih berharap dapat bersatu dengan Pandji suatu saat nanti. Dering telepon mengalihkan fokusnya. Kontak dengan nama "Mas Pandji" lengkap dengan emoticon hati berwarna pink. "Ada apalagi Ndji" "Aku ingin kita bertemu, sebentar.. Aku janji hanya sebentar." "Hmm" "Aku akan datang ke kedai mu sekarang." "Hmm" Renata meletakan handphonenya dengan kasar, lalu menutup laptopnya dengan kasar pula. Ia segera menghapus air matanya yang entah sejak kapan sudah membasahi pipinya. Pandji sudah tiba di kedai milik Renata, ia melihat gadis berhijab coklat muda itu sedang duduk menyendiri di sudut ruangan. "Assalamualaikum." ucapnya sambil mendudukan diri di depan Renata. "Walaikumsalam" jawab Renata dengan lirih. "Aku merindukanmu Ren," lirih Pandji sambil menatap sendu Renata. "Sangat.. Aku sangat merindukanmu" imbuhnya lagi. Pernyataan Pandji baru saja berefek sangat hebat pada jantung Renata yang berdetak 2 kali lebih cepat. "Apa maksudmu Mas? Apa kamu gila? Kamu sudah punya Kinanthi!" cecar Renata, walau jauh dalam hatinya ia senang bukan main. "Aku hanya ingin kita berteman, kita menjadi Rena dan Pandji yang dulu, sebagai sahabat.." jelas Pandji seketika membuat Rena patah hati untuk kedua kalinya. Bunga yang baru saja mekar dihatinya layu kembali. Kinanthi hanya menganggukan kepalanya. "Datanglah padaku jika kamu membutuhkan tempat untuk bercerita." final Renata. Walau hatinya pedih, tapi setidaknya dengan begini ia bisa dekat kembali dengan Pandji. Senyuman Pandji terbit, ia mendapatkan sahabat terbaiknya kembali. meski sebenarnya ia masih mencintai Rena, tapi baginya sudah cukup ia bersahabat kembali dengan Rena. "Mas, aku ingin bertanya sesuatu, apa boleh?" Pandji yang sedang menyruput teh melati yang tadi disiapkan Rena sebelum ia datang, langsung mendongakkan kepalanya. "Silahkan." Rena tersenyum Canggung. "Apa yang membuat Mas dan Mbak Kinanthi menikah??" mati-matian Rena mentralkan detak jantungnya, antara siap dan tak siap menerima jawaban dari Pandji. Takut-takut jawaban Pandji nanti mematahkan hatinya kembali. Pandji menghembuskan nafasnya dengan kasar. Apakah ia harus mencritakan latar belakang pernikahannya dan Kinan? Ia sebenarnya malu untuk mengakuinya. "Mas.." Renata mengusap pelan tangan Pandji " Kalo kamu keberatan buat crita, nggak usah crita." Rena mencoba tersenyum dengan tulus. Pandji menggeleng "Aku dan Kinan menikah atas dasar permintaan Bu Widuri,Ibunya Kinan. beliau memintaku menikahi Kinan agar Kinanthi bisa hamil, dan setelah kinan melahirkan, aku bisa bebas dari pernikahan ini. Awalnya aku menolak. Namun Bu Widuri terus mendesakku, dan kembali mengingatkanku dengan fakta bahwa dia adalah penyelamat hidupku. Orang yang dengan suka rela memberikan satu ginjalnya untuk diriku 10 tahun lalu. Dan aku pun setuju." Jawab Pandji sambil menerawang saat-saat Bu Widuri membujuknya beberapa bulan lalu. Renata diam, rasanya terlalu rumit untuk menanggapi jawaban Pandji. "Apa Mas mencintai mbak Kinan?" tanya Rena dengan hati-hati. Dengan berharap jawabannya adalah tidak "Dia adalah istriku sekarang Ren." Renata diam, bukan itu jawaban itu yang ia inginkan. Kinanthi menyandarkan kepalanya di sofa. Menatap lurus keatas dengan pandangan menerawang. Sungguh dalam hatinya ia merasa bersalah pada Pandji. Ia adalah Laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Namun entahlah tiap kali ia mencoba membuka hatinya untuk Pandji selama sebulan ini, ia merasa seperti dihantui bayang-bayang masa lalunya bersama Pandu. Kinanthi menitikan air matanya, rasanya tak sanggup mengingat-ingat perlakuan Pandu dan mertuanya dulu. Keadaan merubah Kinanthi yang dulunya gadis lembut dan sederhana, menjadi seperti Kinanthi sekarang ini. Ia tak mau dianggap lemah oleh siapapun. Ia tak ingin ditindas. Ia lelah menjadi orang yang baik. Ia memejamkan matanya sejenak. "Kamu ini nggak becus jadi istri!" "Kalo kamu nggak mau dimadu ya kita cerai saja! Aku ingin anak Nan! Aku butuh penerus!" "Mas, kita bisa periksa dulu kan?? Kita bisa program bayi tabung juga.. Aku nggak mau pisah mas.." Kinanthi membuka matanya, tiba-tiba seklebat bayangan masa lalu itu datang lagi di mimpinya. Nafasnya terengah-engah. Ia melirik jam di dinding ruang kerjanya. Pukul 6 sore. Ia pun segera bergegas pulang. sesampainya dirumah Kinanthi melihat mobil Pandji sudah terparkir di garasi rumahnya. Ia pun masuk ke dalam rumah mewahnya. Para maid sedang menyiapkan makan malam. "selamat malam nyonya." sapa seorang maid. Kinanthi tersenyum simpul dan langsung naik ke lantai 2 dimana kamarnya dan Pandji berada. Ceklek Suara handel pintu mengalihkan fokus Pandji yang sedang sibuk dengan laptop yang berada di pangkuannya. "Mandi gih, aku udah siapin air anget." ucap Pandji sambil menatap Kinanthi yang tampak lesu. 'Bahkan dia masih bersikap baik kepadaku, setelah tadi pagi aku menolaknya mentah-mentah' batin Kinanthi. Ia pun melepaskan semua aksesoris yang menempel di tubuhnya. Ia tata kembali di tempatnya masing-masing, dengan hati-hati dan penuh perasaan karena Kinanthi sadar betul bahwa ada harga yang harus dibayar mahal demi memakai aksesoris brandednya. Wanita itu masuk ke kamar mandi, melakukan ritual mandinya dengan yang merilekskan tubuhnya dengan air hangat yang sudag disiapkan Pandji ditambah dengan aroma terapi lavender yang membuatnya benar-benar merasa nyaman. Setengah jam kemudian Kinanthi keluar dari kamar mandi dengan berbalut baju tidur sexy, seperti biasa, kali ini pilihannya jatuh pada senuah gaun tipis dengan motif bunga berwarna salem, rambut panjang bergelombangnya ia jepit di atas kedua daun telinganya. Pandji mengalihkan pandangannya pada Kinanthi, ia menghela nafas pelan, rasanya terlalu menyiksa dirinya jika Kinanthi hanya memakai lingerie setiap malam. "Aku kebawah duluan." ucap Pandji pada Kinanthi yang sedang mengeringkan rambutnya. Suasana makan malam terasa sepi seperti biasanya. Kinanthi dan Pandji sama-sama enggan membuka suara. Keheningan memang kerap kali menjadi pengisi diantara kedua insan tersebut. Terlebih jika sedang begini, mereka layaknya dua orang tak saling kenal yang terkunci  dalam satu ruangan yang sama. Kinanthi duduk bersandar di ranjang. Sementara Pandji kembali berkutat dengan laptopnya, ada banyak lembar-lembar revisi milik mahasiswanya yang harus ia koreksi. Kinanthi membuka suara "Aku udah putusin, kita ikut promil minggu depan. karena aku dengar-dengar bayi tabung itu mmenyakitkan dan prosesnya yang repot. Aku males." Ujar Kinanthi seolah tak ada beban, padahal dalam batinnya pun berdetak kencang. Pandji hanya mengangguk saja, meski dalam benaknya ia membayangkan bagaimana nanti saat prosesnya, lelaki itu bahkan belum pernah mencium wanita sama sekali. Kantuk mulai menyerang Pandji. ia segera menutup laptopnya dan merapikan kertas-kertasnya. Lalu menyusul Kinanthi yang sudah merajut mimpi, wanita itu nampak tidur dengan posisi telentang, membuat Pandji sedikit banyak  bisa puas menatap Kinanthi yang biasanya kan selalu  memalingkan wajah ketika ia tatap, dan itu menjengkelkan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN