Tata melangkah mendekati pakleknya yang menuruni undakan kecil teras rumah. “Paklek, kenapa ibuk harus dimakamkan besok siang? Kenapa nggak hari ini aja?” Pak Wahid tersenyum dengan kedua tangan menelakup di depan, menyapa para pelayat yang baru datang. Setelahnya, dia menatap Tata yang berdiri di depannya. “Yang layat masih sedikit. Kalau besok, pasti pelayatnya banyak.” Kening Tata jadi berlipat mendengar jawaban yang dia nggak ngerti. Dia mengikuti langkah kaki pak Wahid yang duduk di kursi plastik sewaan dari kampung. “Kamu ini kok nggak paham itungan bisnis sih, Ta.” Pak Wahid melirik ke kiri kanan lebih dulu. Istrinya menyambut pelayar lain di halaman depan sana. “Liat itu.” Dia menuding ke arah kotak kardus yang ditutupi taplak meja. Di sana beberapa orang memasukkan amplop yang