Viola duduk di ujung sofa ruang tamunya. Matanya menatap kosong ke arah meja kecil di depannya. Di tangannya, ponsel yang tadi sempat memperlihatkan foto Mario dengan wanita lain masih tergenggam erat. Suara Mario memenuhi ruangan, tapi tak satu pun kata-katanya benar-benar masuk ke dalam benaknya. Hatinya terlalu sesak oleh rasa kecewa yang merambat seperti racun perlahan-lahan. Mario berdiri tak jauh dari Viola. Nafasnya berat. Ia sudah menjelaskan segalanya—dari awal pertemuan bisnis, rencana lama pembangunan hotel, hingga alasan kenapa mereka harus meninjau lokasi secara langsung. Ia bahkan sudah menunjukkan dokumen kerja sama, bukti transfer pembayaran proyek, dan pesan-pesan profesional dari wanita yang bernama Patricia itu. Tapi tak satu pun bisa memecah dinding kaku di hati Viola.