"Kamu mau kemana?" Berteriak pada Sandira, gadis itu terus melangkah menuju halaman depan kerajaan.
Para pengawal menundukkan kepalanya, mereka tidak berani menatap wajah Sandira karena ketetapan hukuman di kerajaan Derios.
Siapapun yang berani menyentuh atau menatap wajah istri raja secara langsung akan dipenggal kepalanya.
Sandira melangkah terhuyung-huyung, dia sampai di ujung tebing. Gadis itu kebingungan hendak turun ke bawah. "Sialan! Gue kan gak punya sayap! Gimana caranya bisa turun? Pakai alat terjun payung?" Celingukan mencari sesuatu yang bisa dia pakai untuk menuruni tebing.
Berulangkali melongokkan kepalanya ke bawah, tapi masih tetap tidak menemukan cara untuk turun.
Sandira tengkurap, kemudian gadis itu merayap sambil menatap ke bawah tebing, berdiri pun dia tidak punya nyali sama sekali apalagi melompat turun.
"Kalau gue nekad terjun, sampai di bawah sana, pasti gue sudah jadi rempeyek kacang!" Menggaruk kepalanya merasa pusing.
"Ngapain kamu?" Derios tersenyum manis, sudah duduk santai di sebelahnya sambil membiarkan kakinya menjuntai ke bawah tebing.
"Lo enak punya sayap! Nah gue, boro-boro bisa turun dengan selamat. Nyampai tengah paling nyangkut ke daun ranting pohon. Habis itu tumplek ke atas batu, kepala gue pecah berhamburan jadi makanan binatang."
Menggerutu sambil menopang kepalanya dengan kedua telapak tangannya. Masih dalam posisi tengkurap.
"Kamu ingin sekali ya kembali ke dunia manusia?" Melihat wajah gadis itu seraya menatap sedih.
"Dari pada di sini Lo jadikan mesin penetas, mending gue balik!" Tetap pada pendiriannya untuk kembali.
"Sandira, pernahkah kamu mencintaiku?" Bertanya dengan sungguh-sungguh.
"Aduh Bambang! Gue belum pernah pacaran, terus tiba-tiba nikah sama elo. Cinta itu rasanya kayak gimana sih?" Menggaruk kepalanya sendiri.
Kalau di ingat-ingat, Sandira memang tidak pernah sama sekali dan mungkin tidak pernah memiliki kesempatan untuk jatuh cinta.
Jangankan jatuh cinta, cowok aja muntah ketika berpapasan dengan dirinya. Bagaimana caranya jatuh cinta. Gadis itu tidak tahu sama sekali.
"Cinta itu, ketika kamu rela memberikan apapun untuk orang yang kamu cintai tanpa mengharapkan imbalan atau apapun." Jelasnya pada gadis itu.
"Lo bilang itu cinta? Lo aja gak tulus sama gue! Masa Lo nikah sama gue cuma buat jadi mesin penetas! Kesel gue sama Lo!" Memalingkan wajahnya ke arah lain.
Derios tersenyum melihat Sandira merajuk, pria itu meraih kepalanya kemudian direbahkan di atas pangkuannya.
"Jangan lempar gue! Gue masih pengen hidup! Pengen tahu apa itu cinta!" Berteriak kencang sambil menutup matanya, sampai Derios tertawa terpingkal-pingkal.
"Aku tidak akan membiarkan kamu mati!" Ujarnya membuatnya tercekat.
"Pria tampan ini, meskipun nyebelin tapi kayaknya dia perhatian sama gue!" Cetusnya dalam gumaman.
Derios mendengar itu, dia merunduk mengecup keningnya. "Jangan pergi dariku." Bisiknya di telinga Sandira.
"Kenapa? Bukannya Lo cuma minta gue buat lahirin bayi, terus boleh pulang? Lo kalau ngomong jangan plin-plan dong!" Merasa terintimidasi.
"Iya, tapi kita sama-sama, gak boleh sendiri-sendiri." Jelasnya lagi dengan suara lemah lembut.
"Pa'an sih? Plin-plan! La terus itu bayi siapa yang ngurus kalau Lo ikut gue?" Tidak mengerti kenapa Derios malah meninggalkan bayinya di istana sendirian.
"Dia akan baik-baik saja, banyak pengurus kerajaan yang akan merawatnya. Dia bukan bayi biasa seperti bayi manusia." Jelasnya lagi sambil tersenyum.
"Enak bener, jadi gak perlu nungguin sampai gede begitu?" Derios mengulum senyum sambil menggelengkan kepalanya berkali-kali.
"Kamu imut sekali!" Bisiknya di telinga Sandira. Gadis itu masih merebahkan kepalanya di atas pangkuannya.
"Seandainya kamu manusia, pasti aku sangat bahagia. Bisa menikahi pria tampan seperti dirimu." Bisik hati kecilnya, tapi pada kenyataannya pria itu tetap saja bukan manusia.
Hari itu Sandira menatap jauh ke ujung matanya. Di tepi tebing bersama suaminya. Dia tidak bisa merasakan pagi atau siang, malam atau senja.
Waktu seolah-olah berhenti di masanya. Tidak berputar seperti di dunianya. Perasaan jengah mulai menerpa hatinya.
Dia ingin kembali, kembali ke dunianya. Dunia manusia.
"Maukah kamu membawaku kembali?" Gadis itu kembali mengucapkan kata-kata setelah sekian lama berbaring di atas pangkuannya.
Derios tersenyum, kemudian membawanya melompat turun. Sayapnya kembali mengepak di angkasa. Membawa gadisnya turun ke dunianya.
Derios terus menatap wajah gadis itu lekat-lekat, angin menerpa wajah Sandira. Membuat helaian anak rambutnya meliuk-liuk di kedua pipinya.
Saat turun di dalam rumah Sandira. Gadis itu terkejut melihat rumahnya telah runtuh dan rata dengan tanah.
"Memangnya berapa lama kita tinggal di duniamu? Rumah gue sudah hancur rata begini?" Kebingungan karena tidak punya tempat tinggal lagi selain rumah peninggalan neneknya itu.
"Dua puluh tahun." Ujarnya pelan, kalem, dan tenang.
"Whaaat! Nipu Lo bro? Dua puluh tahun? Artinya umur gue empat puluh tahun dong? Sudah nenek-nenek dong gue?!" Sibuk meraba pipinya sendiri.
Sandira berjalan kesana-kemari, dia tidak tahu apa yang bisa diperbuatnya. Memperbaiki rumah bukan keahliannya, uang juga tidak punya sama sekali.
Keberadaan Derios di sana benar-benar bagai angin lalu yang tidak terlihat di depan matanya.
Derios duduk berjongkok di atas puing-puing bangunan rumah Sandira. Pria itu menopang dagunya dengan telapak tangan kanannya, menunggu Sandira mengatakan sesuatu padanya.
Tapi gadis itu tetap saja mondar-mandir tidak jelas, seperti ayam kehilangan sarangnya.
"Huuuuh.." Derios menghela nafas panjangnya melihat Sandira melangkah ke barat.
"Huuuuh..." Derios kembali menghela nafas panjangnya melihat Sandira melangkah ke timur.
"Apaan sih Lo! Gangguin orang lagi mikir!" Teriak gadis itu dengan berkacak pinggang.
Derios segera berdiri, dia melemparkan ranting pohon di dalam genggaman tangannya sejak tadi ke belakang punggungnya.
"Blllaaaarr!" Sandira terkejut melompat ke dalam pelukannya.
"Sialan! Lo lempar bom? Sudah ancur Lo ancurin lagi???!" Berteriak hendak memukul kepalanya.
"Ctak! Ctak! Ctak! Blap! Blap!" Derios menjentikkan jarinya tiga kali sambil tersenyum, pria itu melihat wajah Sandira penuh rasa kagum menatap keajaiban yang sedang berlangsung saat itu.
Rumah Sandira tersusun kembali, bahkan bangunannya lebih cantik dan lebih megah dari sebelumnya.
"Wah keren! Kenapa Lo gak bilang kalau Lo bisa... Mmmm!" Belum sempat menyelesaikan perkataannya, bibirnya sudah habis dalam kulumman bibir Derios.
Derios mengangkat tubuhnya masuk ke dalam rumah barunya. Sandira bergelayut mesra di leher suaminya.
"Kamu tampan sekali.." Desisnya lirih tanpa sadar sama sekali. Seperti seseorang sedang bergumam.
Derios hanya tersenyum mendengar ucapan Sandira. Pria itu menurunkan tubuhnya. Sandira segera berlari seraya menjinjing gaunnya, gadis itu tersenyum manis berlarian kesana-kemari.
Kemudian memutar tubuhnya sambil merentangkan kedua tangannya. Betapa bahagianya dia saat itu.
Beberapa menit kemudian dia terdiam lalu melangkah kembali ke arah Derios. "Ini bukan mimpi kan?! Dan dinding juga ubin berkilauan ini asli kan?!"