Keesokan harinya..
"Gue harus balik ke rumah." Bangun dari tempat tidurnya, kembali memakai pakaiannya.
"Kamu tinggal di sini saja, kan kita sudah menikah?" Duduk di tepi tempat tidurnya. Menatap Sandira yang sudah bersiap-siap untuk pergi.
"Itu rumah warisan nenek gue, gak baik ninggalin gitu aja." Meraih tasnya dan pergi meninggalkan Derios.
"Bagaimana denganku?" Melongo belum memakai bajunya.
"Lo kan sudah gede, terserahlah Lo mau ngapain. Gak perlu laporan sama gue." Sandira keluar dari dalam ruangan ruang kerja Derios.
Sampai di lobi dia tidak menemukan penjaga wanita Belanda itu. "Kemana perginya dia? Dan pengunjung juga sama sekali tidak ada." Menggaruk keningnya merasa sedikit janggal.
"Ada apa nona?" Rose tiba-tiba muncul di belakang punggungnya tanpa angin tanpa hujan.
"Astaga setan!" Teriak Sandira terkejut melompat ke samping.
"Emang setan, kenapa nyariin saya? Kangen ya?" Memainkan kuku jari telunjuknya.
"Aku pikir anda libur, sepi sekali hari ini." Gumam Sandira seraya nyengir ngibrit keluar. Dia takut tiba-tiba Derios menariknya lagi seperti kemarin. Baginya bisa lolos pagi itu adalah keberuntungan.
Gadis itu melangkah menuju rumahnya. Dia tidak punya uang sama sekali.
Kemanapun dia pergi Derios selalu muncul di sana. Rasanya seperti lebah yang terus mencium aroma gula.
Sandira kebingungan harus mencari pekerjaan di mana. Gadis itu dengan lesu melangkah masuk ke dalam rumahnya.
"Wah makanan dari mana ini?" Senang sekali melihat aneka masakan sudah terhidang di atas meja.
Derios berdiri di ambang pintu ruang makan, rambut putihnya sudah kembali. Dia tersenyum melihat wajah cerah Sandira.
"Lo yang masak ini semua? Wah keren Lo dah kayak keong mas aja!" Menyerbu makanan di atas meja, makan dengan lahapnya.
"Pelan-pelan saja, tidak akan ada yang berebut denganmu." Tersenyum manis menatap Sandira menikmati makanan dengan rakusnya.
"Lo bilang, mau tinggal di perpustakaan? Kenapa malah ikut kemari?" Tanya gadis itu seraya meneguk segelas air putih.
"Kan aku sudah bilang, kita gak boleh jauhan." Tersenyum manis sambil mengusap pipinya.
"Ni vampir beneran buta ya? Gue kan jelek banget, dia tampan banget! Walaupun dia setan sih! Tapi tetap saja masa setan gak bisa bedain muka jelek dan muka ancur!" Bergumam sendiri tanpa peduli Derios mendengar ucapannya.
"Ah tahu lah, pusing gue!" Membawa piringnya ke dapur mengabaikan keberadaan Derios.
"Dira.." Panggilnya seraya tersenyum.
"Apa?" Mencuci piringnya tanpa menoleh.
"Kencan yuk?" Ajaknya sambil nyengir berdiri di sebelahnya.
"Kencan!?" Sandira menoleh ke arahnya segera. "Ngimpi apa gue! Ni vampir selain buta, juga gak waras?"
"Mana ada kita jalan bareng ke tempat umum. Muka gue burik gini mau dipamerin ke tempat umum!? Yang ada dia jadi rebutan jepretan kamera! Nah gue? Pasti mereka pikir gue pembantunya!"
"Niat banget mau nunjukin kalau gue jelek!" Menggerutu selama satu jam.
"Kamu cantik kok." Serunya sambil menopang dagunya.
"Hahahaha! Cuma Lo doang yang bilang gue cantik! Miris banget, cuma hantu yang mau muji gue, terus mepet-mepet sampai segitunya!" Tertawa putus asa, melangkah menuju kursi kayu lalu duduk di sana.
Derios ikut duduk di sebelahnya. Sandira berkali-kali menghela nafas panjang.
"Kamu beneran cantik, kenapa terus bilang kalau kamu jelek?" Menyentuh pipinya.
"Lo buta ya? Gue itu dari lahir gak pernah ada yang bilang gue cantik. Tetangga gue aja bilang kalau badan gue mirip cacing gak ada bentuk." Menggelengkan kepalanya menelan ludahnya.
"Kamu cuma gak dandan saja. Coba kalau dandan! Mau aku dandanin?"
"Hahaha! Emang Lo punya salon di alam baka? Ntar gue Lo dandanin kaya kuntilanak! Ogah gue!" Menjauhkan dirinya dari Derios. Masuk ke dalam kamarnya.
Saat melewati cermin dia sangat terkejut melihat penampilannya. Gaun warna merah jambu menjuntai cantik sampai ke betis. Dan rambutnya tertata rapi dengan pita warna senada dengan bajunya, bak putri dari negeri dongeng.
Make up natural menghiasi wajah polosnya, dan tompelnya yang selama ini bertengger di sana sudah lenyap entah kemana.
Derios tersenyum, berada di belakang punggungnya. Sandira menoleh ke arahnya seraya menjinjing gaunnya.
"Apa ini semua? Kenapa wajahku bisa berubah! Astaga logatku juga hilang!" Sandira menutupi bibirnya dengan jemari lentiknya.
"Kamu adalah istriku, aku punya kedudukan tinggi di negeriku." Derios berjongkok seraya mengulurkan tangannya, menunggu Sandira menyambutnya.
Sandira tersenyum manis kemudian melewatinya bercermin di kaca lemari.
"Wah beneran wajahku terlihat cantik. Ini bukan mimpi kan?!" Derios memijit pelipisnya merasa pusing melihat Sandira mengabaikannya.
"Wah kalau cantik begini, gak akan ada yang bilang gue burik lagi." Menyentuh pipinya dengan kedua tangannya.
"Kamu tetap istriku, karena kita sudah menikah. Gak boleh dekat-dekat dengan pria lain." Derios membisikkan itu di telinganya.
"Jangan mikir kejauhan deh, gue pengen kuliah. Boleh kan?" Mengerling manja sambil memegang lengannya.
"Astaga imutnya!" Gumamnya sambil mengangguk kecil.
"Terima kasih! Cup!" Mencium pipinya sambil menggamit lengan Derios.
"Hahaha! Kelinci kecil, kamu senang sekali dengan hal sederhana ini." Sandira tersenyum mendengar Derios memanggilnya dengan sebutan kelinci kecil.
"Ikut aku." Menarik lengannya menuju ke suatu tempat.
"Kemana?" Tanyanya bingung.
"Istanaku." Derios tersenyum manis mengangkat tubuhnya, kemudian melompat tinggi. Sandira berpegangan erat pada lehernya. Pria itu membawanya terbang dengan sayap hitam di belakang punggungnya.
"Lo bukan keturunan angsa kan?!" Tanyanya saat mereka melintasi hutan belantara di bawah sana.
"Bukan." Derios masih tersenyum menatap wajah keheranan di dalam pelukannya.
"Tapi bagaimana kamu bisa punya sayap?" Masih kebingungan dengan pikirannya sendiri.
"Aku raja Vampir." Bisiknya sambil mencium pipinya.
Sandira tercekat mendengar ucapannya itu. Raja Vampir dalam bayangannya adalah drakula mengerikan dengan wajah semrawut tidak karuan.
Tapi pria yang berada di dekatnya itu terlalu tampan. Batinnya tidak ikhlas jika mendapati pria itu adalah raja Vampir.
Dia ingin pria itu hidup seperti dirinya, hidup normal seperti manusia lainnya.
Tapi itu hanyalah keinginan hatinya, hanyalah mimpinya. Karena pada kenyataannya dia adalah vampir. Vampir yang telah menikahinya.
Derios mendarat di depan sebuah kerajaan megah. Baru kali itu Sandira melihat gedung megah, lebih megah dari istana Mesir yang biasa dia lihat di televisi.
Gadis itu mengedarkan pandangan matanya ke seluruh penjuru. Ada air mancur jernih di tengah taman. Para penjaga berpakaian rapi bak para artis tampan Korea sedang berjajar menunggu kedatangan dirinya.
"Ini duniamu? Kenapa rasanya seperti masuk ke abad modern? Bukan istana batu yang banyak lumut nempel di sana-sini! Tapi kerajaan mewah seperti film pendek di dunia Salermoon!?" Tanyanya bertubi-tubi.
Derios mengernyitkan keningnya mendengar nama asing hinggap di lubang telinganya untuk pertama kalinya.
"Siapa Salermoon?!" Teriaknya dengan wajah marah menatap Sandira.
"Itu, emak gue!" Nyengir ke arahnya.
"Bukan mantan pacar kamu?!" Tidak percaya pada Sandira.
"Bukanlah, dia cewek kok!" Ujarnya sambil menggaruk kepalanya sendiri.
"Astaga dia bahkan cemburu pada anime!" Gumam Sandira seraya menahan tawa.