Akhirnya, hari sidang itu pun tiba. Rania duduk di lorong fakultas, lututnya saling bergesek, jemarinya sibuk meremas buku catatan yang sudah lecek entah sejak jam berapa. Napasnya pendek-pendek. Entah karena cemas, atau karena dia merasa belum siap sepenuhnya. Di sekelilingnya, mahasiswa lain tampak sama tegangnya, meski tidak ada yang benar-benar terlihat seperti hendak pingsan seperti dirinya. Untungnya, karena "relasi dalam", Rania dipindahkan ke urutan sidang terakhir—sekitar pukul sebelas lewat lima belas. Sinar matahari yang mengendap di sela kaca jendela tidak membantu menenangkan kepalanya yang mendidih. Terlalu banyak hal yang harus ia pikirkan: judul, argumen hukum, metodologi, sampai kemungkinan terpeleset di depan empat penguji yang menyeramkan. Apalagi salah satunya adalah.