“Satu bulan lagi kalian akan menikah.” Kalimat itu jatuh seperti petir di ruang tengah yang semula hening. Tyo menyandarkan punggung ke sofa dengan tangan terlipat, tatapannya tajam menusuk ke arah Prabu dan Rania yang duduk berdempetan seperti sepasang anak remaja yang baru saja ketahuan mencuri hosti di gereja. Rania menunduk. Prabu mengangguk pelan. Tak satu pun dari mereka berani bicara. Dan seperti sudah ditentukan surga—sosok yang biasanya tenang dan sabar kini menyala paling dulu. “Rania Maheswari,” suara Lestari agak melengking, membuat semua kepala menoleh. “Kamu itu perempuan! Kamu calon istri! Katolik itu menghormati tubuh sebagai bait Roh Kudus! Itu pelukan, ciuman—apa lagi coba itu?! Di apartemen! Dengan baju seperti itu! TUHAN LIHAT, RANIA!” “Ma… aku—” “Diam. Kamu itu