Rania mengusap perutnya sambil berbaring miring di atas ranjang empuk berseprai linen putih gading. Lampu kamar telah diredupkan sejak setengah jam lalu, tapi matanya masih terbuka, menatap langit-langit dengan napas yang pelan namun berat. “Kamu tahu, Nak…” bisiknya pelan, jemarinya mengelus perutnya yang belum tampak membuncit, “...Bunda suka banget matcha. Sementara ayahmu…” ia tertawa kecil, “...pingsan kalau nyium aromanya.” Ia tersenyum puas dalam gelap. “Bagus ya. Kamu nurut sama Bunda. Bikin Ayah menderita dikit… biar tahu rasanya.” Tapi senyum itu perlahan hilang digantikan gumaman kesal saat tubuhnya tak juga bisa terlelap. Mungkin karena kantuknya keburu lewat setelah menonton film drama Prancis yang disetel pelayan sore tadi. Atau mungkin… karena terlalu hening malam ini. Ata