Prabu yang bangun lebih dulu, masih dalam posisi setengah rebah, merasa seolah baru saja ditarik dari mimpi paling indah. Di dadanya, tubuh Rania masih terlelap memeluk erat, wajahnya yang lembut bersandar di lekuk lehernya seolah tempat itu memang diciptakan hanya untuk perempuan itu. Napas Rania teratur dan hangat, sesekali menggelitik kulitnya. Prabu menatap ke bawah—melihat rambut hitam itu tergerai acak namun memesona, pipi yang kemerahan oleh dinginnya udara Paris, dan bibir mungil yang sedikit terbuka, seakan hendak berbisik sesuatu bahkan dalam tidur. Tuhan, apa yang telah ia lakukan hingga diberi hak untuk memeluk ciptaan-Nya yang secantik ini? Ia menyentuh pelan rambut Rania, mengusapnya perlahan dengan jari-jari yang nyaris gemetar karena rindu. Di sinilah kerinduan itu menemu