Dan mimpi itu lagi? Dita tahu ia tidak sedang terjaga. Tapi tubuhnya bereaksi seolah semua ini nyata. Ia bisa merasakan seprai dingin yang kontras dengan panas tubuhnya sendiri, dan di atasnya, Bram. Pria itu menindihnya, menatapnya dengan sorot mata yang dalam dan penuh kepemilikan, seperti seseorang yang telah menunggu terlalu lama untuk akhirnya bisa menyentuh apa yang sudah menjadi miliknya. “Dita…. Buka lebih lebar.” Ia tak tahu kapan pakaiannya lenyap, atau sejak kapan tubuh mereka terikat begitu rapat. Yang ia tahu, kulit mereka bersatu dalam gerakan lambat yang menyiksa. Pinggul Bram menggoyang lembut, perlahan, seperti menghormati setiap lekuknya tapi juga menuntut seluruhnya. “Nikmat… terlalu nikmat…” desah Dita lirih, tubuhnya melengkung saat Bram menggigit bahunya, lalu men