“Bilang apa?” Dita menatap Bram, matanya masih sembap tapi penuh tanya, suaranya nyaris pelan—seolah takut jawaban itu hanya fatamorgana dari malam yang terlalu panjang. Bram menatap perempuan di pangkuannya itu, lalu mengangguk perlahan, suaranya rendah namun tegas, seolah setiap katanya adalah ikrar. “Aku mau mencintaimu, Dita. Jalani hidup sama kamu. Tanpa sandiwara. Tanpa pura-pura. Yang nyata… kamu dan aku.” Dita melongo, tak berkedip, lalu—plak! Tamparan pelan mendarat di pipi Bram. Ringan, namun cukup membuat pria itu ternganga sejenak. “Aduh.” Dita mencondongkan wajahnya, kening berkerut. “Mas… kamu nggak salah bicara, ‘kan? Nggak lagi mikir ini mimpi?” Bram terkekeh pelan. Ia menarik dagu Dita dengan dua jarinya, lalu mengecup bibir perempuan itu sekali—ringan, seperti petika