Selain untuk bersetubuh, kedatangan Dita ke keluarga besar Raditya juga berarti satu hal lain: mengenal mereka lebih dalam. Bukan hanya lewat meja makan atau kasur empuk yang menguji napasnya setiap malam, tapi juga lewat dunia dan tanggung jawab yang membesarkan Bram hingga menjadi lelaki seperti sekarang. Dan pagi itu, setelah dihajar cinta secara harfiah, Dita bahkan belum sempat mengeringkan rambutnya ketika Ayuning sudah berdiri di ambang pintu dengan blus tenun, celana panjang, dan semangat seorang perempuan yang tidak bisa diam. “Kita ke museum, ayo,” kata ibu mertuanya dengan senyum lebar. Dita hanya bisa mengerjap, lalu tertawa kecil saat Bram melambai pelan dari ruang tengah sudah rapi, dibawa Abimana ke kantor yayasan keluarga mereka. “Good luck,” gumam Bram saat lewat, lalu