Bram ingin sekali terlelap dengan damai dengan Dita dalam pelukannya, suhu tubuh yang mulai seimbang, dan helaan napas perempuan itu yang perlahan menjadi teratur, hatinya terasa tenang untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir. Namun ketenangan itu tidak bertahan lama. Ponselnya yang tergeletak di atas meja samping tempat tidur bergetar pelan. Satu dering. Lalu dua. Bram membuka mata dan mengerjap, mendapati layar menyala dengan nama yang langsung membuat dadanya menegang: Abimana – sang Bapak. Pukul sebelas malam di Vancouver. Itu berarti pukul dua siang di Yogyakarta. Panggilan ini bukan sekadar basa-basi. Dengan sangat hati-hati, Bram melepaskan pelukannya. Ia menyelimutkan tubuh Dita lebih rapat, memastikan udara hangat dari pengatur suhu tetap menyelimuti perempuan itu. B