Hari demi hari, kedekatan itu tidak lagi bisa disebut sandiwara. Entah sejak kapan, Dita mulai menikmati setiap perlakuan lembut Bram, pelukan dari belakang saat ia memasak, belaian di tengkuk ketika ia mengeluh lelah, atau sekadar sentuhan kasual yang terlalu sering mendarat di pinggul dan bahunya. Bram pun semakin longgar dengan batas. Tangannya mudah menemukan punggung Dita ketika mereka tidur di sofa yang sempit, dan bibirnya kerap singgah di pelipis atau dahi tanpa alasan. Dita tahu ia sedang dimanjakan. Tapi kali ini, ia tidak melawan. Ia menikmatinya. Bahkan, berharap lebih. Malam itu, rooftop apartemen tampak seperti dunia lain. Kolam infinity yang menghadap langit kota memantulkan cahaya lampu metropolis dalam riak pelan. Tidak ada orang lain, hanya mereka bertiga: Dita, Nadira,