Sebisa mungkin Tasha menahan tawa ketika mendengar penjelasan Elvie, bahwa dia menyesali apa yang terjadi dengan Varrel. Bukan tawa karena lucu. Tapi tawa getir. Tawa yang muncul sebagai pelindung dari tangis yang nyaris meledak. Di depannya, Elvie, perempuan elegan dengan riasan yang sempurna dan kalung berlian tipis di lehernya berbicara dengan suara pelan, namun mata yang basah. “...Aku tahu mungkin ini terlambat, tapi aku benar-benar menyesal, Tasha,” ucap Elvie, jemarinya meremas ujung tisu di pangkuannya. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk anakku. Untuk keluarga ini. Varrel harus mendapat haknya dari Eyang Tirwanegara. Itu… yang selalu kupikirkan.” Tasha menghela napas pelan, menaruh sendoknya di atas piring. Makanan di hadapannya sebenarnya nikmat, namun terasa hambar sejak awal.