Tadinya Bram akan meminta sopir mengantarkan mereka kembali ke Jakarta. Namun setelah semalam tubuh dan hatinya seperti diisi ulang oleh Dita dengan kelembutan, gairah, dan perhatian yang memabukkan segala rasa kesalnya luruh. Ada ketenangan yang sulit dijelaskan. Maka pagi itu, dengan langit Yogyakarta masih diliputi embun dan warna biru pucat, Bram sendiri yang duduk di belakang kemudi. Ia membawa salah satu mobil milik Eyang Wireja, yang sejak dulu menyimpan koleksi mobil klasik Jepang seperti menyimpan kenangan masa muda. Perjalanan panjang itu terasa ringan. Tak ada Dario. Tak ada Delon. Hanya ada Dita, duduk bersila di kursi penumpang, rambut diikat asal, wajah tanpa riasan, dan mata berbinar setiap kali melihat sawah membentang atau tenda-tenda warung dadakan di pinggir jalan. Sepa