Mungkin terlambat untuk kabur karena nyatanya, Dita kini telah resmi menjadi garwa dari Bramasta Raditya. Ia duduk di atas krobongan panggih, singgasana pelaminan khas Yogyakarta, dengan tubuh yang gemetar pelan dalam balutan kebaya basahan warna gading bertabur sulaman emas. Rambutnya digelung bokor mengkureb, dihiasi cundhuk mentul yang bergetar setiap ia mengangguk. Hatinya yang semula kacau seketika membisu saat sosok Bram berjalan menghampiri di bawah teduh langit sore, mengenakan beskap lurik hitam dan kain jarik sidomukti, lengkap dengan keris berwrangka ladrang yang diselipkan di punggung. Tubuhnya tegap, rahangnya tegas, dan mata hitamnya membawa tenang, terlalu memukau untuk tidak pasrah. Janji suci mereka diikrarkan di bawah pendhapa ageng, lantai marmer dingin dipenuhi taburan