Dita sendiri tidak mau menyerah begitu saja. Meski Claire sudah melarang, meski perasaannya sendiri rapuh seperti kaca tipis yang sudah retak, Dita tetap bersikeras. Ia ingin mencoba. Ia tahu risikonya. Tapi ia tidak bisa terus bersembunyi di balik diam. Hari ini, ia ingin memikul sendiri luka yang telah ia sebabkan. Pagi itu, ia duduk di meja makan bersama Mbok Rasti. Sinar matahari menyelinap dari balik tirai apartemen, menyinari piring sarapan yang sebagian besar masih utuh. Dita hanya mengaduk oatmeal-nya, sesekali menyesap teh tanpa rasa. “Mbak Dita... kulo jaluk, mbok dipun pendem wae. Pait, tenan. Tapi ojo dibales nek ati wis robek,” ucap Mbok Rasti lembut, matanya berkaca. (Mbak Dita... saya mohon, biarkan ini berlalu. Pahit memang. Tapi jangan dibalas jika hati sudah robek.) Di