8. Kenyataan Pahit

1430 Kata
Stevan membawa Stela ke kawasan pinggiran Kota yang jauh dari jangkauan Vicky. Kalaupun mereka nekat nyusul, sudah pasti harus melewati hutan belantara yang lebat. Tidak akan ada koneksi internet di sana. Dan Stevan sangat yakin, hanya orang kurang kerjaan yang mau menyusulnya dan Stela. Mansion mewah di tengah hutan, yang jauh dari padat penduduk, berdiri megah. Bangunan tingkat yang tampak elite dari luar. Stevan menggendong tubuh ramping adiknya memasuki mansion yang sudah susah payah dia bangun. Stevan sudah merencanakan ini, sejak dia masih duduk di bangku kuliah. Diam-diam Stevan sudah memiliki rencana masa depan bersama adiknya. Tapi sayang, orangtuanya menjodohkan Stela dengan Vicky. Tentu saja Stevan berang. Pria itu sangat tidak rela bila adiknya menikah dengan pria lain. Hanya dia yang berhak atas Stela. "Selamat datang di surga kita, sugar!" bisik Stevan menjilat telinga Stela. Stevan bak psycopath yang haus akan mangsanya. Stevan membawa Stela ke kamar mewah dengan nuansa cerah. Sudah ia katakan bukan, kalau Stevan sudah menyiapkan jauh-jauh hari. Stevan membaringkan tubuh Stela dengan hati-hati, setelah melepas sepatu Stela, Stevan ikut berbaring di samping perempuan yang masih tertidur pulas itu. Penjagaan di mansion Stevan sangat ketat. Membuat pria itu tak lagi khawatir kalau ada orang suruhan Vicky yang ingin menerobos masuk. Memasuki hutan saja sudah membuat mereka tak akan selamat. Karena di sana masih banyak hewan buas. Hanya Stevan dan anak buahnya yang tahu jalanan rahasia yang aman dari serangan serigala dan lainnya. Di sisi lain, Vicky tengah mengamuk pada Claudia di ruangan staf office. Semua menundukkan kepalanya takut. Lebih-lebih, teman-teman Stela yang sudah gemeteran. Mereka yang tidak tahu duduk perkaranya ikut kena damprat boss besarnya. Vicky menendang apapun yang dia lihat. Claudia sama sekali belum bersuara, menunggu amarah Vicky reda, baru dia akan mengatakan sesuatu. "Bagaimana sampai kau kehilangan jejak istriku?" teriak Vicky dengan wajah memerah. Amarah Vicky benar-benar memuncak tatkala dia mendapat kabar kalau istrinya hilang.  Tadi Claudia menunggu Stela datang di mobil. Biasanya jam lima belas lebih sepuluh menit, Stela sudah datang meminta air. Tapi sampai setengah jam Stela tak kunjung datang. Dan saat mencari di ruangan staf office, juga tak menunjukkan tanda-tanda adanya Stela. "Maafkan saya yang lalai, Sir. Alat pelacak yang saya letakkan di ikat rambut nyonya masih dapat terkoneksi dalam pantauan saya. Silahkan lihat sendiri, Sir. Kalaupun anda berkenan, biar saya yang urus masalah ini sendiri. Karena saya yang telah bersalah. Tidak becus menjaga nyonya," jelas Claudia. Mendengar penuturan Claudia, membuat teman-teman Stela tersentak. Sebegitu ketatnya Vicky menjaga Stela. Mereka yang pernah membully Stela jadi merasa panas dingin sendiri. Mereka menakutkan hal-hal yang bisa Vicky lakukan untuk mereka. Beda dengan yang lain, Vicky merasa lega saat Claudia masih bisa diandalkan. Tapi juga tak serta merta membuatnya tenang. Bagaimana kalau sampai istrinya itu kenapa-napa. Claudia menyerahkan tabletnya pada Vicky. Vicky melihat dengan detail kemana titik merah yang terus bergerak. Untung koneksinya masih tersambung. Vicky melempar kembali tablet Claudia, yang langsung ditangkap dengan sigap. Vicky berjalan tergesa-gesa keluar dari ruangan engap itu. Claudia dan jajaran pengawal Stela mengikuti tuan besar mereka. Talita, Sari, Arkhan dan yang lainnya menghembuskan napas lega. Sekian lama mereka kerja di sini, baru kali ini tuan besar turun ke lantai dasar tempat di mana Office boy dan girl berada. Bukan tentang perkara yang membanggakan, tapi sangat menegangkan. "Gila, aku deg-degan banget," ucap Talita mengusap dadaanya. Sisi hati terdalamnya, takut kalau dia ikut disalahkan. Pasalnya, dia pernah membully istri bosnya. Terlihat dari mata tuan besarnya itu, bahwa tuan Vicky sangat menyayangi Stela. "Kayak sidang di pengadilan," timpal Sari yang langsung diiyakan semua. "Tadi aku dengar Stela kabur sendiri. Gak bersyukur banget si Stela punya suami kayak si Bos," celetuk salah satu perempuan yang langsung membuat lainnya terdiam. Sesaat kemudian, mereka saling mengangguk. "Iya, tadi aku denger juga kabur sendiri. Pasti rumah tangga mereka sedang gak baik-baik saja," ucap Talita yang jiwa nyinyirnya bangkit kembali. Mereka yang beberapa menit lalu gemeteran tak karuan, kini kembali bergosip seperti semula. Dan bahan gosipannya pun juga sama, Stela. Sudah bisa dipastikan kalau mereka mencibir Stela habis-habisan. Mengatai Stela kurang bersyukur lah, gak tau diri lah, dan bla bla bla. Tentu saja mereka tidak benar-benar tau apa yang terjadi di antara Bos dan istrinya. Andai salah satu dari mereka menjadi Stela, belum tentu mereka mampu menjalani hidup. Selalu begitu. Manusia sok menjadi hakim untuk manusia lain. Vicky menjalankan mobilnya dengan ugal-ugalan. Para bodyguardnya sudah jalan lebih dulu. Tadi ada masalah sedikit, hingga ia tidak bisa langsung ikut. Dering di hpnya berbunyi, membuat Vicky melambatkan laju mobilnya. Panggilan dari Ricko. "Maaf, Sir. Titik merah mengarah pada hutan belantara yang masih banyak hewan buas. Kita terobos atau mencari jalan lain?" tanya Ricko meminta pendapat. Tangan kanan Vicky itu tidak mau mengambil langkah yang gegabah. "Putar arah, kita pulang saja!" titah Vicky. "Tapi, sir. Bagaimana dengan Nyo-" "Putar arah!" titah Vicky telak memotong protesan Ricko. Vicky mematikan sambungan telfonnya sepihak. Memutar arah kemudinya untuk kembali ke rumahnya. Ricko memukul setirnya. Apa bosnya itu sudah gila. Hanya dengan hewan buas, bosnya sudah takut?. ***** Stela menggerakkan badannya yang terasa kebas. Ia merasa sudah tidur sangat lama. Sesuatu yang berat seperti menindihnya. "Eghhh!" erang Stela mencoba membuka matanya. Sayup-sayup, ia mendengar suara orang mendengkur. Matanya membulat saat melihat kakaknya tidur dengan damai sembari memeluknya. Stela mencoba melepas pelukan Stevan, tapi pelukan Stevan malah makin mengerat. "Kak, lepasin aku!" ucap Stela masih berusaha menjauhkan tangan kakaknya. "Diamlah, Sugar. Jangan berontak!" bisik Stevan dengan suara serak. Sebenarnya pria itu tidak sepenuhnya tidur. "Kak, kita gak boleh kayak gini." Stela gugup. Hatinya juga gelisah tiba-tiba. "Kayak gini gimana, heum?" tanya Stevan dengan tawa renyahnya. Sesaat, Stela terpesona dengan tawa Stevan. Stevan sangat tampan bila menampilkan ekspresi yang gembira. Stela menggelengkan kepalanya pelan, jangan sampai ia terlena dengan ketampanan kakaknya. "Lepasin aku, kak!" Stela berontak lagi. "Kita ada di tengah hutan sayang. Akan sangat dingin bila aku melepas pelukan kita," bisik Stevan. Dengan berani, Stevan menjilat leher Stela. Stela berteriak kencang saking kagetnya. "Kakak jangan kayak gini. Aku takut," ucap Stela yang mulai terisak. "Apa kakak terlihat menakutkan?" "Kak aku gak mau. Lepasin!" teriak Stela. "Kau berteriak, sugar?" tanya Stevan terkekeh. Stela menggelengkan kepalanya takut. Tangan Stevan menjalar meraba seluruh tubuh Stela. Stela makin terisak. Kakaknya pembohong. Stevan menjanjikan kebebasan padanya. Tapi malah ini yang terjadi. Stela merasa dilecehkan oleh kakaknya sendiri.  "Kau tau, kakak sudah lama ingin menyentuhmu begini," bisik Stevan menjilat pipi Stela. Stela berontak. Ia merasa jijik saat lidah kakaknya terasa jelas di permukaan kulitnya. "Kita saudara kandung kak, lepasin!" Steven terbahak-bahak mendengar penuturan Stela. Karena lengah, Stela mendorong tubuh Stevan hingga ia bisa bebas dari kungkungan pria itu. "Kita bukan saudara kandung, sugar!" ucap Stevan masih terbahak-bahak. Stela membulatkan matanya. Menggigit bibir bawahnya dengan gemeteran. "Apa maksud kakak?" tanya Stela yang air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.  "Duduk sini, kakak jelasin." Stevan menepuk ranjang sampingnya. Stela menggeleng takut. "Mendekatlah sugar, biar aku bisa mencium harum rambutmu itu." Stevan tersenyum miring. Membuat Stela tambah merasa ketakutan. "Rupanya, adikku yang manis ini lebih memilih dipaksa." "Arghhh!" Stela memekik kaget saat Stevan menarik tubuhnya. Mendudukkan dirinya di pangkuan pria itu. Stela bergerak gelisah. "Jangan bergerak, kalau tak ingin aku menyetubuhimu sekarang," ucap Stevan dengan v****r. Stela pusing, ia ingin muntah mendengar segala penuturan Stevan. Stevan memeluk erat tubuh adiknya yang dipangkuannya. Menghembuskan napas hangatnya pada leher adik tirinya. Sedangkan Stela sudah menangis terisak-isak dengan bahu bergetar. "Aku anak angkat orang tuamu!" bisik Stevan. Stela menegang mendengar pernyataan itu. Jadi yang anak angkat kakaknya? "Orang tuamu menginginkan anak laki-laki, tapi yang lahir malah perempuan. Itu sebabnya mereka mengadopsiku saat aku umur tujuh tahun," ucap Stevan. Tangan Stevan merayap ke dadaa Stela. Stela menjerit sejadi-jadinya meminta dilepaskan. "Jadi, biarlah aku melakukan sesuatu padamu," ujar Stevan terkekeh. "Kakak jahat!" isak Stela. "Orang tuamu lebih jahat. Mereka memaksaku menjadi kebanggaan mereka. Mereka juga akan menghajarku kalau nilai sekolahku jelek. Memakiku, menampar, bahkan Papa mu itu menendangku dengan tidak berperasaan. Hanya untuk menjadi penurus perusahaan Papamu. Karena mereka menganggap, perempuan sepertimu tidak akan berguna." Stela bagai tersambar petir mendengar semua penuturan Stevan. Memang dia merasa kedua orang tuanya tidak pernah memperhatikannya. Hanya Stevan yang menjadi fokus mereka. Sedari kecil tidak pernah ada kebahagiaan yang dirasakan Stela. "Aku yang akan memberimu kebahagiaan. Diamlah dengan apa yang aku lakukan!" Stevan menarik baju Stela. Membuat kancing-kancing seragam kerja Stela berserakan di lantai. "Aku gak mau, Kak!" jerit Stela. "Aku bukan kakakmu!" bentak Stevan mencengkram rambut Stela. Menjatuhkan Stela ke ranjang dengan kasar. "Aku sudah membuat kesepakatan dengan Papamu. Aku akan menikahimu jika kamu sudah lulus kuliah. Tapi, b*****h itu malah menjodohkanmu dengan pria lain," ucap Stevan melepas kaos yang dia pakai. "Mari kita bersenang-senang, Sugar!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN