9. Meminta

1395 Kata
Stela menangis terisak-isak, bahkan sampai menjerit saat Stevan mulai melucuti pakaiannya. Sebisa mungkin Stela memberontak. Mencoba mempertahankan harga dirinya. Stela tidak tahu bahwa kebebasan yang dijanjikan kakaknya adalah, udang di balik batu. "Kak aku mohon!" isak Stela memohon yang sudah ribuan kali tidak digubris Stevan. Stela terus memberontak, meronta, bahkan menendang tubuh Stevan. Namun tenaga Stevan lebih kuat darinya. Kenyataan bahwa Stevan adalah anak pungut masih belum bisa dicerna Stela. Kenyataan itu datang mendadaak tanpa dia duga. Sebelumnya orangtuanya pun juga tidak pernah mengatakan apa-apa.  "Nikmati saja, Sugar. Apa Vicky sudah menyetubuhimu, heum?" tanya Steven terkekeh. Stevan tersenyum senang. Sebentar lagi ia akan membalaskan dendamnya pada Mama dan Papa tirinya. Membalas rasa sakit hati yang sudah mereka torehkan padanya. Sejak dulu Stevan dikekang dan ditekan untuk bisa melakukan apapun. Saat diadobsi oleh keluarga kaya, Stevan pikir hidupnya akan makmur. Namun itu hanya sebuah angan yang tidak terlaksana di dunia nyata. Nyatanya Stevan hanya menjadi pion untuk keluarga Wijaya.  "Kalau orang tuamu masih tak sakit hati melihat kamu kuperkosa. Jangan pedulikan lagi mereka. Karena kalau mereka sudah tak peduli, hati mereka sudah membusuk mati. Dan sampai kapan pun mereka tidak akan mempedulikanmu," ucap Stevan ingin meraih Bra yang dikenakan Stela. Duaghhh! "Arghhh!" pekik Stevan memegangi leher belakangnya yang dihantam benda keras. Stevan melirik gadis kecil yang telah berani memukulnya dengan besi yang entah didapat dari mana. Dengan sisa kesadarannya, Stevan segera pergi meninggalkan Stela dan gadis kecil itu. Pria itu pergi ke kamar sebelah dan menjatuhkan dirinya di ranjang. "Arghhh b*****t b*****h kecil itu!" maki Stevan saat lehernya terasa sakit. Sekuat apa seorang lelaki, juga akan tumbang saat dipukul menggunakan besi. Apalagi dipukul dengan sekuat tenaga.  Di sisi lain, Gadis kecil bermana Fiza itu membantu Stela berbenah. Tangan Fiza terus bergetar. Terlihat sekali Fiza sangat ketakutan. "Kak, ayo aku bantu pakai bajunya." ucap Fiza dengan gugup. "Ka ... kamu siapa?" tanya Stela yang ikut gagup. Stela tidak menyangka akan ada gadis yang menolongnya yang terlihat masih belia.  "A ... aku. Aku pelayaan di sini," jawab Fiza menunduk. Tentu saja 'Pelayaan dengan arti yang bukan sesungguhnya. "Aku tidak bisa membantu kakak pergi dari sini. Karena aku juga terjebak di sini. Minta tolong saja sama orang kenalan kakak," isak Fiza gemeteran. Air mata menggenang di pelupuk mata Fiza. Ia takut karena sudah mencelakai Stevan. Pasti Stevan akan membalasnya dengan hukuman yang lebih berat. "Kamu kenapa di sini? Kamu juga kelihatan masih muda,"  tanya Stela. "Aku jadi pelayaan kak. Umurku dua puluh tahun. Aku pergi dulu kak!" pamit Fiza segera berlari dengan langkah kecilnya. Stela tidak percaya kalau Fiza sudah dua puluh tahun. Pasalnya, wajah gadis itu terlihat masih belasan tahun. Stela menggigit bibirnya kuat. Ia masih takut dengan apa yang barusan terjadi. Dan bolehkan ia berharap, kalau suaminya akan menjemputnya. Tau begini, Stela tidak akan kabur-kaburan. Brakkk! Stela tersentak saat suara gebrakan terdengar teramat jelas. Disusul jeritan dari seorang perempuan. Jantung Stela seakan melaju sangat cepat. "Kau hanya budaak. Siapa yang mengijinkanmu keluar?" teriak suara Stevan lagi-lagi menyentak Stela. Stela menurunkan kakinya dari ranjang. Perlahan, langkah kakinya yang gemetar, membawanya ke arah sumber suara. Mansion ini sangat luas. Dengan warna hitam dan abu yang mendominasi. Suara isak tangis terdengar samar-samar. Stela mengintip dari lubang pintu. Sebagai seorang perempuan, hati Stela seperti tersayat melihat apa yang dilakukan kakaknya pada gadis bernama Fiza itu. "Sudah berapa kali kau membangkang, Fiza?" tanya Stevan terkekeh kejam. Pria itu mengayunkan ikat pinggangnya ke tubuh telanjang Fiza. Fiza menjerit tertahan. Merasakan rasa sakit yang sebenarnya sudah hampir tiap hari dia rasakan. "Ampun!" isak Fiza memohon. "Memohonlah terus, Fiza. Aku suka mendengarnya." Ctass! "Arghhh!" Fiza meringis. Punggungnya sudah banyak mengeluarkan darah, tapi Stevan seakan buta. Stevan masih asik menyiksa Fiza sampai dirinya benar-benar puas. "Kamu mau melihat aku menyiksa orang yang sudah menolongmu? Kemarilah Stela." Stevan tersenyum miring menghadap pintu. Stela tersentak. Bagaimana bisa kakaknya tau kalau dia sedang mengintip. "Kemari atau kamu bakal lihat Fiza digagahi ramai-ramai oleh pengawalku," ucap Stevan mengancam membuat Fiza langsung memegang erat kaki pria itu. Fiza menggelengkan kepalanya. Stevan adalah pria b******k yang selalu mengancamnya seperti itu. Stevan bukan manusia, bahkan Stevan persis dikatakan sebagai jelmaan iblis. Tingkah Stevan tidak pernah normal seperti manusi. Stevan selalu menyiksa Fiza dan tidak membiarkan Fiza pergi. Stevan bak seorang psikopat yang ingin terus-terusan menyiksa Fiza. Melihat Fiza yang ketakutan membuat Stevan mengelus lembut rambut Fiza. Tidak ada yang tau, apa yang sebenarnya hati pria itu rasakan. Stela membuka pintu lebih lebar. Berjalan mendekati Stevan dan Fiza. "Kemari, sugar!" Stevan menarik tangan Stela. Memerangkap Stela dalam dekapannya. "Bagaimana kalau kita b******a sekarang, biar disaksikan sekalian sama Fiza?" tanya Stevan menggerayai tubuh Stela. Stela meronta, tapi lagi-lagi cekalan Stevan sangat kuat. "Kalau kau tidak mau, bagaimana kalau aku b******a dengan Fiza di hadapanmu?" Fiza menggeleng mendengar ucapan Stevan. Tubuh gadis itu yang menggigil semakin bergetar. Selama menjadi pelayaan Stevan, belum pernah Stevan mengambil keperawanannya. Hanya sebatas telanjang di depan pria itu Fiza sudah malu setengah mati. "Arghhh!" pekik Stela saat Stevan membuka bajunya kembali. "Aku belum bisa jenak kalau belum membalas semua perbuatan orang tuamu," sinis Stevan menjatuhkan Stela ke lantai dan menindihnya. Kepala Stela yang terbentur lantai terasa sakit dan berdenyut. Bahkan sampai berdarah. Suara helikopter dari atas mansion membuat Stevan menggeram marah. Suara tembakan serta pukulan juga bergantian memasuki indra pendengaran Stela, Stevan dan Fiza. "Tutup tubuhmu, bodoh!" maki Stevan melempar slimut ke tubuh Fiza. Fiza langsung menerimanya. Stevan bangkit, mengambil Pistol yang dia simpan selalu di belakang tubuhnya. Brakk! Suara pintu ditendang membuat Stela dan Fiza ketakutan. Sedetik kemudian, Stela tersenyum lega. Di sana suaminya berdiri dengan gagah. "Mudah sekali menemukanku ternyata," ucap Stevan terkekeh. Vicky menatap sinis Stevan. Ia sudah mengira kalau manusia yang punya penyakit psikis itu yang menculik istrinya. "Ternyata pasien rumah sakit jiwa yang kabur," ejek Vicky. Dikatai gila membuat Stevan tertawa terbahak-bahak. Dor! "Vicky!" teriak Stela histeris. Stevan mengarahkan tembakannya tepat di kepala Vicky. Namun sayang, Vicky menolehkan kepalanya. Membuat peluru itu melesat dan melubangi pintu. Diam-diam, Fiza berlari ke kamar mandi. Mengambil kaos dan celana, memakainya cepat. Vicky maju memukul Stevan. Stevan mengelak. Dan terjadilah baku hantam antar keduanya. "Lebih baik kamu menyerah. Anak buahmu sudah banyak yang mati di bawah." ucap Vicky menghajar Stevan. Mereka sama kuatnya. "Vicky stop!" teriak Stela yang ketakutan. "Sudah sampai mana kau melecehkan istriku?" geram Vicky meninju rahang Stevan. "Vicky sudah. Lebih baik kita pergi. Kakak belum menyentuhku," ucap Stela memegangi lengan Vicky. "Jangan sebut dia kakakmu!" maki Vicky membuat Stela tersentak. "Kau tidak akan bisa pergi, sebelum aku membalaskan dendamku." ucap Stevan menyabet lengan Stela dengan pisau kecil yang dia ambil dari saku celananya. Darah segar mengalir di lengan Stela. "b******n!" umpat Vicky menarik pelatuk pistolnya. Dor! Vicky menembak Stevan tepat mengenai lengan kanan pria itu. Bukannya kesakitan, Stevan malah terbahak-bahak. Luka tembak bukan sesuatu yang menyakitkan untuk psikopat seperti Stevan. Karena melihat darah, sama saja melihat kekuatan. "Arghhh!" Stevan jatuh tergeletak saat Fiza menyuntikkan cairan ke lengan kiri Stevan. Obat penenang dosis tinggi. "Pergilah kalian, aku yang akan mengurus Stevan," ucap Fiza menyuruh Vicky dan Stela pergi. Tanpa babibu, Vicky membopong istrinya untuk segera pergi. Helikopternya sudah menunggu. Vicky tahu mereka dikelilingi hutan belantara. Dimana binatang buas masih banyak hidup yang siap memangsa siapapun yang melewati hutan. Maka itu Vicky memilih menunggu helikopternya yang baru saja dibenahi. Di dalam heli, Vicky mengobati luka Stela yang ternyata sangat dalam. Rahang Vicky masih mengeras. Rasa khawatir, lega dan marah menjadi satu. Tapi, rasa marah lah yang lebih mendominasi. Dalam perjalanannya, Stela terus berada di dekapan hangat suaminya. Stela ingin memecah keheningan, tapi bibirnya ia katubkan kembali. Ia melihat ini bukan situasi untuk bicara. Suaminya terlihat sangat marah. Setelah sampai rumah, Vicky membawa Stela ke kamar mandi. Melucuti semua pakaian istrinya. "Dimana saja Stevan menyentuhmu?" tanya Vicky dengan tajam. "Dia be belum-" "Aku tanya dimana?" bentak Vicky. Karena tak mendapat jawaban dari istrinya, Vicky mengguyur tubuh Stela dengan air dingin. Menggosok kasar tubuh istrinya dengan sabun. Stela diam. Ia tidak berani memberontak. Hanya air mata yang menetes yang mewakili perasaannya. "Ini terkahir kalinya kejadian seperti ini. Kamu kabur lagi, kalau ada apa-apa jangan sebut namaku," ucap Vicky. Stela tetap diam. Tiba-tiba, Vicky mencengkram dagu Stela dengan kuat. Air mata makin deras menetes di pelupuk mata perempuan itu. "Jawab dengan mulutmu!" titah Vicky melumat sebentar bibir Stela. "I ... iya." "Bersiaplah. Mulai nanti malam, aku meminta hak ku," ucap Vicky dengan tegas yang bagai boom waktu untuk Stela. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN