“Jadi bagaimana hubunganmu dengan wanita itu? Kau belum menyatakan perasaanmu?” Tanya Indira pada Tony.
Saat ini mereka berdua tengah berada di dalam sebuah mall terbesar di Jakarta menunggu Gilang yang belum datang setelah setengah jam keduanya sampai. Mereka berdiri di pagar pembatas lantai dua dengan sebuah ice cream di tangan Indira.
“Belum” Jawab Tony membuat Indira terdiam.
“Memangnya wanita seperti apa dia?” Tanya Indira setelah mereka berdua terdiam beberapa saat tenggelam dalam lamunan masing-masing.
“Dia...”
“Hai guys~” Sapa Gilang yang baru datang seraya merangkul keduanya dari tengah dan membuat ucapan Tony terputus.
“Bisa tidak kau datang dengan tenang. Lama-lama kami mati karena selalu kau kagetkan” Gerutu Indira.
“Dasar galak” Ucap Gilang. “Ngomong-ngomong tadi kalian membicarakan apa?” Tanyanya sembari mengambil ice cream dari tangan Indira.
“Kenapa kau mengambil ice cream-ku?” Pekik Indira pada Gilang yang saat ini telah memakan ice cream-nya dengan gigitan besar.
“Dasar pelit” Ucap Gilang kemudian kembali memakan ice cream Indira. “Tapi kalian belum menjawab pertanyaanku. Tadi kalian sedang membicarakan apa? Wajah kalian serius sekali” Tanyanya lagi.
“Membicarakan dirimu” Jawab Indira membuat Tony langsung menatap wanita itu.
“Aku? Aku kenapa?” Tanya Gilang.
“Kau masih belum sadar, ya?” Tanya Indira balik yang membuat Tony mengerutkan keningnya.
“Apa?” Tanya Gilang tak mengerti.
“Kau seorang polisi tapi selalu bolos bekerja. Kau digaji negara untuk bekerja, bukan keluyuran seperti ini” Jawab Indira yang kali ini membuat Tony sedikit lega.
Dan ya, Gilang memang seorang polisi. Pria itu lulus dari akademi kepolisian sejak tiga tahun lalu dengan gelar Sarjana Ilmu Kepolisian dengan pangkat Inspektur Polisi Dua (IPDA). Sementara Tony merupakan seorang model dan penyiar radio jadi tak heran jika fisik pria itu sangat mumpuni.
“Hei, perawan tua. Aku bisa keluar seperti ini karena shift jagaku sudah selesai. Jadi jangan ‘sok tahu” Ucap Gilang. “Lagi pula kalian yang mengajakku” Lanjutnya.
“Dengar, pak tua. Aku bukannya ‘sok tahu, tapi kau yang terlalu sering keluyuran seperti ini yang membuatku berpikir seperti itu” Balas Indira.
“Dasar wanita, tidak pernah mau mengalah” Ucap Gilang.
“Berhenti bicara atau kujambak rambutmu sekarang juga” Ancam Indira.
“Yes, Ma’am” Ucap Gilang mengalah. Ia lebih memilih untuk mengalah dari pada harus melihat rambutnya rontok lagi untuk ke sekian kalinya karena Indira yang selalu menjambak rambut kesayangannya.
“Kalian sudah dengar kabarnya?” Tanya Tony tiba-tiba.
“Kabar siapa?” Tanya Gilang.
“Elina, mantanmu itu” Jawab Tony.
“Oh. Kenapa dia?” Tanya Gilang.
“Kudengar dia akan menikah bulan depan dan dia mengundang semua alumni sekolah kita” Jelas Tony.
“Bagus. Lang, pokoknya kau harus datang ke sana” Pintah Indira.
“Tidak mau. Untuk apa?” Tolak Gilang.
“Kau harus harus tunjukkan padanya kalau kau bisa berhasil tanpanya. Dulu dia mencampakanmu ‘kan karena kau bukan siapa-siapa. Kalau perlu pakai seragammu pergi ke sana” Ucap Indira.
“Sial, dia tidak mencampakanku tapi aku yang mencampakan dia” Sangkal Gilang.
“Ra, Gilang mau pergi ke acara pernikahan, bukan untuk menggerebek” Sahut Tony.
“Biar saja. Aku masih kesal dengannya. Bagaimana bisa dia mencampakan pria dengan wajah seperti ini? Benar, ‘kan?” Tanya Indira seraya mengarahkan wajah Gilang pada Tony.
“Sudah kubilang dia tidak mencampakanku. Aku yang mencampakan dia. Aku. Aku. Aku” Kesal Gilang.
“Bukankah dia yang memutuskan hubungan kalian berdua? Jadi sudah jelas kalau dia yang mencampakanmu. Case is closed” Ucap Indira. “Oh iya, kau tenang saja. Kami berdua akan menemanimu” Lanjutnya sembari memegang sebelah pundak Gilang.
“Tidak usah. Aku juga tidak akan pergi” Ujar Gilang.
“Kenapa?” Tanya Indira dan Tony bersamaan.
“Apa karena kau masih menyukainya?” Tanya Indira.
“Jangan bergurau. Hal itu tidak akan pernah terjadi” Jawab Gilang.
“Syukurlah” Ucap Indira dan Tony bersamaan.
“Hentikan. Kalian berdua terlihat seperti kembar yang terpisahkan” Pintah Gilang.
“Memang” Ucap Indira dan Tony yang lagi-lagi bersamaan hingga membuat mereka berdua tertawa terbahak-bahak sementara Gilang hanya bisa menghela nafasnya.
“Eh, ayo ke atas. Sudah lama kita tidak main” Ajak Indira.
“No!” Tolak Tony dan Gilang bersamaan.
Kedua pria itu memang selalu menolak jika ia mengajak mereka untuk bermain dengan alasan hanya anak kecil yang bermain permainan itu. Namun mereka berdua pun selalu luluh setelah Indira memasang wajah memelasnya. Dan itulah yang Indira lakukan saat ini.
“Kau pikir kami akan terbujuk jika kau memasang ekspresi seperti itu?” Tanya Tony.
“Ya” Jawab Indira kemudian tersenyum membuat Tony dan Gilang menghela nafas karena apa wanita itu katakan memang benar.
“Ayo” Ajak Indira dengan senyuman di wajahnya sembari menarik kedua pria berusia dua puluh lima tahun tersebut untuk mengikutinya tanpa penolakan sedikit pun.
-------
“Al” Panggil Macy saat masuk ke dalam ruang kerja Aldrich.
“Iya, Mom” Jawab Aldrich seraya menengadahkan kepalanya untuk melihat sang Ibu yang tengah berjalan mendekatinya.
“Tidurlah. Sudah hampir jam dua belas malam” Pintah Macy.
“Sebentar lagi, Mom. Al masih punya beberapa pekerjaan” Ucap Aldrich.
“Kau bisa mengerjakannya besok” Ujar Macy.
“Tidak apa-apa, Mom” Ucap Aldrich membuat Macy menghela nafas.
“Mau Mommy bantu?” Tawar Macy.
“Tidak perlu, Mom. Al bisa mengerjakan semuanya. Lebih baik Mommy tidur duluan saja” Tolak Aldrich.
Suara pintu yang dibuka agak keras membuat keduanya menoleh ke sumber suara dimana Will saat ini tengah berdiri di sana. Pria paruh baya itu pun bergegas masuk ke dalam dan menghampiri sang istri.
“Apa yang kau lakukan di sini, My Queen? Kenapa kalian selalu terlihat bersama?” Tanya Will seraya merangkul pinggang Macy.
“Lihat, putramu ini belum mau tidur dan masih sibuk dengan kertas-kertas itu” Lapor Macy.
“Sudahlah. Aldrich bisa mengurus dirinya sendiri. Lebih baik kita ke kamar sekarang” Ucap Will.
“Kau bisa mengatakan itu karena kau juga begitu” Kesal Macy.
“Sekarang ‘kan tidak lagi” Ujar Will.
“Ya, dan Aldrich yang menanggung semuanya” Sindir Macy.
“Al tidak apa-apa, Mom. Daddy benar, lebih baik kalian berdua ke kamar saja” Ucap Aldrich.
“See?” Ujar Will kemudian langsung mengangkat Macy ala bridal style yang membuat wanita itu refleks mengalungkan tangannya di leher Will. “Ayo kita ke kamar” Lanjutnya kemudian membawa Macy keluar dari sana.
“Al, selesaikan satu berkas saja lagi lalu tidur. Jangan membantah Mommy” Seru Macy sebelum Will menutup pintu.
Aldrich pun menghela nafasnya sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kebesarannya. Ia memijat pelan pangkal hidungnya. Jika boleh jujur, ia memang sudah sangat lelah saat ini. Namun ia butuh sesuatu sebagai pengalihan agar tidak memikirkan Indira secara terus menerus.
Dan karena ia adalah seorang anak yang penurut, ia pun memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaannya malam ini lalu pergi tidur. Ia pun membereskan berkas-berkas di mejanya kemudian beranjak dari sana menuju kamarnya.
Namun sebelum ia pergi ke kamarnya, Aldrich melangkahkan kakinya menuju kamar Evelyn terlebih dahulu untuk mengambil boneka babi gadis itu. Dan tepat saat ia hendak membuka pintu kamar Evelyn, sebuah suara menghentikannya dan membuatnya bergeming di tempatnya.
“Kau sedang apa?” Tanya Delwyn. “Al?” Panggilnya saat Aldrich tak kunjung menjawab pertanyaannya.
“Apa?” Tanya Aldrich seraya berbalik pada Delwyn dengan wajah datar seperti biasa menutupi kegugupannya.
“Aku bertanya, apa yang kau lakukan di depan kamar Ev?” Tanya Delwyn.
“Kamar Ev? Ini kamarku” Elak Aldrich.
“Kau bermimpi, ya? Jelas-jelas itu kamar Evelyn” Ucap Delwyn bingung. Aldrich lantas berpura-pura memperhatikan pintu dan sekelilingnya.
“Astaga, sepertinya aku sangat lelah” Ujar Aldrich. “Lalu kau? Apa yang kau lakukan tengah malam begini?” Tanyanya mengalihkan pembicaraan.
“Air minum di kamarku habis” Jawab Delwyn seraya mengangkat gelas yang ia pegang sejak tadi.
“Baiklah” Ujar Aldrich kemudian beranjak dari sana menuju kamarnya yang berada di ujung lantai tersebut dengan melewati Delwyn yang masih sedikit bingung dengan tingkah Aldrich.
Setelah sampai di kamarnya, Aldrich menghela nafas lega. Pasalnya ia hampir ketahuan oleh Delwyn. Kamar mereka berlima memang berada di lantai yang sama dengan saling bersebelahan sesuai urutan Alfabet.
Salah satu keuntungannya adalah Aldrich bisa menggunakan alasan tadi untuk menghindar. Sementara kerugiannya adalah ia harus extra hati-hati jika ingin mengambil boneka di kamar Evelyn agar tidak ketahuan yang lain seperti tadi.
Dan malam ini, sepertinya ia harus tidur tanpa boneka-boneka itu karena ia tak berhasil masuk ke dalam kamar Evelyn. Ia pun ragu jika harus mencobanya lagi. Jadi untuk menghindari kejadian seperti tadi lagi, ia pun harus berusaha lebih keras lagi untuk tidur malam ini karena boneka babi Evelyn tak ada di sampingnya.
Aldrich menghela nafas. Sepertinya malam ini akan menjadi malam yang lumayan panjang baginya.
-------
Love you guys~