“Gilang” Seru Indira yang terkejut melihat kedatangan Gilang yang tiba-tiba.
“Ada apa? Kenapa kau terkejut?” Tanya Gilang sembari berdiri tepat di hadapan Indira seraya meletakkan kedua tangannya di atas meja.
“T, tidak. Tidak ada apa-apa” Jawab Indira berbohong sementara Gilang langsung menyipitkan mata padanya. “K, kenapa kau menatapku seperti itu?” Tanyanya sedikit gugup.
“Aku tahu kau berbohong. Sekarang katakan apa maksud ucapanmu tadi? Siapa yang jadi orang ketiga?” Tanya Gilang memojokkan Indira.
“S, sudah kubilang tidak ada apa-apa. Aku hanya menebak kelanjutan cerita yang k****a kemarin” Elak Indira.
“Lalu kenapa kau gugup?” Tanya Gilang persis seperti sedang menginterogasi Indira.
“Itu karena kau datang tiba-tiba dan mengejutkanku” Ucap Indira.
“Tidak. Aku yakin pasti ada sesuatu yang kau sembunyikan” Tebak Gilang.
“Sudah kubilang tidak ada apa-apa. Kenapa kau tidak mau percaya? Kau benar sahabatku atau bukan?” Kesal Indira. “Sudahlah. Ada apa kau datang kemari? Kau menggangguku bekerja” Lanjutnya yang terlanjur kesal. Walau ia tahu kalau Gilang tak sepenuhnya bersalah, tapi ia tetap kesal karena Gilang terus memojokkannya. Sementara pria itu hanya terkekeh melihat Indira.
“Jangan marah, Nona cantik. Aku hanya bercanda” Ujar Gilang seraya mencolek dagu Indira.
“Jangan sentuh-sentuh” Kesal Indira bertepatan dengan seseorang yang masuk ke dalam tokonya.
“Hei yoo~ Kalian sudah berkumpul tanpaku?” Tanya orang itu yang tak lain adalah Tony kemudian merangkul pundak Gilang lalu mengerlingkan sebelah mata pada Indira sebagai tanda agar wanita itu merahasiakan percakapan mereka beberapa hari yang lalu. Indira yang mengerti pun menganggukkan kepalanya dengan wajah serius. Dan tentu saja hal itu tak luput dari mata elang Gilang.
“Apa itu? Sekarang kalian bermain rahasia-rahasiaan dariku?” Tanya Gilang seraya melepas rangkulan Tony di pundaknya.
“Rahasia? Rahasia apa? Kami tidak merahasiakan apapun darimu” Ucap Tony polos.
“Hei! Kau! Pak tua! Hentikan sikap curigamu itu. Sedari tadi kau seperti itu terus” Sahut Indira.
“Apa? Pak tua? Hei! Harusnya kau yang sadar umur. Dua puluh lima tahun tapi masih menjomblo. Dasar perawan tua” Sarkas Gilang.
“A, apa? Perawan tua? Dasar pria b******k!” Seru Indira kemudian mulai menjambak rambut Gilang yang berada di seberang meja dengan cukup keras.
“Hei, hei, guys! Hentikan! Stop! Jangan bertengkar” Teriak Tony.
Namun teriakan dan tindakannya sangat bertolak belakang. Saat mulutnya sibuk memisahkan mereka, kedua tangannya justru ikut membantu Indira menjambak rambut Gilang.
“Aku memang perawan tua! Lalu kenapa b******k?! Dasar pak tua jelek!” Maki Indira.
“Akh! Akh! Lepaskan kalian berdua! Lepaskan rambutku!” Teriak Gilang.
“Ups~ Maaf. Aku khilaf” Ujar Tony polos seraya melepaskan jambakannya. Setelah itu, barulah ia benar-benar memisahkan Indira dari Gilang.
Nafas Indira lantas tak beraturan, dadanya naik turun setelah jambakannya terlepas dari rambut Gilang. Tatapannya pun tajam tertuju pada Gilang yang saat ini mengusap-usap kepalanya yang sakit.
“Kalian gila?!” Tanya Gilang sedikit membentak.
“Kau yang gila. Beraninya kau mengatakan aku perawan tua. Lihat saja nanti, siapa yang akan menikah lebih dulu. Kau atau aku” Kesal Indira.
“Menikah? Memangnya ada yang mau dengan perawan tua sepertimu?” Ejek Gilang.
“Harusnya kau yang berkaca. Memangnya ada yang mau dengan pak tua jelek sepertimu?” Balas Indira membuat Tony tertawa.
“Jangan tertawa!” Seru Indira dan Gilang bersama-sama yang membuat Tony tersentak dan menghentikan tawanya.
“Jangan ikuti aku!” Seru Indira dan Gilang kembali bersama-sama yang lagi-lagi membuat Tony tertawa.
“Ok, ok, aku berhenti” Ujar Tony saat Indira dan Gilang menatapnya tajam.
Indira dan Gilang pun saling mengalihkan tatapan satu sama lain masih dengan emosi yang melingkupi mereka. Dan hal ini pun sudah biasa di antara mereka. Jadi Tony tak terlalu memikirkan bagaimana cara untuk membuat mereka berdua berbaikan karena sebentar lagi mereka juga akan berbaikan dengan sendirinya.
Namun saat pandangan Indira mengarah pada pintu, ia melihat seorang pria bersetelan lengkap baru saja pergi dari sana. Dari kejauhan, Indira dapat menebak siapa pria itu. Tapi pertanyaannya, kenapa pria itu pergi begitu saja? Apa jangan-jangan pria itu melihat mereka bertengkar hingga tak jadi masuk?
“Hei! Kau sedang melihat apa?” Seru Tony membuyarkan lamunan Indira.
“T, tidak. Aku tidak melihat apapun” Jawab Indira.
“Lihat, tingkahnya mencurigakan bukan?” Sahut Gilang.
“Jangan mulai, Lang. Tenagaku sudah terkuras habis. Kalau bertengkar nanti saja” Ucap Indira.
“Baiklah, sahabat-sahabatku tercinta. Untuk melancarkan pertengkaran kalian hari ini, bagaimana kalau kita makan siang dulu?” Usul Tony yang langsung mendapat tatapan mematikan dari kedua sahabatnya itu yang membuatnya terkekeh.
-------
Aldrich melonggarkan dasinya kesal kemudian duduk di kursi kebesarannya. Saat ini emosinya kembali meningkat ketika melihat Indira bersama dengan dua pria itu lagi. Walau ia jelas melihat bertengkar, tapi bukankah itu menandakan bahwa mereka sangat dekat? Hal itu pun terbukti dengan Delwyn dan Evelyn yang selalu bertengkar, bukan karena mereka saling membenci melainkan mereka saling menyayangi.
Pria itu pun menghela nafasnya gusar. Kejadian ini bukan satu atau dua kalinya terjadi tapi tetap saja ia tak suka melihat mereka bersama. Disaat seperti inilah ia menyesali sikapnya yang begitu kaku hingga tidak mampu mendekati Indira sedikit pun.
Sekali lagi Aldrich menghela nafasnya seraya memejamkan mata. Padahal hari ini ia berencana untuk mulai mendekati Indira tapi hal itu justru gagal lantaran melihat mereka bertiga bersama-sama. Bunyi ponsel yang berada di saku jasnya pun membuat Aldrich membuka matanya. Ia lalu mengambil ponselnya dan langsung menjawab panggilan yang berasal dari Evelyn.
“Halo” Sapa Evelyn.
“Halo” Balas Aldrich.
“Bagaimana keadaan anak-anakku?” Tanya Evelyn yang merujuk pada boneka-boneka babinya.
“Tenang saja, mereka semua aman” Jawab Aldrich.
“Baguslah. Kau tahu ‘kan aku mempercayakan mereka padamu?” Ucap Evelyn.
“Ya” Ujar Aldrich.
“Kau kenapa? Suaramu terdengar lemas. Kau sakit?” Tanya Evelyn.
“Tidak” Jawab Aldrich.
“Lalu kenapa? Bicaralah yang lengkap. Jangan seperti orang yang kekurangan kata” Kesal Evelyn. Aldrich pun menghela nafasnya sebelum mulai menceritakan kejadian yang ia lihat di toko Indira hari ini.
“Astaga. Dengarkan aku pria bodoh! Mereka itu hanya teman. Aku yakin itu. Kau tidak perlu menghiraukan mereka. Anggap saja mereka benda transparan yang tak terlihat. Jangan mau mundur hanya karena mereka terlihat dekat. Lagi pula wajar kalau mereka dekat, mereka adalah teman. Dan yang harus kau lakukan sekarang adalah jangan hiraukan apapun yang ada di hadapanmu. Fokus saja dengan tujuanmu. Kau ingin mendapatkannya, ‘kan? Kalau iya, maka kau harus mendengarkanku. Mengerti?” Ucap Evelyn panjang lebar. Suara pintu yang diketuk membuat Aldrich yang hendak membalas ucapan Evelyn terhenti.
“Ev, aku akan menghubungimu nanti” Ujar Aldrich seraya memperbaiki posisi duduknya.
“Baiklah. Tapi sekali lagi aku ingin mengingatkanmu kalau yang harus kau lakukan adalah fokus, berani, dan pantang mundur. Kau mengerti?” Ucap Evelyn.
“Iya, aku mengerti” Ujar Aldrich.
“Bagus. Baiklah, kembali bekerja sana. Bye” Ucap Evelyn.
“Bye” Ujar Aldrich kemudian memutuskan sambungan teleponnya. “Masuk!” Pintahnya.
Tak lama kemudian, pintu ruangan Aldrich terbuka dan George masuk ke dalam. Berdiri tepat di depan meja kerja Aldrich.
“Ada apa?” Tanya Aldrich.
“Ini adalah daftar tim yang akan mengikuti lomba yang Anda selenggarakan, Pak” Jawab George sembari meletakkan sebuah map yang berisi beberapa berkas di atas meja Aldrich.
Aldrich lantas mengambil map tersebut lalu melihat nama-nama tim yang ikut serta dalam lomba yang ia adakan. Ia pun mengangguk-anggukkan kepalanya saat melihat hampir semua tim mendaftar untuk perlombaan tersebut.
“Bagus. Pastikan kau mengawasi kinerja mereka selama empat bulan ke depan” Pintah Aldrich.
“Baik, Pak” Ucap George kemudian pamit dari sana setelah tidak ada lagi yang ingin Aldrich katakan padanya.
Sementara Aldrich yang lagi-lagi sendiri harus kembali memikirkan Indira. Itu bukanlah keinginannya tapi wanita itu terus saja muncul di kepalanya saat ia tengah sendiri seperti saat ini. Dan satu-satunya agar wanita itu menghilang sejenak dari kepalanya adalah dengan bekerja. Ya, itulah yang harus Aldrich lakukan sekarang. Bekerja.
-------
Love you guys~