Chapter 10

1319 Kata
Aldrich membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sembari memegang dadanya yang berdebar kencang walau kejadian itu telah terjadi berjam-jam lalu. Ternyata percakapannya dan Indira tadi siang sangat berefek pada dirinya. Ia bahkan merasa itu semua adalah mimpi.    Dada Aldrich naik turun. Pria itu menggigit bibirnya untuk menahan agar senyumnya tak semakin lebar dari sekarang. Ia pun tak menyangka kalau ternyata selama ini Indira juga penasaran padanya dan itu semakin membuatnya merasa senang.    Pandangan Aldrich teralihkan saat pintunya baru saja dibuka dengan cukup keras dan langsung menampakkan sang Ibu yang sekarang tengah berjalan ke arahnya setelah menutup pintu. Aldrich pun mengubah posisinya menjadi duduk.    “Ada apa, Mom?” Tanya Aldrich. “Bagaimana? Kamu sudah bertemu dengannya? Kamu berjanji pada Mommy akan menemuinya hari ini” Tanya Macy setelah duduk di samping Aldrich dengan senyum lebar di wajahnya yang memperlihatkan harapan besar pada putranya itu.    “Sudah, Mom” Jawab Aldrich. “Terus, terus? Bagaimana hasilnya? Apa yang dia katakan?” Tanya Macy antusias. “Kami hanya berbincang biasa, Mom” Ucap Aldrich. “Berbincang ringan maksudnya?” Tanya Macy. Aldrich pun menceritakan tentang perbincangannya bersama Indira tadi siang tanpa cela. Dari A hingga Z. “Astaga, Al. Kenapa kamu tidak langsung pada intinya saja?” Tanya Macy greget dengan kelakuan putranya itu. “Kami baru berkenalan, Mom” Ujar Aldrich. “Berkenalan apanya? Kamu tidak mengatakan namamu padanya, ‘kan?” Tebak Macy tepat sasaran. “Apa itu perlu?” Tanya Aldrich membuat Macy semakin greget. Wanita paruh baya itu pun memukul lengan Aldrich. “Tentu saja itu perlu. Justru itu yang terpenting. Bagaimana bisa dia memanggilmu kalau dia saja tidak tahu siapa namamu?” Omel Macy membuat Aldrich terdiam memikirkan ucapan sang Ibu. “Kamu ‘nih ya. Kalau tidak berpengalaman, harusnya belajar dulu” Ucap Macy. “Pokoknya untuk selanjutnya kamu harus powerful banget, lebih intens. Ajak dia jalan atau apa begitu. Jangan stuck di situ saja. Kalian tidak mungkin begitu terus, ‘kan” Lanjutnya.    “Iya, Mom” Ujar Aldrich. “Jangan iya-iya saja. Tapi buktikan” Ucap Macy. “Pasti, Mom” Ujar Aldrich. ‘Ya, aku pasti akan mendapatkan Indira apapun yang terjadi’ Batin Aldrich. -------                            “Kalian di mana?” Tanya Indira begitu Tony menjawab panggilannya. “Kami ada di...” Ucap Tony sengaja menggantung ucapannya. “Di mana?” Tanya Indira hampir kehilangan kesabarannya karena Tony selalu mengerjainya. “DOR!” Seru Tony dan Gilang dari belakang Indira yang mengejutkan wanita itu hingga membuatnya berteriak dan menjadikan mereka pusat perhatian para pengunjung Ancol. “Astaga! Kalian mau membuatku mati muda, ya?!” Kesal Indira sembari memegang dadanya karena terkejut sementara Tony dan Gilang masih asyik tertawa. “Ya Tuhan, dosa apa aku hingga punya teman seperti mereka” Gumam Indira yang masih kesal membuat Tony dan Gilang semakin tertawa. “Hentikan! Kalian membuat kita jadi pusat perhatian” Pintah Indira saat menyadari orang-orang tengah memandang ke arah mereka. “Hentikan! Hentikan! Hentikan” Serunya seraya memukul-mukul kedua pria itu hingga keduanya berhenti tertawa berganti keluh kesakitan akibat pukulan Indira.    “Tahu rasa kalian” Ucap Indira. “Kau jahat sekali” Ujar Gilang. “Yes, I am” Ucap Indira. “Sudahlah, langsung saja ke intinya. Ada apa kalian memanggilku ke sini?” Tanyanya sembari menyilangkan tangan di d**a. “Apa yang kalian rencanakan?” Tanya Indira curiga saat melihat Tony dan Gilang saling menatap dengan senyum misterius lalu beralih menatapnya. “Apa?” Tanyanya lagi. Namun bukannya menjawab Indira, kedua pria itu malah merangkul Indira dengan erat.    “Happy birthday, Indira Alexandria!” Seru Gilang dan Tony bersamaan seraya mengeluarkan kado dari saku masing-masing. Sementara Indira yang terkejut pun hanya bisa terdiam di tempatnya. Ia sama sekali tak dapat berkata apa-apa sekaligus tak menyangka kalau kedua pria itu akan mengingat hari ulang tahunnya yang bahkan ia sendiri pun lupa.    “Bagaimana? Kau terharu?” Tanya Tony. “Terharu, ‘kan? Terharu, ‘kan?” Tanya Gilang yang diangguki oleh Indira. Karena jujur, ia memang sangat terharu saat ini. “Sudah kuduga” Ucap Gilang. “Jangan menangis dulu. Kau masih belum melihat hadiah dari kami” Lanjutnya kemudian memberikan sebuah kotak kecil pada Indira yang langsung diterima oleh wanita itu. “Terima kasih, Lang” Ujar Indira. “Terima kasihnya nanti saja, buka dulu hadiahnya” Ucap Gilang. Indira pun mengikuti ucapan Gilang untuk membuka hadiahnya lebih dulu. Namun saat tutup kotak itu terbuka, Indira merasa ingin menyumpahi pria itu. Bagaimana tidak? Pria itu memberinya selusin masker anti aging hingga membuat Tony menahan tawanya.    “Bagaimana? Kau suka, ‘kan? Tahun ini kau sudah berumur dua puluh enam tahun. Jadi kau harus menjaga kerutan di wajahmu dari sekarang. Walau sebenarnya sudah agak terlambat” Ucap Gilang. Indira bahkan tidak tahu pria itu benar-benar berniat memberinya hadiah atau tidak.    “Bersyukurlah karena hari ini kau selamat. Andai ini bukan hari ulang tahunku, nyawamu akan berkurang tiga” Sinis Indira membuat Gilang terkekeh. “Jangan seperti itu, nanti wajahmu semakin cepat keriput” Ucap Gilang semakin membuat Indira geram. “Sudah, sudah. Jangan membuat Indira marah terus, Lang” Sahut Tony melerai keduanya. “Ra, ini hadiah dariku” Lanjutnya sembari memberikan hadiah yang ia beli kemarin pada Indira yang diterima wanita itu dengan senang hati.    Namun saat membuka kotak persegi tersebut, ia kembali harus menahan amarahnya. Sementara Gilang dan Tony saat ini tengah tos sembari kembali tertawa karena berhasil mengerjai Indira kembali. Pasalnya hadiah yang Tony berikan adalah cermin kecil.    “Kalian ini benar-benar” Geram Indira yang sedetik kemudian menjambak rambut Gilang dan Tony hingga kedua pria itu mengeluh kesakitan. Indira yang tadinya terharu pun berganti menjadi kesal. Ia lantas membawa mereka berdua pergi dari sana masih dengan kedua tangannya yang menjambak rambut Tony dan Gilang yang mengeluh kesakitan hingga membuat mereka lagi-lagi menjadi pusat perhatian.    -------                              “Halo” Sapa Tony di seberang sana. “Kau tidak ke sini?” Tanya Indira. “Tidak. Hari ini jadwalku full dan tidak bisa ke mana-mana” Jawab Tony. “Baiklah” Ujar Indira lemah. “Kenapa? Kau sedih karena tidak mendapat makanan gratis?” Tanya Tony. “Ya” Jawab Indira membuat Tony terkekeh. “Kenapa kau tidak telepon Gilang?” Tanya Tony. “Hari ini pria tua itu juga sibuk” Jawab Indira. “Kau mau kupesankan makanan?” Tawar Tony. “Tidak, tidak perlu. Percuma saja dapat makanan gratis kalau ujung-ujungnya makan sendiri” Tolak Indira. Ya, Indira bukannya wanita pengincar makanan gratis atau pun wanita manja yang makan saja harus diurusi. Tapi ia adalah wanita yang tidak suka makan sendiri. Ia merasa sangat kesepian. Maka dari itu, Tony atau pun Gilang sering bergantian menemaninya makan siang selama enam tahun full sejak ia membuka toko ini.    Kenapa ia tak makan di rumah saja? Jarak dari toko ke rumahnya lumayan jauh, jika ia pulang hanya untuk makan siang maka ia akan telat untuk membuka toko kembali. “Ya sudah, keluar saja cari makan” Ucap Tony. “Aku tahu” Ketus Indira. “Sudah ya, bye” Putus Indira kemudian meletakkan ponselnya di atas meja begitu saja. Setelah meletakkan ponselnya di atas meja, Indira hanya termenung di kursi sembari memikirkan ke mana ia harus mencari makan siang ini. Di sekitar tokonya ini hanya ada cafe yang hanya menyediakan minuman. Ingin memesan makanan pun harganya akan lebih mahal dari harga aslinya, belum lagi biaya ongkirnya sementara ia harus menghemat.    Di tengah kebingungannya mencari tempat untuknya makan siang, seseorang tiba-tiba masuk ke dalam tokonya. Seseorang yang tak ia sangka akan datang hari ini karena orang itu baru saja datang kemarin. Yap, dia adalah Aldrich.    “Selamat datang, Tuan” Sambut Indira ramah sembari berdiri dari duduknya walau ia sedikit bingung. “Aldrich” Ucap pria itu. “Maaf?” Tanya Indira semakin bingung. “Namaku Aldrich” Jelas Aldrich. “Ah~ Baik, Tuan” Ujar Indira yang mengerti maksud pria itu. Dalam hati pun ia bersorak karena penasarannya selama dua tahun ini telah terjawab. “Panggil namaku saja” Pintah Aldrich yang membuat Indira kembali bingung sekaligus gugup. “Tapi...”                        “Tidak apa-apa, panggil saja. Dan kau tidak perlu bicara formal padaku” Potong Aldrich. “B, baiklah, A, Aldrich” Ucap Indira terbata karena bersikap biasa saja pada pria dingin dan datar di hadapannya ini sangatlah sulit. Namun sepertinya matanya telah rabun karena sepertinya ia melihat sudut bibir Aldrich sedikit bergetar seperti sedang menahan senyum.    “Ah, apa hari ini kau juga akan membeli boneka?” Tanya Indira spontan bicara informal pada Aldrich. Ia bahkan terkejut dengan dirinya sendiri. “Tidak” Jawab Aldrich. “Lalu? Apa kau butuh sesuatu?” Tanya Indira walau ia tahu kalau tidak mungkin pria itu membutuhkan bantuannya. Karena kelihatannya Aldrich sudah memiliki segalanya, jadi bantuan apa yang pria itu inginkan darinya?    “Kau sudah makan siang?” Tanya Aldrich. -------                            Love you guys~         
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN