Chapter 9

1387 Kata
“Ini laporan harian untuk bulan ini, Pak” Ucap Leah sembari meletakkan beberapa berkas di atas meja Aldrich. “Terima kasih” Ujar Aldrich. Leah pun pamit keluar dari ruangan Aldrich setelah pria itu mengambil berkas yang ia berikan. Aldrich lantas membuka lembar demi lembar dari berkas tersebut kemudian tersenyum. Seperti yang ia perkirakan. Laporan keuangan bulan ini telah meningkat sedikit demi sedikit. Kinerja para pegawai juga mulai teratur, walau belum secara keseluruhan tapi ia yakin kalau semuanya akan kembali membaik. Perhatian Aldrich teralihkan saat mendengar pintu ruangannya diketuk.    “Masuk” Pintah Aldrich. Setelahnya, pintu tersebut terbuka dan Leah masuk ke dalam serta membawa beberapa map. “Ada apa?” Tanyanya saat Leah telah berada di depan mejanya.    “Maaf mengganggu Anda, Pak. Ada beberapa berkas yang harus Anda tanda tangani” Ucap Leah sembari memberikan Aldrich map-map tersebut. Pria itu pun mulai membuka map-map yang Leah berikan lalu membacanya satu per satu dengan teliti. Setelah beberapa saat, barulah Aldrich membubuhkan tanda tangannya di sana. Seusai menandatangani berkas-berkas tersebut, Aldrich kembali memberikan map-map tersebut pada Leah.    “Terima kasih, Pak” Ucap Leah. “Kalau begitu saya permisi” Pamitnya. “Ah, Leah” Tahan Aldrich membuat Leah yang hendak beranjak menghentikan langkahnya. “Apa Anda membutuhkan sesuatu, Pak?” Tanya Leah. “Pak?” Panggilnya saat Aldrich tak kunjung menjawab pertanyaannya. Pria itu hanya terdiam di tempatnya dengan tatapan kosong seraya memikirkan sesuatu.    “Pak?” Panggil Leah lagi. “Ah, ya?” Gumam Aldrich yang tersadar dari lamunannya. “Apa Anda membutuhkan sesuatu?” Tanya Leah mengulang pertanyaannya. “Tidak. Tidak ada. Kembalilah, Leah” Pintah Aldrich. “Baik, Pak” Ucap Leah kemudian keluar dari ruangan Aldrich walau ia bingung dengan pria itu. Sementara Aldrich mengusap wajahnya kemudian menghela nafas. Sebenarnya ia ingin bertanya mengenai sesuatu pada wanita itu. Tapi setelah ia pikirkan kembali, ia tak bisa mengeluarkan pertanyaan itu dari mulutnya. Ia sama sekali tak berpikiran panjang saat memanggil Leah tadi.    -------                              “Maaf, Pak. Saya tidak pesan makanan” Ucap Indira saat melihat Tony datang membawa dua buah paperbag yang dari aromanya berisi makanan. “Baiklah” Ujar Tony sembari memutar balik tubuhnya. “Tapi jika Bapak berniat baik membawakan saya makanan, saya tidak keberatan” Ucap Indira membuat Tony kembali membalikkan badannya lalu melanjutkan langkahnya menuju Indira seraya memasang senyum manisnya.    “Tumben hari ini kau membawakanku makanan” Ucap Indira saat Tony masuk ke bagian dalam tokonya, ruangan yang biasa Indira dan Cahya gunakan untuk makan. Sementara ia keluar untuk membalikkan papan pengumuman di pintu menjadi ‘Istirahat’ lalu mengikuti Tony masuk ke dalam.    “Jaga mulutmu. Selama ini aku yang selalu membawakanmu makanan kalau tidak sibuk” Kesal Tony sembari mengeluarkan makanan yang ia beli di restoran dari paperbag dan meletakkannya di atas meja.    “Tapi akhir-akhir ini kau jarang membawakanku makanan” Ucap Indira kemudian duduk di kursi makan. “Kalau kau mau makanan gratis setiap hari, bilang. Jangan pakai kode seperti itu” Sindir Tony membuat Indira terkekeh karena ternyata kodenya tersampaikan pada pria itu.    “Kau memang yang paling pengertian” Puji Indira. “Makanlah” Pintah Tony sembari memberikan Indira satu porsi makanan sementara satu porsi yang lain untuknya. Mereka berdua pun mulai makan dengan lahap dalam diam dengan Tony yang sesekali berdecak saat melihat cara makan Indira yang belepotan. Pria itu lantas menyeka sudut bibir Indira menggunakan tisu tanpa mengganggu wanita itu yang sudah biasa diperlakukan seperti itu oleh Tony.    Setelah makan, mereka kembali ke depan untuk mengganti papan pengumuman di pintu menjadi ‘Buka’ lalu kembali ke meja kasir di mana Tony tengah berada di sana menunggunya dengan tenang.    “Setelah ini kau mau ke mana?” Tanya Indira sembari duduk di kursinya. “Ke lokasi pemotretan. Hari ini aku akan pemotretan sampai malam” Jawab Tony yang terdengar seperti mengeluh. “Apa kau butuh manajer?” Tawar Indira membuat Tony lantas menatapnya. “Kenapa? Kau ingin mendaftarkan diri?” Tanya Tony. “Kalau gajinya tinggi, kenapa tidak?” Ucap Indira. “Dasar kau! Setiap kata yang keluar dari mulutmu tidak pernah lepas dari uang” Ujar Tony. “Kita hidup di zaman dimana semuanya akan bergerak untuk uang. Dan impianku sekarang adalah menjadi orang kaya” Ucap Indira. “Ya, kau benar. Uang bisa membeli segalanya. Jadi tak heran kalau semua orang memiliki impian sepertimu” Ujar Tony. “Tapi bukankah bagus kalau semua orang menjadi kaya? Tidak ada lagi kasus orang yang kelaparan, pengemis yang bertebaran di jalan, tunawisma, sistem kasta, dan semacamnya. Andai hal itu benar-benar terjadi, mungkin semua orang akan berbahagia. Tidak ada lagi kesedihan” Ucap Indira.    “Hei, Nona! Harapanmu terlalu tinggi” Ujar Tony. “Apa salahnya berharap? Lagi pula itu gratis” Ucap Indira. “Kalau begitu teruslah berharap sampai kau benar-benar menjadi orang kaya” Ujar Tony. “Baiklah. Kalau aku benar-benar menjadi kaya nanti, aku akan berusaha mengurangi kemiskinan di Indonesia” Seru Indira dengan semangat yang tinggi.    “Astaga, kau semakin menjadi gila” Gumam Tony. “Sudahlah, aku mau pergi. Pemotretan selanjutnya akan dimulai. Bye” Pamitnya kemudian beranjak dari tempatnya.    “Ingat saja ucapanku hari ini. Bye” Teriak Indira sesaat sebelum Tony menutup pintu. Orang kaya? Yang benar saja. Menghidupi dirinya dan Ibunya saja sudah sangat sulit. Bagaimana bisa ia menjadi orang kaya? Walau ia sadar kalau ucapan Tony benar kalau harapannya terlalu tinggi, tapi ia tetap melakukannya setiap hari. Lagi pula seperti yang ia katakan, berharap itu gratis dan ia akan selalu melakukan itu sampai ia benar-benar menjadi orang kaya. Walau ia tahu kalau itu sangat mustahil.    Suara pintu yang terbuka membuat lamunan Indira buyar. Pandangannya pun beralih ke arah pintu yang terbuka di mana Aldrich berdiri di sana. Ia pun berdiri dari duduknya setelah menyambut Aldrich lalu mengarahkan pria itu ke etalase boneka babi. Setelah Aldrich selesai memilih boneka, mereka berdua pun berjalan menuju meja kasir.    “Sudah berapa lama kau bekerja di sini?” Tanya Aldrich tiba-tiba dengan nada datarnya membuat Indira yang sedang memasukkan boneka babi itu ke dalam paperbag terhenti.    Perlahan, Indira pun menatap Aldrich dengan segan di tengah keterkejutannya. Bagaimana tidak? Aldrich baru saja mengeluarkan suara padanya setelah dua tahun pria itu membeli boneka di tokonya. Ketukan Aldrich di meja pun membuyarkan lamunan Indira.    “A, ah, maaf, Tuan. Saya bekerja di sini sejak lima tahun yang lalu” Ucap Indira seraya memasang senyumnya. “Apa kau bekerja sendiri?” Tanya Aldrich lagi. Padahal ia tahu kalau toko ini adalah milik Indira dan wanita itu memiliki seorang pegawai yang akan berjaga saat sore hingga malam.    “Tidak, Tuan. Saya memiliki seorang karyawan yang bekerja setiap sore hingga malam” Jawab Indira masih dengan keramahannya. “Jadi toko ini milikmu?” Tanya Aldrich.           “Benar, Tuan” Jawab Indira. “Totalnya seratus lima belas ribu, Tuan” Lanjutnya saat melihat Aldrich yang sepertinya sudah tak ingin mengatakan apapun lagi.    “Apa kau menerima layanan pesan antar?” Tanya Aldrich sembari memberikan dua lembar uang seratus ribu pada Indira. “Tidak, Tuan” Jawab Indira. “Ambil saja kembaliannya” Ucap Aldrich saat melihat Indira hendak mengambil uang kembalian untuknya. “Terima kasih, Tuan” Ujar Indira. “Maaf, Tuan. Apa saya boleh bertanya?” Tanya Indira setelah berdebat dengan batinnya beberapa saat dengan jantung yang berdegub kencang sembari memberikan paperbag berisi boneka tersebut pada Aldrich.    “Kau sudah bertanya” Ucap Aldrich. “Maksud saya pertanyaan yang lain” Ujar Indira. “Tanyakan” Pintah Aldrich. “Kalau boleh tahu, untuk siapa boneka-boneka yang selama ini Anda beli?” Tanya Indira memberanikan dirinya walau saat ini jantungnya berdebar sangat cepat. Untuk sesaat Aldrich hanya terdiam di tempatnya seraya menatap Indira yang sedikit salah tingkah karena tatapannya.    “A, ah. Anda tidak perlu menjawabnya. Itu ha...” “Saudarku” Potong Aldrich. “Apa?” Gumam Indira. “Boneka-boneka ini untuk saudara kembarku” Ucap Aldrich. “Saudara kembar?” Gumam Indira tanpa sadar. “Ya” Ujar Aldrich membuat Indira tersadar dengan ucapannya. “A, ah. Maaf jika Anda merasa kurang nyaman dengan pertanyaan saya, Tuan” Ucap Indira sedikit takut karena ekspresi Aldrich yang selalu datar.    “Tidak sama sekali” Ujar Aldrich. Setelah urusannya selesai, ia pun memutuskan untuk pergi dari sana begitu saja seperti sebelum-sebelumnya.    “Terima kasih, Tuan” Seru Indira yang menatap kepergian Aldrich. “Astaga, aku lupa menanyakan satu hal penting” Gerutu Indira di tempatnya. “Kenapa kau bisa melupakan itu Indira?” Lanjutnya sembari memukul pelan kepalanya.    “Memangnya apa salahnya mengingat untuk bertanya siapa namanya? Lalu kenapa dia tidak pernah mengambil uang kembaliannya?” Gumam Indira berdialog sendiri.    “Kalau untuk pertanyaan kedua, mungkin karena dia sudah kaya jadi tidak butuh kembalian lagi. Tapi untuk pertanyaan pertama? Sampai mati pun tidak akan terjawab kalau aku tidak bertanya, ‘kan?” Gumamnya lagi kemudian menghela nafas.    “Sudahlah. Aku akan menanyakannya saat dia datang lagi” Gumamnya. “Itu pun kalau dia masih mau datang setelah aku yang lancang bertanya padanya” Lanjutnya kemudian menutup wajahnya dengan perasaan sedih.    “Tapi apa pentingnya juga aku mengetahui namanya? ‘Toh kami hanya sebatas penjual dan pelanggan” Gumam Indira. “Dan semoga saja dia masih mau datang dan tetap menjadi pelanggan setiaku” Lanjutnya sembari meletakkan kepalanya dengan mata tertutup di atas meja.    -------                            Love you guys~         
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN