Suasana ruang keluarga sore itu sunyi. Terlalu sunyi. Bahkan kipas angin di langit-langit terdengar seperti memutar bisik-bisik misterius. Aleeya baru saja pulang dari minimarket, lengkap dengan tote bag berisi roti sobek dan s**u kedelai, saat mendapati Papi Dimas duduk di sofa dengan tangan bersedekap. Di sebelahnya, Mami Naura sedang scroll layar ponselnya sambil melirik tajam dari atas kacamatanya.
“Eh? Ini suasana kok kayak ruang interogasi KPK?” Aleeya melepas sepatunya dan berdiri kaku. “Ada yang mau ditangkap, nih?”
“Duduk, Aleeya,” kata Papi Dimas tenang, tapi dengan nada tak bisa dibantah.
Refleks, Aleeya duduk seperti anak SD yang tertangkap nyontek. “Ya Allah, dosa apa lagi aku hari ini?”
Mami Naura meletakkan ponselnya ke atas meja. “Bukan soal hari ini, tapi soal kamu dan Mas Kaivandra.”
Jantung Aleeya langsung jingkrak-jingkrak. Mulutnya membuka, menutup, lalu membuka lagi seperti ikan cupang kekurangan oksigen. “Eh… Mi, Pi… Maksudnya?”
“Gini ya, Leeya cantiknya Papi,” ujar Papi Dimas sambil merapikan letak kacamata bacanya. “Kami bukan orang tua kolot. Kami tahu kamu udah gede. Dewasa. Udah ngerti mana temen, mana— tetangga.”
Aleeya mengangguk cepat. “Iya, Mas Kaivandra itu cuma tetangga, Pi. Sumpah. Cuma kadang nebeng, kadang numpang Wi-Fi, kadang nitip kucing. Kadang pinjam sendal tapi semua masih dalam batas—”
“Batas mana?” sela Mami Naura. “Batas negara? Atau batas nikah siri?”
“Miiiii—” Aleeya nyaris nyungsep ke karpet.
Papi Dimas menahan tawa, meski bibirnya bergerak-gerak. “Kamu tahu kan prinsip kami soal pacaran?”
“Tahu. Haram. Zona merah. Medan ranjau,” jawab Aleeya cepat.
“Alhamdulillah kamu masih inget,” kata Mami. “Karena kami gak akan berhenti bilang— boleh temenan, tapi jangan pacaran. Dekat boleh. Tapi harus tahu batas. Jangan main api, Leeya. Apalagi di halaman rumah sendiri.”
“Masalahnya bukan aku yang main api, Mi. Mas Kaivandra itu kayak lilin. Diam, tapi nyala. Terang terus. Aku yang malah kebakar sendiri.”
Keduanya terdiam. Bahkan Papi Dimas nyaris tertawa, tapi buru-buru batuk palsu menutupi.
“Leeya,” kata Mami lembut, “Mami dan Papi tahu kamu lagi di usia rawan. Perasaan mu campur aduk. Tapi, kami gak ingin kamu terluka hanya karena terlalu larut dalam rasa yang belum tentu halal.”
Aleeya menunduk. Kali ini wajahnya serius. “Aku ngerti, Mi. Pi. Aku janji— aku akan jaga diri. Aku gak akan jatuhin harga diriku demi perasaan sesaat. Aku tahu batasan.”
Papi Dimas mengangguk. “Bagus. Dan satu lagi, kalau ada cowok serius—”
“Langsung suruh ke rumah, bawa orang tua, dan map kuning berisi CV dan proposal nikah. Iya, iya, aku tahu,” sahut Aleeya cepat sambil berdiri.
Mami menggeleng sambil tersenyum. “Itu anak kita. Bar-bar tetap prinsipil.”
Aleeya berbalik ke dapur, lalu teriak, “Tapi serius, Mi, aku lapar! Kalau mau aku jauhin Mas Kaivandra, kasih aku sambel terasi sekarang!”
***
Malam sudah larut. Angin menyusup lewat celah jendela, membawa aroma malam yang lembab dan sunyi. Di meja belajarnya yang penuh sticky notes, gelas kopi kosong, dan naskah-naskah riset, Aleeya masih duduk menatap layar laptop.
Tapi bukan skripsi yang dia pikirkan.
Sambil memegang mouse, dia membuka tab baru. Bukan jurnal, bukan data statistik, melainkan— profil i********: Kaivandra.
@kaivan.argantara
Dosen. Dokter. Hamba Allah.
Pecinta kopi, langit malam, dan ketenangan.
Aleeya memonyongkan bibir. “Pecinta ketenangan, tapi tiap hari harus hadapi tetangga bar-bar sepertiku. Kasihan amat.”
Dia menggeser ke bawah, melihat foto-foto Kaivandra di rumah sakit, saat seminar, atau sedang jadi pembicara di acara kampus. Wajahnya selalu tenang, rapi, dan dewasa. Tidak seperti dirinya yang bahkan hari ini masih pakai hoodie kebalik saat berangkat kuliah.
Pikirannya makin kusut.
Di satu sisi, dia punya skripsi yang belum kelar, dosen pembimbing super perfeksionis, dan target sidang dalam tiga bulan. Di sisi lain— hatinya semakin sulit dia kendalikan. Apalagi sejak Kaivandra mulai mengungkapkan perasaannya.
Mereka memutuskan menjaga hati masing-masing tapi tidak pacaran. Hanya saja orang-orang beranggapan keduanya telah jadian. Termasuk Reina and the gank.
Bahkan Mami dan Papinya saja curiga dengan hubungan mereka. Hingga mengingatkan kembali tentang larangan berpacaran.
Hening itu menyakitkan.
Ponselnya tiba-tiba berbunyi. Notifikasi dari grup skripsi.
Sandra: “Aleeee, kamu udah revisi bab 3 belum? Kevin minta ganti semua sub variabel T.T.”
Aleeya mengerang pelan, lalu mematikan layar ponsel. “Revisi bab 3? Aku bahkan belum sembuh dari trauma bab 1.”
Dia berdiri, berjalan ke jendela. Melihat ke arah rumah sebelah. Lampu balkon kamar Kaivandra masih menyala. Tapi jendelanya gelap. Mungkin sudah tidur. Atau— mungkin sedang membaca jurnal sambil minum kopi hitam tanpa gula, seperti biasa.
“Aku harus fokus—” gumamnya. “Kaivandra itu langit, aku masih kerikil di sepatu. Skripsi dulu, cinta belakangan. Gitu kata motivasi TokTok.”
Tapi hatinya menolak.
Dia teringat momen-momen kecil yang sepele, tapi menusuk. Saat Kaivandra dengan tenang makan masakannya yang rasanya seperti eksperimen gagal. Saat Kaivandra mengomel lewat pesan karena dia beli bensin di toko kelontong. Saat mereka sama-sama keliling komplek cari Moni, kucing sialan yang lebih sering hilang daripada di rumah.
“Kenapa hidup ini kayak sinetron?” keluhnya sambil membenamkan wajah di bantal.
Beberapa detik kemudian, dia duduk lagi, membuka dokumen skripsinya. Da mengetik judul baru:
“Analisis Psikologis dalam Pengambilan Keputusan Konsumen pada Produk Emosional: Studi Kasus Diri Sendiri yang Terjebak antara Skripsi dan Kaivandra Ryuga Argantara.”
Dia tertawa sendiri. Lalu menghapusnya.
“Tuhan— kalau Mas Kaivandra memang jodohku, tolong buat aku lulus dulu. Minimal, sidang lancar. Jangan sampai aku lulus jadi janda akademik sebelum sempat pacaran halal.”
Dari luar, suara jangkrik bersahutan. Tapi di dalam kamar Aleeya, suara hatinya sendiri jauh lebih ribut.
***
“Pagi, Aleeya Dzakira Bagaskara. Saya dosen pengganti Bu Ratna ya, mulai hari ini saya yang akan membimbing skripsi kamu. Salam kenal. — Kevin Danny Aciel.”
Aleeya menatap layar ponselnya dengan ekspresi datar.
Satu detik. Dua detik. Lima detik.
Lalu, dia langsung menjerit sambil terjun bebas ke kasur.
“AAAAAAAAAAAARGH!!!”
Tasya, yang sedang video call di laptopnya untuk kuliah daring, sampai menoleh cepat. “Ya ampun, Kak Alee! Jangan bilang kamu baru tahu soal dospem!”
“Aku tuh udah kayak mayat hidup, Tasya!” serunya dramatis. “Mayat yang hidup demi skripsi—dan sekarang dibunuh ulang sama kenyataan pahit!”
“Dosen pengganti Kakak siapa?”
“KEVIN. DANNY. ACIEEEEL!!!”
“Yang cakep banget kayak oppa-oppa Harvard itu?”
“Justru itu masalahnya!” Aleeya manjambak rambutnya sendiri. “Dia bukan cuma cakep. Dia dosen perfeksionis, CEO perusahaan multinasional, dan punya IQ di atas suhu AC. Skripsi aku ini bakal dibandingin sama white paper World Bank!”
Tasya hanya bisa meringis. “Sabar ya, Kak Leeya. Anggap aja ini tantangan dari Allah.”
“Tantangan? Ini bukan tantangan. Ini siksaan psikologis terselubung!”
Dia menggelendot di bantal, matanya mulai berkaca-kaca. Bukan karena Kevin cakep, tapi karena naskah skripsinya sudah dia perjuangkan dari titik darah penghabisan, dan kini semua kembali ke nol. Seperti pulsa malam Jumat.
“Bu Ratna kenapa melahirkan sekarang, Bu? Kenapa bukan minggu depan, atau setelah saya revisi bab 4?” isaknya lebay.
“Namanya juga lahiran, Kak. Mana bisa dijadwal kayak ujian tengah semester!”
Aleeya terdiam sejenak, menatap langit-langit kamar. “Aku nggak siap. Aku bahkan belum siap kehilangan sandal kiri yang kemarin aku tinggal di masjid. Apalagi kehilangan Bu Ratna.”
Suara notifikasi ponselnya kembali berbunyi.
Kevin Danny Aciel: “Saya sudah baca draft awal skripsi kamu. Judul dan metodenya masih terlalu aman. Kita akan mulai dari awal. Topik baru, pendekatan baru. Jangan khawatir, saya yakin kamu bisa.”
Aleeya melotot. “Mulai. Dari. Awal?!”
Suara petir menggelegar di luar jendela, entah beneran atau hanya dramatisasi dalam otaknya sendiri.
“Ini beneran azab mahasiswa akhir—” lirihnya sambil memeluk bantal.
Namun dalam tangis dan panik, terselip satu hal aneh— pesan Kevin ditulis dengan sopan, positif, dan bahkan menyelipkan kepercayaan padanya.
'Jangan khawatir, saya yakin kamu bisa.'
Kalimat itu membuat jantung Aleeya mendadak bergetar. Bukan karena romantis, tapi karena satu-satunya manusia yang biasanya percaya padanya hanya tukang bubur langganannya.
Dan sekarang ada dua. Tukang bubur, dan Kevin Danny Aciel.
“Ya Allah, tolong kuatkan aku. Kalau memang aku nggak lulus tahun ini, setidaknya lulus jadi orang sabar.”
Dia mengambil laptop, membuka dokumen baru.
Judul: “Eksistensi Mahasiswa Akhir yang Terombang-Ambing antara Cinta, Skripsi, dan Dosen Ganteng”
Dia mengetik satu kalimat, lalu menghapusnya.
“Aleeya Dzakira Bagaskara, kamu harus waras. Kamu harus lulus. Jangan jatuh cinta ke dosen pembimbing, cukup satu aja yang bikin pusing— Mas Kaivandra!”