Aleeya kini sedang duduk gelisah di kursi tunggu, memeluk map berisi draft skripsi yang sudah dianggap “too basic” oleh sang dosen baru.
Di dalam ruangannya, Kevin Danny Aciel tengah duduk tenang, mengetik sesuatu di laptopnya. Wajahnya kalem, rambutnya rapi, dan pakaiannya seperti model katalog majalah kampus internasional. Saat pintu terbuka, dan Aleeya mengetuk pelan, Kevin hanya mengangguk.
“Silakan masuk, Aleeya.”
Aleeya menarik napas panjang, lalu masuk sambil berusaha menenangkan hatinya.
“Selamat sore, Pak Kevin.” Suaranya agak getar. Antara gugup dan ingin kabur balik ke pelukan Bu Ratna.
Kevin tersenyum tipis. “Sore juga. Silakan duduk. Saya sudah baca draft kamu.”
Aleeya langsung duduk. “Saya juga sudah baca ulang Pak, dan saya merasa draft saya sangat tidak layak.”
Kevin menaikkan alis. “Oh? Saya tidak bilang seperti itu.”
“Tapi Bapak bilang judulnya terlalu aman, dan metodenya terlalu umum, dan... dan... saya semalam sempat berpikir buat pindah jurusan.”
Kevin terkekeh pelan, lalu menyodorkan selembar kertas.
“Aleeya, kamu punya potensi besar. Saya lihat dari gaya bahasamu, kamu punya pemikiran yang tajam. Hanya saja kamu belum ditantang. Saya ingin kamu ambil topik yang lebih segar, yang relevan, dan belum banyak dikaji.”
Aleeya mengambil kertas itu. Judul di atasnya membuatnya ingin menjerit.
“Studi Eksploratif: Perilaku Konsumtif Mahasiswa terhadap Tren Produk Kesehatan Berbasis Influencer Sosial Media di Era Post-Pandemi.”
Dia membaca ulang tiga kali. Lalu menatap Kevin.
“Pak, ini maksudnya saya harus riset mahasiswa yang beli vitamin karena liat selebgram?”
Kevin mengangguk. “Kira-kira begitu. Tapi kamu bisa eksplor lebih dalam. Tentang faktor sosial, kepercayaan, digital trust. Kita bisa kembangkan sampai ke perilaku ekonomi.”
Aleeya mengangguk pelan. “Menarik sih, Pak. Tapi, boleh saya jujur?”
“Silakan.”
“Saya bahkan nggak bisa bedain antara Omega 3 dan skincare anti-aging. Saya masih minum vitamin C rasa jeruk dan tidur larut karena scroll TokTok. Saya ini bagian dari masalah, Pak, bukan peneliti.”
Kevin tertawa pelan. “Itu justru bagus. Kamu akan tahu sudut pandang responden secara langsung.”
Aleeya mengerjap. “Bapak ini niat banget ya, nyuruh saya introspeksi sambil skripsi.”
“Saya ingin kamu berkembang, Aleeya. Dan saya yakin kamu bisa. Bukan karena saya dosen pembimbingmu, tapi karena saya sudah baca caramu berpikir.”
Ada jeda. Aleeya merasa dadanya aneh. Bukan karena Kevin bilang hal manis, tapi karena ini pertama kalinya seorang dosen pembimbing—yang bukan Bu Ratna—percaya padanya, bahkan setelah tahu dia adalah Aleeya yang terkenal karena kasus tukar sandal, muntah di angkot, dan laporan keuangan seminar yang sempat nyasar ke bagian kantin.
“Baik, Pak. Saya akan coba mulai dari awal.” Nada suaranya pelan, tapi kali ini tulus.
Kevin mengangguk. “Bagus. Kirim proposal barunya minggu depan. Kalau kamu butuh bantuan framing teori atau data primer, bisa diskusi kapan saja.”
Setelah pamit keluar, Aleeya berdiri di koridor. Menatap langit sore yang jingga.
“Skripsi babak baru dimulai. Tapi otakku udah pengen pensiun dini.”
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Kaivandra.
Kaivandra:
“Kamu di kampus? Jangan beli bensin di toko Bu Darmi lagi. Tadi aku lihat dia isi botolnya pakai selang dari motor sendiri.”
Aleeya melotot. “Ya ampun ini orang masih ingat aku? Bahkan ingat kebiasaan buruk ku?”
Sore itu Aleeya berjalan pulang dengan hati campur aduk. Skripsi baru, dosen baru, tapi kenangan lama masih diam-diam mencolek hatinya.
***
“Kopi kamu nggak kemanisan, Kak?” tanya Tasya sambil mengaduk matcha latte-nya yang sudah berubah warna seperti bubur ijo kekurangan santan.
Aleeya mengangkat gelasnya dan menatapnya dalam-dalam. “Ini kopi paling jujur, Sya. Pahit, bikin deg-degan, dan nggak bisa ditebak kapan bikin lambungku nyeri.”
Tasya ngakak. “Mirip banget kayak skripsi kamu, ya?”
“Malah kayak hidup aku,” balas Aleeya sambil menutup laptopnya. Di layar, file BAB I itu tetap saja menggantung seperti hubungan yang tak pernah jelas.
Kafe sore itu lumayan ramai. Di pojok, sepasang kakak-adik tampak rebutan kue. Di meja sebelah mereka, sekelompok mahasiswa sedang membahas tugas kelompok tapi lebih banyak ghibahnya. Aleeya dan Tasya memilih meja di dekat jendela, sambil sesekali mengamati orang lewat untuk bahan lelucon hidup.
“Pak Kevin tuh emang niat banget, ya,” keluh Aleeya. “Aku baru aja bikin outline, eh direvisi. Katanya kurang menggigit. Lah, maunya digigit kayak apa? Pakai geraham?”
“Kakak sih,” sahut Tasya, “Dari dulu kalau nulis kayak nulis caption I’G. Dikit-dikit ‘sungguh hari ini tak semanis boba’.”
Aleeya membuka mulutnya, ingin membalas, tapi suara langkah sepatu hak tinggi dan wangi parfum menyengat mendadak menyapu meja mereka.
“Loh, Aleeya?” suara itu datang dari seorang perempuan dengan blouse pink neon yang terlalu mencolok untuk jam empat sore. Di belakangnya, seorang temannya berkacamata dengan lipstik merah menyala.
Aleeya langsung kaku. Vina dan Mayang.
Dua nama yang dikenal sebagai sahabat Reina. Yang hobi menyindir halus, mengunggah story ambigu, dan—kalau Aleeya boleh jujur—lebih sering jalan bareng dosen muda daripada masuk kelas.
“Aleeya, lama nggak ketemu,” sapa Mayang dengan senyum manis yang rasanya seperti sabun antiseptik— bersih tapi bikin perih.
Tasya langsung memiringkan kepala, siap siaga kalau terjadi Perang Dunia Ketiga.
“Iya, ya. Lama banget,” jawab Aleeya datar. “Tapi nggak kangen kok.”
Vina terkekeh. “Eh, kamu sekarang dibimbing Pak Kevin, ya? Wah, cepet juga ya, move on-nya—”
Aleeya tersenyum, mengaduk kopinya perlahan. “Move on dari apa ya? Aku kan nggak pernah stay di mana-mana. Fokus ku skripsi. Bukan orang.”
Mayang duduk di kursi kosong tanpa diminta. Vina ikut-ikutan. Tasya melirik Aleeya, dan Aleeya memberi kode lewat gerakan alis— tenang, aku siap perang.
“Kamu tahu nggak, Pak Kevin tuh dulu itu dosen paling pilih-pilih,” ujar Vina. “Bahkan waktu temanku minta bimbingan juga ditolak. Eh, sekarang kamu bisa. Keren sih.”
“Thanks,” sahut Aleeya. “Mungkin karena saya nggak minta. Tapi langsung dikasih. Rezeki emang nggak kemana ya.”
Mayang nyengir. “Tapi berat lho kalau dibimbing Kevin. Nanti baper lho—”
Tasya sudah hampir berdiri, tapi Aleeya menahan dengan telapak tangan. Dia tersenyum dan berkata tenang, “Tenang aja. Aku biasa kok berurusan sama yang bikin deg-degan. Contohnya kayak mengambil bensin di toko Bu Darmi.”
Tasya ngakak.
Mayang melotot. “Lho, maksudnya?”
“Ya maksudnya, risiko itu bisa datang dari mana aja. Tapi bukan berarti kita harus takut jalan terus.”
Vina berdiri sambil merapikan tasnya. “Ya udah deh. Gak ganggu. Lanjut ya. Sukses skripsinya.”
Aleeya tersenyum. “Thanks. Sukses juga buat kalian. Sama nahan diri buat nggak bahas hidup orang lain terus.”
Setelah mereka pergi, Tasya langsung menepuk tangan. “Standing ovation buat kamu! Asli Kak, kamu makin savage. Ini sih bukan Aleeya versi lama. Ini Aleeya versi Wi-Fi 5G.”
Aleeya tertawa, meski dalam hati ada sedikit gelisah. Pertemuan tadi bukan sekadar iseng mampir. Aleeya bisa merasa, mereka mengamati. Mereka menyusun sesuatu.
Dan entah kenapa— mendadak dia ingin tahu, apakah Kaivandra pernah mendengar semua ini dari mereka?