Strategi Ninja Ala Aleeya

1112 Kata
Aleeya bangun lebih awal dari biasanya. Ajaib. Bahkan Mami Naura sampai harus menyentuh dahinya memastikan apakah putri tercintanya sedang dalam kondisi sehat atau kesambet jin rajin. Setelah memastikan dirinya tidak demam, Aleeya segera bersiap. Kaos polos, celana jeans, jaket oversize, dan kacamata hitam yang lebih besar dari wajahnya. “Mau ke mana kamu sepagi ini?” tanya Mami curiga. “Belajar di perpustakaan, Mi,” jawab Aleeya santai sambil memasukkan buku catatan ke dalam tote bag-nya. “Pakai kacamata item?” “Lagi insecure dengan sinar matahari,” jawabnya cepat lalu kabur ke luar rumah. Tasya yang menunggu di depan gerbang sudah melipat tangan di d**a. “Oke, Kak Aleeya, kamu bener-bener niat kayak mau ngejar penjahat internasional. Emang kamu yakin mau menyusup ke ruang dosen demi liat jadwal seminar Pak Kevin?” Aleeya mengangguk mantap. “Ini bukan soal menyusup. Ini soal strategi riset. Aku harus tahu materi dia, ritme berpikirnya, kebiasaan ngomongnya— biar bisa nyocokin tema skripsiku.” Tasya menggeleng pasrah. “Kamu tuh kayak kombinasi antara anak ekonomi ambisius dan mata-mata gagal rekrut.” Mereka masuk ke lingkungan kampus. Aleeya langsung pasang gaya menyelinap. Berjalan miring-miring di balik pohon, merunduk di balik papan pengumuman, dan hampir merayap waktu melewati ruangan TU Fakultas Ekonomi dan Bisnis. “Kak, ini kampus, bukan markas rahasia. Santai aja kali,” bisik Tasya panik. “Sstt! Target mendekat!” bisik Aleeya sambil memelototi pintu ruangan dosen dari kejauhan. Dan benar saja, Kevin baru saja keluar dari ruangan sambil menggenggam Ipad. Langkahnya cepat, dan Aleeya langsung membuntuti dengan gaya yang sangat tidak menyatu dengan suasana akademik. Tasya nyaris putus asa. Akhirnya, Kevin duduk di taman kecil kampus, membuka tabletnya. Aleeya yang pura-pura duduk di bangku agak jauh, mengintip dari balik bukunya. Dia nyaris loncat kegirangan waktu melihat halaman terbuka itu berisi jadwal seminar dan outline materi. “Aha! Got you, Professor!” bisiknya pelan. “Apa?” tanya Kevin tiba-tiba, menoleh. Aleeya spontan berdiri dan menyembunyikan mukanya dengan buku, “Ah, enggak, Pak... saya cuma lagi baca. Tentang... eh... ekonomi geopolitik di Asia Tengah. He-he.” Kevin menatapnya aneh, tapi akhirnya hanya mengangguk pelan dan kembali pada Ipadnya. Setelah Kevin pergi, Aleeya langsung mendekati bangku itu seperti detektif menemukan barang bukti. Dia catat semua jadwal seminar dan topik-topik pembahasannya di buku catatan kecil. “Tema besar: Interkoneksi Sektor Medis dan Ekonomi Digital dalam Dunia Pasca-Pandemi.” “Hmm, sounds... wow,” gumam Aleeya sambil mencoret-coret ide judul. “Kalau aku ambil topik tentang digitalisasi sistem p3mbayaran di rumah sakit swasta kelas menengah bisa masuk gak, ya?” Tasya datang sambil membawa dua roti isi. “Jadi agen rahasia lapar juga toh akhirnya.” Aleeya menatap jauh. “Tasya dunia ini keras. Dan Pak Kevin itu dosen yang terlalu dingin. Tapi aku akan bikin dia kagum. Dengan riset. Dan semangat. Dan sedikit stalking.” Tasya tertawa. “Semangat, Agen Ekonomi 007.” Dan begitulah, hari itu Aleeya pulang ke rumah dengan wajah puas, membawa satu buku penuh coretan ide riset dan dua lembar jadwal seminar yang berhasil dia salin diam-diam. Malamnya, sambil mengetik bab latar belakang, Aleeya sempat-sempatnya mengirim pesan ke Kaivandra, “Masih inget yang katanya aku nggak serius? Tunggu deh, nanti kalau skripsiku selesai— aku mau jadi pembicara seminar juga. Biar bisa saingan sama Pak Kevin. Wkwk.” Kaivandra hanya membalas, “Kalau kamu jadi pembicara, seminar-nya pasti rame. Karena pasti ada sesi curhat, nyasar, dan drama kehabisan bensin.” Aleeya membalas dengan stiker muka manyun, tapi senyum-senyum sendiri di depan laptop. *** Bagi Aleeya, malam adalah waktu terbaik untuk bertempur dengan lembar demi lembar halaman Word. Di mejanya, berserakan referensi jurnal internasional, buku tebal dari perpustakaan kampus, dan setumpuk sticky note warna-warni yang lebih banyak berisi curhatan daripada poin penting. “Kenapa ini namanya regresi linear berganda? Kenapa bukan persahabatan yang rumit aja, biar relatable?” gumam Aleeya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Piyama tidur sudah kusut, rambut diikat asal, dan wajahnya penuh ekspresi frustasi. Di satu sisi laptopnya, ada mug kopi buatan sendiri— yang entah kenapa rasanya lebih mirip air gula dengan rasa trauma. Tasya, sahabatnya, sedang duduk bersila di kasur sambil scrolling TokTok. Malam ini dia menginap di rumah Aleeya karena Bunda dan Ayahnya pergi ke luar kota. Dia menoleh sekilas. “Kak, kamu udah nulis dari jam berapa?” “Dari maghrib. Tapi hasilnya cuma tiga paragraf, dan dua di antaranya isinya quote motivasi dari Pinterest,” jawab Aleeya. Tasya cekikikan. “Yang penting niatnya ya, beb.” “Aku tuh pengen nunjukin ke Pak Kevin— jika aku bisa bikin proposal yang beda dari yang lain. Bukan yang biasa, bukan yang pasaran, tapi juga bukan yang bikin kepala dosbing pengen pensiun dini.” Tasya melempar bantal kecil ke arah Aleeya. “Woy, kamu bisa! Kamu tuh pinter, cuma sering ke-distract sama hal receh kayak sandal jepit yang warnanya beda, kucing tetangga, atau cowok tetangga.” Aleeya mendesah panjang. “Gini ya— hidupku udah kayak sinetron. Tinggal nunggu musik latar dan kamera slow motion.” Tapi malam ini Aleeya sungguh berbeda. Setelah menyeruput kopi yang rasanya lebih cocok disebut sirup kental, dia kembali fokus. Matanya menatap layar penuh semangat. Jari-jarinya menari di atas keyboard. Tulisan demi tulisan muncul, ide-ide yang awalnya terasa absurd kini mulai membentuk pola yang logis. Judul: "Efektivitas Implementasi Sistem P3mbayaran Digital Terhadap Kepuasan Pasien di Rumah Sakit Swasta Menengah: Studi Kasus Pasca-Pandemi" “Gimana?” tanya Aleeya sambil menunjukkan laptop ke Tasya. Tasya membaca cepat, lalu mengangguk. “Ini beneran kamu yang bikin?” “Ya iyalah! Bukan Pak Kevin juga!” “Kak, ini bagus. Ada data sekunder, arah riset nya jelas, dan kamu bahkan sudah rancang kerangka teori! Ini bukan Aleeya yang biasanya.” Aleeya senyum lebar. “Aku bahkan menyusun rumusan masalah tanpa nangis loh. Bangga gak?” “Bangga dong.” Tasya memeluk bantal sambil tertawa. “Akhirnya kamu bangkit dari kubangan skripsi.” Jam menunjukkan pukul 01.15. Aleeya berdiri, menggeliat pelan, lalu membuka jendela kamarnya. Hujan sudah berhenti, menyisakan udara dingin yang menyegarkan. Dari seberang balkon, lampu kamar Kaivandra masih menyala. Sambil menatap langit, Aleeya bergumam sendiri, “Lihat ya, Mas Kaivandra— kamu pikir aku cuma bisa nyasar dan bawa bekal nggak enak? Tunggu skripsi ini selesai. Aku bakal buktiin kalau aku bisa serius juga.” Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Aleeya merasa percaya diri. Dia mungkin bukan mahasiswa paling rapi, bukan juga yang paling disiplin, tapi dia punya semangat, dan tekad yang akhirnya mulai mengalahkan semua keraguan. Esok harinya, dia akan kirimkan proposal itu pada Kevin. Tapi malam ini, dia cukupkan dengan senyum kecil—dan satu kata di sticky note yang ditempel di layar laptopnya, “Bismillah.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN