Bukan Sekadar Judul

1149 Kata
Masih terlalu pagi— bahkan udara masih malas bergerak, embun masih enggan mengering, dan suara burung gereja bersahutan dari atap rumah. Kaivandra membuka pagar depan rumahnya, niatnya sederhana, menyiram tanaman dan mengecek pot bunga yang kemarin diinjak kucing tetangga. Tapi matanya menangkap sesuatu. Sebuah map bening tergolek manis di dekat kursi halaman depan. Terkena embun sedikit, tapi isinya masih utuh. Kaivandra menunduk, mengambilnya pelan. Di pojok kanan map, tertulis nama yang sangat familiar, Aleeya Dzakira Bagaskara. Alis Kaivandra langsung terangkat. "Mahasiswi ekonomi yang sering nyasar itu menjatuhkan proposal skripsi sembarangan?" gumamnya pelan. Dia sempat ragu. Mau langsung antar ke rumah sebelah, atau baca dulu isinya? Ya demi memastikan tidak ada data penting yang rusak akibat embun, tentu saja. Dengan langkah ringan, dia kembali masuk ke rumah, duduk di ruang tamu. Dibukanya halaman pertama. Judul proposal itu menghentikan langkah napasnya sejenak. Efektivitas Implementasi Sistem Pembayaran Digital Terhadap Kepuasan Pasien di Rumah Sakit Swasta Menengah: Studi Kasus Pasca-Pandemi Kaivandra termenung. Sebagai seorang dokter yang juga kerap berurusan dengan sistem administratif rumah sakit, dia tahu persis topik ini tidak mudah. Butuh pendekatan multidisiplin, pemahaman ekonomi yang solid, dan data yang rumit. Dia lanjut membaca. Latar belakangnya ditulis dengan runut. Rumusan masalah jelas. Tujuan penelitian, metodologi, bahkan kerangka pikirnya tertata apik— meskipun beberapa kalimat ada selipan catatan kocak dengan pulpen warna pink: “Harus cari data di RS? OMG. Siap-siap disuruh fotokopi 300 lembar.” “Nanya ke pasien? Harus siap ditolak mentah-mentah.” Kaivandra tertawa kecil. Senyumnya tak bisa disembunyikan. Ini bukan Aleeya yang biasa ditemui setiap pagi sambil nyari sandal nyasar. Ini Aleeya yang serius. Yang berusaha. Yang mencoba membuktikan dirinya bukan sekadar gadis bar-bar yang ribut soal kucing dan sandal warna pink. Dia terdiam lama, matanya tak lepas dari kertas-kertas yang mulai tampak mengandung makna lebih. Kaivandra lalu berdiri, masih memegang map bening itu. Dia keluar rumah, melangkah ke pagar sebelah. Tapi saat akan menekan bel, dia mendengar suara gaduh dari dalam rumah Aleeya. “Aduh, Miii! Proposal ku hilang! Aku udah print semalem! Itu hasil perjuangan kopi dua sendok gula dan ngantuk maksimal!” Kaivandra tersenyum tipis, lalu pura-pura mengetuk pagar sambil berdeham. Pintu terbuka. Aleeya muncul dengan rambut berantakan, mata bengkak karena begadang, dan wajah panik. “Mas Kaivan?” tanyanya. Kaivandra mengangkat map bening itu. “Ini nyasar ke halaman rumahku. Sama kayak sandalnya dulu-dulu.” Aleeya langsung merebutnya. “Makasih! Ya Allah, ini nyawaku! Kalau hilang, aku harus mulai dari awal dan Pak Kevin bisa-bisa ngebatalin jadwal bimbingan!” “Sudah aku baca sedikit,” kata Kaivandra sambil menyilangkan tangan. “Lumayan juga. Kamu lebih dari sekadar tetangga yang nyebelin, ternyata.” Aleeya nyengir malu. “He-he— aku memang suka menyembunyikan kecemerlangan.” Kaivandra menyipitkan mata. “Cemerlang, tapi tetep salah naro barang. Lain kali, simpan di tempat aman.” “Iya, iya, Dokter Jantung,” jawab Aleeya sambil mengambil napas lega. “Makasih, ya. Udah nyelametin masa depan saya.” Sebelum Kaivandra berbalik, dia sempat menatap mata Aleeya dalam-dalam. “Kalau kamu butuh narasumber buat topik mu itu— aku bisa bantu. Tapi jangan bikin jadwal wawancara jam dua pagi, ya.” Aleeya menatapnya, lalu tersenyum kecil. Ada haru yang bersembunyi di sana, sekaligus geli. “Deal,” jawabnya pelan. Dan pagi itu, bukan hanya proposal skripsi yang terselamatkan—tapi juga secuil rasa yang makin tumbuh pelan-pelan, dari halaman demi halaman yang diam-diam mulai dibaca, bukan hanya dengan mata, tapi dengan hati. *** Pukul 09.00 pagi, kampus mulai ramai. Mahasiswa lalu lalang dengan wajah penuh harapan, kecemasan, atau kombinasi keduanya. Tapi satu makhluk bernama Aleeya Dzakira Bagaskara berdiri terpaku di depan pintu ruangan dosen, sambil membawa map tebal dan raut wajah seperti akan sidang negara. Pakaiannya rapi. Blazer abu-abu, celana bahan hitam yang—menurut Maminya—akhirnya terlihat seperti manusia siap kerja, bukan manusia kesiangan. "Tarik napas— buang," gumamnya pada diri sendiri. Pintu ruangan terbuka sedikit. Dari dalam, terdengar suara lembut tapi tegas, “Silakan masuk.” Aleeya masuk dengan langkah hati-hati, seperti anak ayam masuk kandang macan. Di dalam ruangan itu duduklah Kevin Danny Aciel, pria muda, berwibawa, dan terlalu ganteng untuk ukuran dosen. Kemeja putihnya rapi, jam tangannya mengilap, dan aromanya— ya Tuhan, wangi parfumnya bisa membuat Aleeya lupa skripsi. “Silakan duduk, Aleeya.” Suara Kevin tenang. Aleeya duduk, meletakkan map dengan tangan gemetar. “Selamat pagi, Pak Kevin. Ini saya bawa proposal baru. Sudah saya revisi. Semalaman ngetiknya sambil begadang dengan kopi dua sendok gula.” Kevin mengambil map itu, membukanya perlahan. Beberapa detik kemudian— keningnya berkerut. “Judulnya berubah lagi?” tanyanya. “Iya, Pak. Yang sebelumnya Bapak bilang terlalu pasaran. Jadi ini saya cari topik lain tentang sistem pembayaran digital untuk pasien rawat jalan. Lebih sempit cakupannya, tapi ada tantangan lapangan juga.” Kevin membaca cepat, matanya fokus. Lalu dia menghela napas. “Hmmm, struktur sudah lebih baik. Referensi mulai relevan. Tapi—” Aleeya menelan ludah. Kevin melanjutkan, “Kenapa kamu menulis kutipan motivasi dari akun Insta9ram di bagian latar belakang?” Aleeya langsung menunduk. “Itu, refleksi pribadi, Pak. Saya pikir bisa membangun emotional engagement— semacam pengantar yang relatable gitu.” Kevin menatapnya lama. “Kalau ini bukan kelas public speaking, tapi skripsi.” “Maaf, Pak.” Aleeya cengengesan. “Saya terlalu semangat.” Kevin meletakkan map itu di meja. “Aleeya, saya tahu kamu punya semangat. Tapi semangat saja nggak cukup. Saya butuh data. Metodologi yang jelas. Bukan analogi cinta dan patah hati sebagai perbandingan variabel kuantitatif.” Aleeya nyengir malu. “Itu bagian yang lupa saya hapus, Pak.” Kevin tak bisa menahan tawa kecil. “Kamu ini ya—” “Jadi, ditolak lagi, Pak?” Kevin menyandarkan punggung ke kursinya. “Nggak. Proposal ini punya potensi. Tapi kamu harus bimbingan rutin. Saya nggak mau bimbingan via chat tengah malam, dan jangan kirim revisi lewat voice note lagi. Itu nggak sah secara akademik.” Aleeya tertawa, malu sekaligus lega. “Baik, Pak. Saya janji. Mulai minggu ini saya lebih serius. Saya bahkan udah beli highlight warna-warni dan sticky note bentuk semangka!” Kevin menatapnya, senyum samar. “Kamu punya cara sendiri dalam belajar. Kadang aneh, tapi setidaknya kamu terus mencoba.” Aleeya tersenyum kecil. “Pak Kevin—” “Hmm?” “Kalau saya bisa lulus tepat waktu, saya traktir Bapak es krim matcha. Deal?” Kevin tertawa. “Kalau kamu bisa lulus tepat waktu dan nggak mengubah judul skripsi lagi, saya yang traktir kamu.” Aleeya matanya membesar. “Benar, Pak? Janji dosen itu sah dan mengikat lho.” Kevin angkat tangan seperti bersumpah. “Saya janji.” Dan di ruangan itu, di balik keheningan AC yang dingin dan aroma parfum dosen muda, Aleeya merasa sedikit lebih dewasa. Ini bukan sekadar tentang kelulusan. Ini tentang proses. Tentang tumbuh. Dan tentang belajar bahwa meskipun kepala bisa pusing tujuh keliling, hati tetap harus tenang— dan jangan pernah mencampur data statistik dengan perasaan pribadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN