Jam dinding rumah Kaivandra menunjukkan pukul 21.05. Suara kipas angin di langit-langit berdengung pelan, bersaing dengan suara hujan rintik yang mengetuk-ngetuk genting. Kaivandra duduk di sofa ruang tengah, masih mengenakan kemeja putih yang sudah agak kusut, dasi melonggar, dan rambut sedikit berantakan. Dia baru saja pulang dari rumah sakit, setelah shift panjang yang penuh tangisan keluarga pasien, tekanan ruang ICU, dan laporan akademik mahasiswa kedokteran yang menumpuk. Tapi pikirannya justru tidak berada di antara semua itu. Tangannya menggenggam ponsel, jempolnya ragu bergerak. Berkali-kali membuka kolom chat w******p, lalu menutupnya lagi. Di sebelah nama kontak ‘Aleeya’ ada titik hijau, online. Setelah menarik napas pelan, akhirnya dia mengetik. Kaivandra: “Gimana bimbinga

