Namanya, Nando

1189 Kata
Aleeya sudah berdiri manis di depan pagar rumah Kaivandra. Bukan manis sih, lebih ke manis dengan nafas ngos-ngosan. Rambut di cepol seadanya, tote bag menggantung miring dan helm pink dengan stiker 'SOK SWEET CLUB' menempel di belakang. Sepertinya, dia akan naik mobil memakai helm. Kaivandra muncul di balik pagar, kunci mobil berputar di jari. "Aku bilang jam tujuh. Sekarang jam tujuh lewat lima." "Mas, aku bangun jam enam lima belas! Itu rekor pribadi." "Rekor mu sangat menyedihkan." "Salah sendiri ajakin jalan-jalan pakai acara minta ganti rugi uang bensin. Ya kan semalam aku berpikir, Mas Kai mau ambil jantungku. Jadi gak bisa bobo nyenyak." "Sepertinya tidak ada yang mau menerima donor jantungmu, meski mereka membutuhkan." "Kok bisa?" Aleeya sedikit cemberut. Bukannya menjawab, Kaivandra justru masuk ke dalam mobilnya begitu saja. Meninggalkan Aleeya yang masih penasaran. Gadis itu pun ngambek. Tapi begitu masuk ke mobil dan mencium wangi sabun khas Kaivandra, dia langsung lupa mau marah soal apa. Wangi itu tuh— kayak aroma cowok anime yang belum pernah dia temukan di dunia nyata. “Leeya—” “Hm, ada apa, Mas?” “Haruskah memakai helm di dalam mobil?” “Hehe, maaf, Mas.” Aleeya langsung melepaskan helm kesayangannya, lalu melemparkan sembarangan ke kursi belakang. Kelakuan anarkisnya tak membuat si empunya mobil. Karena sudah khatam dan malas menegur. Dalam perjalanan, suasana canggung sempat mampir. Tapi, Aleeya seperti biasa langsung mengusirnya dengan komentar absurd. "Mas, menurut kamu kalau Moni ternyata reinkarnasi mantan kucingku yang dulu hilang di kampung, gimana?" Kaivandra menoleh sebentar, ekspresi flat. "Aku akan menyarankan kamu ikut konseling. Bareng Moni." Aleeya mendengkus kesal. "Aku serius loh Mas!" Serunya dengan wajah— cukup membuat Kaivandra tersenyum singkat. Sedetik, dua detik dan beberapa menit kemudian— Kaivandra tetap tenang di kursinya sambil menatap jalanan di depannya. Sama sekali tak berniat menanggapi ucapan Aleeya. Merasa diperlakukan semena-mena, Aleeya memilih diam dan mengamati jalannya lewat kaca samping. Saking asyiknya melamun memikirkan rencana-rencana aneh— dan tentunya akan membuat tetangganya naik darah. Tak terasa mobil yang ditumpangi Aleeya telah sampai di depan toko hewan. "Astaghfirullah, kok kayak nggak berasa naik mobil ya. Perasaan di jalan tadi ada jalan berlubang. Harusnya kan mobilnya goyang-goyang," celetuk Aleeya sambil melepaskan seat belt. "Kamu naik mobil bukan naik delman, Aleeya. Lagi pula aku punya mata. Jika ada lubang mana mungkin aku terjang," balas Kaivandra sebelum meninggalkan mobil. "Benar juga ya," gumam pelan Aleeya sebelum menyusul Kaivandra. Mata Aleeya berbinar-binar melihat barisan kandang kucing, makanan organik, mainan tikus palsu dan aksesoris berbentuk donat. "Mas, ini surga! Ini tuh s****e versi hidup!" Kaivandra hanya mengangguk pelan sambil mengikuti dari belakang seperti bodyguard gratisan. Mereka berjalan menyusuri lorong kandang adopsi. Lalu seekor anak kucing abu-abu mendekat ke jeruji. "MAS, INI DIAAA!" Teriak Aleeya. Kucing itu menguap. Kaivandra jongkok. "Dia mengantuk. Bukan antusias." Aleeya membuka pintu kandang pelan. Kucing itu langsung naik ke pangkuannya dan mendengkur. Kaivandra diam. Tatapannya tak lepas dari Aleeya yang saat itu tersenyum lebar— senyum tulus yang jarang dilihat. Bukan senyum bar-bar. Bukan senyum ngeyel. Tapi, senyum yang membuat jantungnya skip satu beat. "Mas—" bisik Aleeya, tanpa sadar mengelus kepala kucing itu. "Dia mirip banget sama Moni." "Kalau kamu kasih nama dia Moni 2.0— aku akan keluar dari toko ini," ujar Kaivandra. "Nggak dong. Aku mau kasih nama dia— Nando." Kaivandra mengerutkan alis. "Kenapa Nando?" Aleeya tersenyum jahil. "Karena dia muncul pas aku bareng Mas Kaivandra." Kaivandra mendadak batuk. "Itu garing. Dan sama sekali tidak ada manis-manisnya." Aleeya sudah biasa mendapatkan kalimat itu. Namun dia tak kapok menggoda tetangganya itu. "Jadi, kita adopsi yang ini ya, Mas?" "Kita?" Aleeya sadar dia telah salah bicara. "Maksudnya kamu. Kamu adopsi, terus aku yang urus. Sama aja sih ya. Satu komplek juga. Sebelah rumah lagi." Kaivandra hanya mengangguk. Tapi senyum kecil itu muncul lagi. Senyum yang hanya keluar jika dia memenangkan perlombaan atau berhasil membuat mahasiswa bimbingannya menangis gara-gara skripsinya penuh dengan coretan bolpoin merah. Dalam perjalanan pulang, Nando meringkuk di pangkuan Aleeya. Mobil hening. Tapi hati masing-masing— ramai. "Mas—" "Hm?" "Kalau aku nanti pindah rumah. Mas bakal kangen apa tidak?" Kaivandra menoleh, pelan. "Tidak!" Aleeya langsung manyun. "Ya udah." "Tapi Nando pasti nyariin kamu tiap hari," ujar Kaivandra lagi. Aleeya menoleh cepat. "Dan aku juga, mungkin—" Kaivandra pura-pura fokus menyetir. *** Reina duduk di pojok kantin fakultas kedokteran, matanya menatap layar ponsel sambil memantau story Insta9ram Aleeya. (Foto Kucing dan Kaivandra menyetir mobil) Caption: "Hari ini adopsi cowok berbulu. Namanya, Nando." Diakhiri dengan emoji hati dan jejak kaki kucing. Reina mendecak. "Berani sekali dia posting Pak Kaivandra. Lagi-lagi tanpa tutup wajahnya." Di hadapannya duduk dua sahabatnya, Vira dan Mayang— mahasiswi kedokteran yang tahu betul, kalau Reina punya 'misi besar' jadi pasangan Kaivandra. Bukan cuman karena dia ganteng dan pintar. Tapi Reina juga merasa 'Setara'. "Kayaknya kamu harus gerak, Rein. Jangan sampai si Aleeya itu nyolong start," bisik Mayang. "Nyolong? Dia udah bikin Pak Kaivandra satu rumah sama kucing barunya. Itu udah start plus bonus plus cheat code," geram Reina. Vira menyender santai. "Terus kamu mau ngapain?" Raina meneguk jus beetroot-nya pelan. "Aku tahu rahasia kecil soal Aleeya." "Rahasia apa?" Tanya Mayang. "Dia dulu pernah jadi ketua BEM fakultas, tapi sempat diskor 1 bulan karena insiden banner," jelas Reina. Mayang dan Vina saling pandang. "Insiden banner?" Reina tersenyum licik. "Biar aku yang gerak. Aku akan Serang dari dua sisi. Reputasi dan emosinya. Dia akan sibuk menyelesaikan masalah hingga meninggalkan Pak Kaivandra." ~~~ Sementara itu, di rumah Aleeya ... Gadis itu sedang menyisir bulu Nando sambil makan biskuit. Ponselnya berbunyi titik sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal. "Hati-hati ya, Aleeya. Popularitas itu bisa hilang dalam sekejap. Termasuk hati orang." Aleeya menatap layar. Keningnya berkerut. "Tuh kan, udah mulai gaya-gaya drama Korea. Habis ini paling ada yang kirim bunga dengan kartu kosong." Dan benar saja, 10 menit kemudian tukang ojek datang membawa buket mawar putih. "Ini buat Mbak Aleeya dari pengagum rahasia." Aleeya menata bunga itu curiga. Lalu berjalan ke arah rumah Kaivandra dan menyodorkannya. Kebetulan yang dicari sedang berada di luar. "Mas, ini ada kiriman bunga buat kamu." Kaivandra menoleh ke arah tetangga rusuh. "Dari siapa? "Entah. Tapi isinya energi jahat. Boleh nggak ditaruh di ruang tamu Mas aja?” "Kasihkan saja pada Pak satpam. Bilang jika bunga itu sebagai tanda terima kasih karena mereka telah menjaga ketentraman komplek perumahan ini," titah Kaivandra. "Nggak mau ah! Kasihan nanti kalau pak satpamnya terkena energi jahat," tolak Aleeya. Kaivandra lalu mematikan kran air dan menaruh selang ke lantai. Kemudian bersedekap tangan. "Maksudmu biar rumahku saja yang terkena energi jahat itu?" Dengan polosnya Aleeya mengangguk cepat. "Energi jahat itu kan biasanya muncul dari syaitan— nah, syaitan itu pasti takut dengan Mas Kai. Makanya aku kasihkan." Kaivandra menutup kedua matanya sejenak. Menghirup udara dengan rakus agar emosinya tak meledak. "Aleeya Dzakira Bagaskara," panggil Kaivandra dengan suara berat dan wajah serius. Jika sudah begitu, tandanya sebentar lagi akan ada bencana. Bencana dahsyat yang akan berdampak bagi kesejahteraan Aleeya. Sebab jika sudah ngambek, Kaivandra akan mendiamkannya selama satu minggu dan tidak mau memberinya tumpangan. "Oke, oke, aku akan memberikan buket bunga ini pada Pak satpam," ucap Aleeya sambil erlalu meninggalkan rumah tetangganya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN