Meminta Ganti Rugi

1064 Kata
Sudah dua hari berturut-turut Aleeya melewati fakultas kedokteran tanpa mampir. Bukan karena nggak ada titipan surat. Tapi, karena si Mbak Gigi— julukan personal Aleeya untuk mahasiswi kedokteran gigi semester akhir bernama Reina— akhir-akhir ini bertransformasi jadi penjaga lobi. Reina wajahnya biasa saja, otak tak terlalu pintar namun dia anak Direktur rumah sakit tempat Kaivandra bekerja. Dari jauh, Aleeya bisa melihat Reina menyodorkan bekal makan siang ke Kaivandra di taman kampus. Nasi sushi homemade lengkap dengan hiasan nori berbentuk hati. "Bisa-bisanya dia bikin nasi kepal segitu niatnya—" ujar Aleeya kesal, dari balik pohon akasia kampus. Sementara Aleeya? Terakhir nyodorin sesuatu ke Kaivandra, bukan makanan tapi surat izin sakit dari mahasiswa bernama Rangga yang di amplopnya ada sisa remahan rengginang. Entah mengapa mahasiswa kedokteran hobi menitip surat izin sakit padanya? Jelas-jelas Aleeya mahasiswi fakultas ekonomi dan bisnis. Jarak antara dua gedung pun cukup jauh dan dia butuh effort lebih untuk pergi ke sana. Namun, Aleeya tak mampu menolak. Karena dia menganut paham 'Rizki tidak boleh ditolak' nanti Allah murka dan tidak memberinya lagi rezeki yang melimpah ruah. Sebab, orang-orang yang menitip surat padanya sering memberinya coklat, donat, camilan, minuman kesukaannya dan masih banyak lainnya. Di kampus— Aleeya banyak memiliki teman karena sifatnya yang hamble dan tidak pelit. Namun dia hanya memiliki satu sahabat yaitu Tasya, adik tingkatnya di jurusan yang sama. "Mbak, ke kantin yuk," panggil Tasya setelah menunggu lama di belakang sahabatnya. "Nggak usah diliatin terus. Aku yakin Pak Kai bakal nolak makan siang pemberian Mbak Gigi." Aleeya mengangguk. Meski masih penasaran— tapi rasa laparnya tak bisa ditunda lagi. Keduanya pun berjalan menuju ke arah kantin yang letaknya di lantai 3 fakultas kedokteran. Di sana ada menu gudeg legendaris kesukaan Aleeya dan Tanya— meskipun harus antri untuk mendapatkan tempat duduk, mereka rela. "Alhamdulillah, dapat makanan enak juga. Tumben nggak usah berdesak-desakan kayak di mikrolet." "Mbak Leeya lagaknya kayak nggak pernah makan gudeg ini, padahal hampir tiap minggu kita selalu ke sini untuk menyantapnya," cibir Tasya. "Lagian kayak pernah naik mikrolet aja. Orang naik angkot muntah-muntah karena nggak tahan sama bau keringat sopirnya." "Haha, tolong jangan diingatkan! Aku trauma nyium ketek Pak sopir," balas Aleeya dengan tawa lepas. Mereka memulai makan siangnya, sambil membicarakan kekonyolan saat pertama kali naik angkot. Waktu itu, Tasya sudah duduk duluan, nyempil di pojok, dekat pintu dan memeluk tas seperti pegawai yang takut gajinya hilang. Sementara Aleeya duduk di tengah, pas banget di sebelah Pak sopir yang sedang mengangkat tangannya tinggi-tinggi saat menarik rem tangan. Dan detik itulah, Aleeya mencium aroma yang tak pernah dia bayangkan akan jadi kenangan seumur hidupnya. Detik-detik tragedi. Aroma tajam. Lembab. Campuran minyak angin dan, entah bumbu instan apa? Langsung menyerang saraf olfaktori Aleeya. Tanpa mengatakan apapun— Aleeya membuka kantong kresek yang berisi roti dan air mineral, yang dibelinya di minimarket, kemudian memuntahkan isi perutnya. Tak tahan lagi, Aleeya minta diturunkan di pinggir jalan— lalu dia menangis sambil menelpon Maminya minta dijemput. Tasya, sahabat sejatinya— hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan absurd Aleeya. "Lagian gaya banget kamu, Mbak. Mau hemat malah jadi trauma permanen," celetuk Tasya. "Pokoknya nggak mau lagi naik angkot! Kecuali sopirnya Mas Kaivandra. Soalnya dia wangi dan nggak mungkin bau ketek," balas Aleeya. “Kayaknya mustahil deh Pak Kai jadi sopir angkot, ujar Tasya. Tiba-tiba saja datang si pengganggu— tanpa permisi dia langsung duduk di depan Aleeya. "Hai, Aleeya," sapa Raina sok ramah. "Iya," jawab Aleeya sambil mengunyah daging ayam pop. "Aku sering melihat kamu ke fakultasku. Hampir setiap hari— kalau boleh tahu untuk apa ya?" Aleeya tersenyum manis, walau dalam hati sudah ingin melempar paha ayam ke arah Reina. "Mengantar surat, Mbak. Aku kurir kampus. Bayarannya perkata." Reina ikut tertawa, hanya untuk mengejek gadis di depannya. "Lucu. Tapi Pak Kaivandra itu sangat sibuk. Jangan sampai diganggu terus! Apalagi sama mahasiswi fakultas lain." Aleeya meletakkan sendoknya. "Kalau itu aku tahu. Makanya cuman ke sana kalau ada urusan penting. Beda sama yang datang tiap hari bawa nasi cinta." Wajah Reina menegang. "Excuse me?" "Sushi kan dari nasi, Mbak." Reina mendengkus. "Aku cuma khawatir kamu terlalu dekat. Pak Kaivandra itu dosen sementara kamu mahasiswa." Aleeya menatap lurus. "Tapi aku juga tetangganya." Dan di situ, Reina diam. Seperkian detik. Dia tahu posisi Aleeya lebih dari sekedar 'mahasiswi'. Aleeya punya akses 24 jam; pagi, siang, dan malam. Bahkan saat Kaivandra keluar rumah untuk berolahraga, gadis itu pun ada di sampingnya. Reina berdiri. "Hati-hati, Lee. Dosen kayak Pak Kaivandra itu bukan buat main-main." Aleeya menanggapi dengan senyum datar. "Tenang, aku juga nggak main-main.” *** Aleeya sedang duduk di balkon kamarnya. Angin malam menyapu rambutnya— di rumah sebelah, lampu kamar Kaivandra masih menyala. Dia menatap ke arah jendela itu sambil bergumam, "Mas kalau aku teriak, kamu bakal timpuk aku pakai jurnal penelitian atau malah menyambut ku dengan senyuman lebar?" Dan tiba-tiba ponselnya berbunyi dan satu notifikasi masuk. Kaivandra "Besok pagi kamu nebeng lagi? Aku isi bensin motormu tadi sore— sama Mami Naura. Kamu harus ganti rugi!" Aleeya menatap layar ponsel dengan senyum mengembang. Namun hanya sesaat, setelah membaca pesan terakhir bibirnya langsung mencebik. Aleeya : "Minta sama mami dong. Kan belinya sama beliau. Lagian uang jajanku bulan ini udah ludes." Kaivandra : "Itu motor kamu jadi kamu yang harus membayar!" Aleeya : "Habis berapa memangnya? Aku beli bensin biasanya dua puluh ribu di toko kelontong Bu Darmi, masih ada kembalian permen karet dua biji." Kaivandra : "Sumpah ya Lee— kamu itu skripsi boleh bar-bar, tapi mesin jangan dikasih perlakuan toxic relationship begitu. " Aleeya : "Yang penting kan motor bisa jalan. Pak dokter jantung— bukan Dokter oli motor." Kaivandra : "ALEEYAAAAAAAA!!!" Aleeya : "Bercanda Mas, bercanda— berapa sih hutang yang harus aku bayar? Bilang aja. Besok pagi aku bakal ngutang sama Mami." Kaivandra : "Tidak perlu berhutang lagi. Lama-lama kamu terhimpit hutang saking seringnya kasbon sama Mami Naura." Aleeya : "Lalu bayar pakai apa? Jantung? Astaghfirullah, Mas. Aku cuman punya satu. Kalau diambil ntar aku mati. Dunia bakal sepi dan gulung tikar jika tidak ada aku." Kaivandra lalu mengirim emoticon ‘b0m’ pada si ratu drama. Percuma saja dia berbaik hati mengisi bensin dan berencana membelikan sesuatu yang sangat diimpikan oleh Aleeya. Bukannya ucapan terima kasih yang didapat, justru dianggap sindikat penjual organ dalam manusia. Aleeya "Mas, Mas, Mas—" "Jawab dong, Mas" "Haloooooo—" "Lebih baik aku terhimpit hutang daripada kehilangan jantung!" "Mas Kaivandra jahat sekali sih!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN