"ALEE-YAAAAA!"
Suara Mami Naura membahana dari dapur, menembus pintu kamar seperti sirine darurat.
Aleeya terbangun dengan rambut mengembang ke segala arah dan wajah penuh kebingungan, matanya mencari jam, lalu terbelalak. "ASTAGFIRULLAH, udah jam delapan!"
Dia panik. Langsung melompat dari tempat tidur seperti baru sadar ketinggalan kereta. Dengan satu kaki masuk celana, satunya lagi nyangkut di sprei, dia berusaha lari ke kamar mandi sambil menghindari bayangan kemarahan Maminya.
"Ini anak perempuan macam apa! Udah kuliah semester akhir, tidur masih kayak kebo Mau sampai tua bangun siang terus?" Teriak Mami Naura, yang ternyata sudah berada di depan pintu kamar putrinya.
"Mamiiii, tadi malam Leeya capek cari kucing—"
"Kucing orang, Lee! Yang kamu pikir kucing kamu ternyata Monica milik Bu Darmi! Duh, Aleeya, Aleeya! Mau jadi apa hidupmu kalau semuanya kamu anggap milikmu sendiri?"
Aleeya mengeluh sambil gosok gigi. "Yaitu bukan sepenuhnya salah aku. Moni— eh, Monica itu manja banget. Siapa juga yang nyangka dia udah punya pemilik—"
Mami Naura tak habis pikir dengan kelakuan absurd putrinya.
"Dan mobil kamu?! Masuk parit depan kampus kemarin, kenapa?!" Suara Mami Naura makin nyaring.
"Itu karena lubangnya tiba-tiba nongol, Mi."
"Lubang jalan, Aleeya. Bukan alien. Kamu pasti nyetir sambil main HP, ya 'kan?!"
Aleeya tersenyum kecut. Tertangkap basah oleh Maminya.
"Terus motor ke mana?!" Mami Naura kali ini sudah berdiri di depan kamar mandi, tangan di pinggang.
Aleeya keluar dengan wajah dan rambut masih basah. "Eh, kehabisan bensin, Mi."
"Ya Allah, mobil di bengkel, motor habis bensin, kamu bangun kesiangan dan kucing yang kamu rawat ternyata bukan milikmu lengkap sudah penderitaan satu keluarga."
"Mami jangan lebay!" Keluh Aleeya.
"Adzriel sudah berangkat bareng Papi. Dia nggak tega bangunin kamu, katanya kamu kelihatan 'lelah mencari jati diri' APA ITU ARTINYA?!"
Aleeya mengerang. "Adzriel dasar tukang julid!"
Mami Naura hanya menggeleng pasrah. "Buruan bersiap dan sarapan. Setelah itu pesan taksi online atau numpang sama tetangga sebelah— Mas Kaivandra tuh, yang selalu kamu repotin. Mumpung dia masih sabar. Sebelum kapok dan trauma."
Aleeya mematung. "Numpang Mas Kaivandra?"
Mami Naura menyipitkan mata. "Kenapa, malu atau deg-degan?"
"Nggak kok. Cuma ya—" Aleeya pura-pura sibuk menyisir rambut. "Gimana ya, Mam. Kemarin malam kan udah cukup drama—"
Mami Naura menghela nafas panjang. "Kalau dia masih mau nolongin kamu hari ini, artinya Dia bukan cuman sabar, Lee. Bisa jadi dia titisan malaikat."
Aleeya diam. Matanya melirik ke jendela— ke arah rumah sebelah.
Tepat saat itu, Kaivandra baru saja membuka jendela kamarnya. Penampilannya rapi, wangi, dengan kemeja abu-abu dan kacamata yang entah kenapa bikin jantung Aleeya ngaco.
Dan, dia melihat ke arah kamar Aleeya sejenak lalu menutup jendela kembali.
Aleeya ternganga. "Astaghfirullah, sungguh indah ciptaan Allah."
Mami Naura ikut melihat ke arah jendela yang kini telah tertutup. "Itu tuh, pria langka. Ganteng, pintar, sabar dan nggak gengsi bantuin gadis aneh sepertimu. Semoga jodohnya perempuan normal. Gak kayak kamu!”
Aleeya menatap Maminya. "Mending Mami bantuin Leeya— tolong minta Pak satpam buat isiin bensin ke motorku."
"Pak satpam sedang ikut kerja bakti bersih-bersih got," jawab mami Naura sambil berlalu begitu saja.
***
Pintu rumah Kaivandra belum sempat tertutup rapat saat terdengar suara langkah tergesa.
"Mas Kaiiiiiiii—"
Kaivandra menoleh. Dan seperti yang sudah dia duga dan coba hindari, si tetangga penuh kejutan itu muncul lagi. Aleeya berdiri di pagar dengan rambut masih agak basah, tas selempang miring dan wajah penuh harap.
"Aku numpang ya, Mas?" Katanya pelan, seolah sedang meminta tumpangan ke planet Mars.
Kaivandra menghela napas pelan. "Motor kehabisan bensin?"
"Mas Kai, sekarang sudah bisa baca pikiran ya?"
"Tidak. Dalam Minggu ini kamu sudah tiga kali bilang kayak gitu."
Aleeya cengengesan sambil mendekati mobil milik Kaivandra. "Tapi serius, Mas. Aku nggak mau telat masuk kelas karena dosennya killer. Satu menit telat nilainya langsung turun derajat."
"Sayang sekali dosennya bukan Aku," Kaivandra menimpali, membuka pintu mobilnya. "Kalau aku dosennya— kamu sudah aku suruh ngulang dari semester satu."
"Astaghfirullah, tega sekali," gumam Aleea sambil masuk ke dalam mobil.
Begitu duduk, moment awkward pun dimulai.
Pertama, jarak mobil Kaivandra model coup dua pintu. Ruang di dalamnya nggak luas-luas amat. Dan posisi duduk Aleeya terlalu dekat.
Kedua, parfum Kaivandra yang tajam, bersih dan maskulin terlalu mendekat ke penciuman Aleeya. Hidungnya mendadak nggak fokus.
"Wangi parfumnya bikin inget cowok Korea—"
"Kalau kamu mau turun sekarang, masih sempat lari ke kampus," Kaivandra menjawab tanpa menoleh, menekan tombol start engine.
Ketiga, radio mobil otomatis menyala dan yang keluar adalah lagu my heart Will go on dari Celine Dion.
Aleeya langsung menoleh. "Mas ini soundtrack film Titanic."
Kaivandra buru-buru mengganti channel. "Itu preset. Bukan playlist."
Aleeya ngakak. "Nggak nyangka— Mas Kai penggemar lagu galau."
"Aku juga nggak nyangka kamu bisa bikin aku pengen lompat dari mobil sendiri," balas Kaivandra.
Mereka tertawa. Lalu hening.
Aleeya memandangi jalanan dari balik kaca.
"Mas—"
"Hm?"
"Kalau aku nggak salah ambil sendal lagi dan nggak kehilangan Moni— eh, Monica, kita nggak bakal kayak gini ya?"
Kaivandra menoleh sebentar. "Maksudnya?"
"Ya kayak sekarang. Duduk bareng di mobil, kamu nganterin aku."
Kaivandra tak langsung menjawab. Tapi dari sudut matanya, Aleeya bisa melihat senyum kecil menyelinap di wajah dingin itu.
"Aleeya—"
"Iya, Mas?"
"Mulai besok coba bangun lebih pagi. Cek bensin dan pastiin kucing yang kamu pelihara bukan kucing tetangga lagi."
Aleeya tertawa. "Oke, noted. Tapi kalau aku gagal— aku boleh nebeng lagi 'kan?"
Kaivandra tersenyum kecut percuma Dia memberi nasehat untuk gadis yang kini duduk di sebelahnya. "Lupakan saja!"
Setibanya di kampus, Aleeya turun dari mobil dengan gaya seperti habis menaklukkan badai. Tas selempang ditarik ke depan, sepatu sneakers dan rambut setengah kering yang dikibas seperti model iklan shampo lokal.
Kaivandra masih duduk di balik kemudi, belum sempat menegur, Aleeya sudah melambai sambil teriak. "Thanks, Mas! Semoga kamu panjang umur dan disayang mantu."
"Maksudnya orang tua?" Saut Kaivandra datar.
"Nah itu!" Teriak Aleeya sambil berlari ke lobi gedung fakultas ekonomi dan bisnis.
Beberapa mahasiswa lain menoleh dengan ekspresi kaget setengah tertawa. Aleeya memang seperti itu; cantik, pintar, ranking atas tapi kalau buka mulut kadang kayak sedang ikut lomba teriak antar jurusan.
Dan yang paling terkenal dari dia— selain kepintaran dan keanehan adalah jadi kurir surat.
Setiap minggu, selalu ada yang 'nitip' sesuatu untuk Kaivandra melalui Aleeya.
Surat magang, proposal penelitian, surat izin sakit, bahkan ada satu kali sepucuk surat cinta dari mahasiswi fakultas kedokteran Gigi, lengkap dengan parfum dan glitter.
Hari ini, seperti sudah ditakdirkan alam semesta. Begitu Aleeya duduk di kelas, teman sekelasnya langsung menyodorkan amplop coklat.
"Lee, nitip ke Pak Kaivandra ya. Surat pengantar seminar. Aku nggak sempat ke fakultas sebelah takut telat kelas."
Aleeya mengambilnya tanpa banyak tanya, lalu menyelipkan kertas sambil bergumam, "Aku ini bukan mahasiswi tapi POS INDONESIA."
Setelah kelas usai, Aleeya menyusuri lorong kampus menuju Fakultas Kedokteran. Wajahnya bersinar seperti baru menang kuis, langkahnya cepat seperti sedang dikejar diskon skin care.
Dan seperti biasa aku mah saat bertemu dengan Kaivandra yang sedang duduk santai di ruang dosen, membuka laptop— moment awkward pun datang lagi.
Tok ... Tok ...
Kaivandra melirik dari balik layar.
"Ada surat titipan," ucap Aleeya sambil menyerahkan amplop dengan gaya teatrikal. "Dari warga ekonomi untuk sang penyelamat nyawa."
"Lain kali, tolong kamu bedain antara aku dan kotak amal," kata Kaivandra. Sang donatur seminar.
"Tapi kamu lebih konsisten dari kotak amal. Tiap minggu aku titip dan kamu nggak pernah menolak."
Kaivandra menatapnya datar. "Mungkin aku sabar. Mungkin juga— aku nunggu alasan lain kamu buat nyamperin."
Aleeya diam. Senyumnya sedikit mengembang Tapi belum sempat dia membalas, tiba-tiba dari balik pintu muncul seorang dosen muda— perempuan— yang langsung memanggil manja, "Pak Kaiiiii, kamu jadi lunch bareng 'kan?"
Aleeya sontak membalik badan.
Kaivandra mendadak batuk.
"Oh, iya, sebentar lagi," jawabnya cepat.
Dosen muda itu melirik ke arah Aleeya. "Oh, ini mahasiswa kamu? Cantik, tapi kok kayaknya sering datang ke ruang dosen. Ada urusan apa?"
Aleeya langsung pasang senyum penuh ketenangan palsu. "Saya kurir, Bu. Khusus antar surat hati yang belum sempat dikirim."
Dosen muda itu kelihatan bingung.
Kaivandra memilih pura-pura mengatur berkas sambil menahan tawa.
Dan, Aleeya dengan langkah pasti keluar dari ruangan, kemudian berkata, "udah ganteng, pintar, dokter pula— eh laris manis juga. Fix dunia ini nggak Adil”