Ponsel Bagus terus berdering keras dan nyaring. Suaranya memekakkan twlinga dan menggema di seluruh ruangan kamar apartemen Bagus dan Cantika. Keduanya baru saja memejamkan mata dan melepas semua lelah yang berujung kenikmatan itu.
Cantika masih nyenyak dengan tubuh polos yang di dekap erat oleh Bagus dan tenggalam di d**a kekar yang keras seperti beton namun memberikan kenyamanan tersendiri.
Bagis mencari ponselnya di nakas dengan satu tangan yang terus mencari keberadaan ponsel yang makin terdengat berisik dan mengganggu.
Saat ponsel sudah berada dalam genggamannya. Bagus menatap nama yang tertera dalam layar ponsel itu.
"Bunda? Kenapa?" ucap Bagus liruh.
Sayup terdengar nama Bunda di sebut pelan. Kesua mata Cantika pun membuka. Pikirannya masih setengah sadar dan bum.sepenuhnya bisa berpikir jernih.
"Ada apa Mas?" tanya Cantika dengan suara serak.
Tubuh Cantuka masih betada di d**a Bagus dan sama sekali tidak mau pindah.
"Bunda telepon," ucap Bagus pelan memberu tahu Cantika.
Cantika langsung tersadar dan terbangun dari d**a Bagus. Cantika menutup tubuhnya yang polos dengan selimut tebal.
Bagus segera duduk di saling Cantika dan slaing berhimpitan. Bundanya paling senang kalau melihat kedua anaknya selalu bermesraan.
Klik ...
Tombol hijau sudah di pencet dan langsung menyambungkan komunikasi kepada Bunda Bagus. Wajah ayu Bunda Bagus langsung muncul di layar ponsel Bagus.
Bagus merangkul Cantika yang jelas sedang tak memakai pakaian sehelai pun di tubuhnya.
"Kalian itu kalau mau pergi ijin donk. Biar Bunda gak cemas. Tapi kalau lihat kalian bahagia begini Bunda makin ingin cepat menggendong cucu," ucap Bunda Bagus dengan suara keras karena bahagia.
Deg ...
Dada Cantika rasanya seperti di hujam batu besar yang runcing di bagian sisinya. Tentu sakit sekali rasanya.
Bagus mengeratkan pelukannya pada Cantika. Ia tahu, Cantika merasa tersinggung dengan ucapan Bunda Bagus. Padahal Bunda Bagus sama sekali tak bermaksud seperti itu.
"Secepatnya Bunda. Langsung dua nanti," ucap Bagus tertawa keras.
"Wahhh ... Memangnya Cantika sudah hamil?" tanya Bunda Bagus menyelidiki.
"Doakan saja Bun. Pasti ada kabar baik secepatnya," ucap Bagus asal. Ia hanya ingin membuat Bundanya bahagia dan ingin mengakhiri pembjcaraan teleponnya yang malah membuat Cantika tak nyaman dan berujung stres.
Sesuai petunjuk dan nasihat dokter yang pernah membantu Cantika. Cantika tidak boleh stres dan di berikan beban berat dalam berpikir. Makanya Bagus sekarang lebih membebaskan Cantika dalam hal apapun dan mengiyakan apa yang menjadi keinginannya. Walaupun Bagus harus memitar otak untuk mencari solusi agar keinginan Cantika tak terlihat jika di tolak.
"Okelah. Lanjutkan malam indah kalian. Lanjutkan pertempuran mesea kalian dan celat berikan Bunda cucu. Tapi ada yang bilang Cantika sudah hamil satu bulan? Benar?" tanya Bunda Bagus penasaran.
"Ekhemm ... Belum periksa Bunda. Nanti kalau sudah positif, Bagus kabari ya," ucap Bagus lembut menjelaskan.
Bagus langsung berpamitan dengan alasan ingin melanjutkan permainan mesra suami istri itu.
Padahal mereka baru saja selesai melakukan olah raga malam yang cukup menguras energi dan berkeringat deras.
"Mas ... Kita harus pulang dan siap melaksanakan acara empat bulanan Sonya. Aku tidak tega melihat wajah ibu yang begitu menginginkan Cucu," ucap Cantika merasa sedih.
"Sudahlah Cantika. Mas sedang tidak ingin membahas itu. Satu hal lagi. Jangan bahas Sonya!! Tolong Cantika, jangan perkeruh keadaan," titah Bagus pelan. Ia sama sekali tak membentak Cantika. Hanya ingin Cantika tahu, bahwa Bagus tak suka membicarakan orang alin yang tidak perlu.