“... hal paling kejam adalah tidak putus asa dan terus diberi harapan, hanya agar harapan itu dihancurkan pada akhirnya...” *** “... Aku pacaran sama kamu hanya karena dia yang menyuruhku.” Setelah melempar bom, Adit pergi dari tempat perkara, dengan jalannya yang sedikit sempoyongan. Naya terdiam di sana, wajahnya sedikit syok dan memerah karena malu. Aku berdiri, menghampiri Naya. “Nay...” “Diam!” Naya menatapku marah. Dia bangkit, lalu meninggalkan halaman belakang setelah mengambil ponselnya di meja. Fais berdeham pelan, kemudian satu per satu mereka meninggalkan tempat ini. Hanya tinggal aku dan Rain yang tersisa. Rain menyampirkan jaketnya ke bahuku, berkata, “Aku akan mengantarmu pulang.” Aku menahan Rain yang baru akan memasuki rumah, dengan mencengkeram ujung lengan ke