Si Botol Yakult

2287 Kata
Cukup lama Lucky dan Susan berbicara berdua. Pak Mus, Marni dan Rudy memberikan ruang bagi Lucky dan Susan untuk berbicara berdua saja. Marni yang meminta demikian, karena sebelumnya Susan mengatakan beberapa syarat untuk menerima tawaran pernikahan yang Marni dan Lucky tawarkan padanya, dan Lucky yang sedang terdesak waktu pun sepertinya tidak punya pilihan selain mendengarkan syarat yang Susan minta. Terlalu beresiko baginya jika dia tidak segera membawa calon istri ke hadapan ayah dan ibunya. Sebenarnya, Lucky bisa saja menerima tawaran ibu atau ayahnya untuk menikahi salah atau putri dari sahabat atau rekan bisnis mereka , hanya saja Lucky belum siap jika harus di tuntut ini itu jika menikahi wanita modern, atau kota, dengan segala problematika kota atau sosialita kehidupan mereka. Ingat... Lucky pernah mengatakan pada ayahnya jika dia hanya menginginkan wanita yang masih murni dan belum tersentuh peradaban bebas, dan sepertinya memilih wanita kampung adalah salah satu alternatif untuk segala ketakutan yang Lucky rasakan selama ini. Lucky yakin Susan bukan seperti wanita-wanita yang selama ini ibunya tawarkan, glamor dengan pergaulan bebas, dan yang pasti Lucky bisa menyimpulkan kelak wanita seperti itu akan lebih banyak menuntut ini dan itu, lalu menuntut waktu dan perhatian pada Lucky, padahal Lucky benar-benar belum siap untuk urusan ini. Jadi tidak ada salahnya menerima syarat dari Susan, selama Susan bisa di ajak bekerja sama. "Oke oke. Selain tiga syarat tadi, apa kamu masih punya syarat yang lain lagi? Atau kamu masih...!" "Ooh tentu dong. Kan kita mau nikah. Masa iya gak minta yang lain juga!" jawab Susan dengan sangat cepat, dan Lucky hanya mengerutkan alisnya menatap wanita yang setinggi botol Yakult itu. Susan terlihat berpikir sejenak, mencoba menimbang-nimbang, kira-kira apa yang dia inginkan, dan Lucky hanya terlihat melipat kedua tangannya di depan d**a seraya menatap Susan yang terlihat sedang berpikir serius, saat tiba-tiba Susan justru terlihat menyunggingkan senyum misterius ke arah Lucky , dan Lucky tentu saja mulai was-was jika seandainya Susan justru meminta sesuatu yang mungkin saja tidak bisa dia kabulkan, seperti pernikahan super mewah mungkin atau mungkin Susan ingin pernikahannya diliput media dan disiarkan langsung di seluruh stasiun televisi. Oh... Sungguh, Lucky tidak bisa mengabulkannya, karena saat ini Lucky justru menginginkan pernikahan tertutup, karena Lucky benar-benar belum siap. "Oooh selain tiga syarat tadi, Susan juga mau Tuan memberikan Susan mahar, juga uang pane untuk Ayah. Kan lucu kalo Susan nikah tapi gak ada mahar atau uang pane. Paling tidak , Susan juga mau orang-orang kampuang tau kalo Susan itu udah nikah. Meskipun laki-laki yang menikahi Susan itu laki-laki tua kayak Tuan Lucky. Maksud Susan, Susan juga mau adain syukuran kecil-kecil lah. Apa itu boleh?!" ucap Susan takut, tapi mata dan kuping Lucky langsung terasa panas ketika Susan justru mengatainya laki-laki tua. "What! Kau mengatakan aku tua...?!" syok Lucky dengan mata yang membulat sempurna dan Susan tanpa merasa berdosa langsung mengganguk. "Iya. Tuan kan emang tua. Bibi Marni bilang, umur Tuan udah tiga puluh tiga tahun, ya artinya Tuan udah tua dong. Sementara umur Susan kan baru sembilan belas tahun! Masa iya Susan bilang Tuan itu masih brondong. Kan aneh!" jawab Susan lagi, benar-benar terdengar sangat enteng bahkan Susan merasa tidak berdosa sudah mengatakan Lucky laki-laki tua. Susan hanya tidak tahu bagaimana populernya seorang Lucky di kalangan wanita sosialita. Dia tipe laki-laki idaman para wanita modern karena selain tampan, Lucky juga termasuk golongan laki-laki mapan lagi kaya, tapi lihatlah, Susan malah dengan entengnya mengatakan Lucky itu laki-laki tua. "Oh sabar Lucky. Sabar. Ingat... Saat ini kamu butuh wanita yang mau bersedia bekerja sama denganmu untuk menjadi istrimu. Selebihnya, jangan pikirkan itu, atau Papa kamu akan benar-benar mengumumkan sayembara untuk mencarikan kamu istri dan itu jauh lebih parah karena resikonya lima puluh persen saham perusahaan kamu akan jatuh ke tangan wanita itu , dan itu benar-benar bencana." Batin Lucky. Lucky menarik nafas sebanyak yang bisa ditampung oleh rongga dadanya kemudian melepaskannya dengan sangat pelan. Kembali melakukan hal yang sama untuk meredam rasa tidak terimanya ketika seorang wanita mengatakan dirinya tua, padahal faktanya memang seperti itu. Senyum tipis lantas terbit dari bingkai wajah tampan Lucky, dan detik berikutnya Lucky justru mengangguk dengan mata terpejam dan Susan tentu saja tersenyum sumringah. "Baik. Katakanlah. Berapa yang kamu minta?" tanya Lucky setelahnya , dan Susan semakin tersenyum seraya mengambil ponselnya kemudian mengaktifkan panel kalkulator di layar ponsel itu. Dia terlihat mengotak-atik layar ponselnya sebelum akhirnya dia berucap... "Susan mau Tuan ngasih Susan uang dua belas juta, dan ngasih uang pane ke ayah dua puluh lima juta. Karena butuh biaya cukup banyak untuk bikin acara syukuran, dan nanti kalo ada sisa, Ayah bisa pake untuk nambah modal usaha! Bagaimana Tuan!" jawab Susan. Sedikit ragu juga takut, tapi ya mau bagaimana lagi, Susan benar-benar butuh uang dua belas juta saat ini. Lucky terlihat berpikir, keningnya terlihat berkerut seolah menandakan keraguan pada diri laki-laki itu, dan tentu saja Susan berpikir jika mungkinkah permintaannya itu terlalu besar, dan setelahnya Tuan Lucky justru akan menganggapnya wanita matrealistis! Namun di luar dugaan Susan, menit berikutnya Tuan Lucky justru angkat suara. "Serius... Kamu hanya menginginkan itu saja?!" Lucky seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja Susan minta padanya, sementara Susan justru bersusah payah menelan salivanya sendiri karena takut juga gugup jika benar laki-laki yang saat ini duduk bersandar pada ujung nakas samping televisi itu justru tidak setuju. Oooh sungguh. Susan tidak bisa melewatkan kesempatan ini. Kesempatan untuk mendapatkan uang dua belas juta itu. "Kenapa Tuan. Apa itu terlalu banyak?" tanya Susan dengan suara bergetar, tapi Lucky hanya terlihat menatap wanita itu tajam. "Anu... Kalau itu terlalu banyak, Tuan bisa menawar kok? Bagaimana kalo sepuluh juta, ooh atau sembilan juta saja. Bagaimana Tuan? Tawar saja!" seru Susan , dan kali ini Lucky justru menggeleng, dan reaksi itu justru semakin membuat Susan khawatir jika sampai Lucky tidak menyanggupi penawarannya itu. Namun detik berikutnya Lucky juga langsung bangkit dari duduknya, dan kini berdiri di depan Susan yang masih duduk di kursi kayu ruang tamu, lalu Lucky mengulurkan tangannya di hadapan Susan. "OKE DEAL!" jawab Lucky. Susan mendongak tinggi, lalu ikut bangkit dari duduknya. Menatap tangan putih Lucky di depannya dengan tatapan bingung. "DEAL apa Tuan?" tanya Susan sedikit ngeleg. "Ya deal. Kamu kan minta mahar dua belas juta dengan uang pane ke Ayah kamu dua puluh lima juta. Ya deal. Aku setuju!" jawab Lucky dan bola mata Susan kini terlihat semakin berbinar, sumringah. "Serius Tuan? Tuan akan ngasih Susan mahar dua belas juta itu?!" kutip Susan memastikan dan Lucky langsung mengangguk. "Yes..." jawab Lucky dan Susan lantas memeluk pinggang Lucky seraya meninjunya gemas. "Ah terima kasih Tuan. Terima kasih . Oooh aku akan sangat berhutang padamu setelah ini!" ucap Susan sambil mendongak, dan lagi-lagi Lucky merasa aneh dengan wanita ini. 'Bukankah memberikan mahar dan uang Pane adalah kewajiban dari mempelai laki-laki, kenapa Susan justru mengatakan jika dia akan sangat berhutang padanya? Oh apa-apaan ini...? Emang Susan membutuhkan uang itu untuk keperluan apa?!' batin Lucky Lucky mendorong sebentar tubuh Susan untuk menjauh, karena sungguh dia merasa sangat risih dengan posisi itu, dan Susan buru-buru meminta maaf. "Oh maaf Tuan. Susan terlalu bersemangat. Jadi lupa kalo kita belum... " Susan menyatukan ujung jari telunjuk kiri dan kanannya seraya menggeleng-gelengkan tubuhnya di hadapan Lucky karena sungguh dia benar-benar malu dengan ekspresi semangat yang tadi dia tunjukkan di hadapan laki-laki yang baru beberapa menit yang lalu dia kenal. Lucky hanya terlihat menghela nafas dalam diam kemudian menghembuskannya dengan sangat pelan, akan tetapi dalam hatinya diam-diam Lucky justru tersenyum melihat tingkah lucu bin menggemaskan seorang Susan, gadis kampung yang ukuran badannya setinggi botol Yakult. Setelah pembicaraan antara Susan dan Lucky mendapatkan kesepakatan, Lucky juga langsung mengutarakan keinginannya untuk segera menikah. Namun pak Mus yang mempercayai sebuah mitos tentang hari yang baik untuk melakukan ritual pernikahan tentu saja dia tidak akan melewatkan tradisi itu, dan iya menit berikutnya Pak Mus juga mendatangi rumah orang bijak yang dikenal bisa meramalkan juga memprediksi hari yang baik untuk melakukan pernikahan berdasarkan tanggal lahir dari kedua calon pengantin, dan pastinya Pak Mus meminta kartu tanda penduduk Lucky lebih dulu untuk mengecek tanggal lahir laki-laki itu, dan menurut orang bijak itu, hari dan tanggal yang baik untuk Lucky dan Susan melangsungkan pernikahan berdasarkan tanggal lahir keduanya adalah hari itu juga. *** Jam baru menunjukkan angka dua siang, saat pak Mus juga ketua RT setempat datang dengan membawa tiga orang saksi lain untuk pernikahan Susan dan Lucky, karena pak Mus benar-benar yakin dengan ucapan orang bijak itu, sementara Lucky hanya membawa Rudi dan bibi Marni sebagai saksi dari pihaknya. Tanpa persiapan, juga tanpa gaun pengantin atau riasan mahal seperti pernikahan pada umumnya, hari itu Susan benar-benar di nikahi oleh seorang Diego Lucky Matteo, di rumah ibadah setempat setelah Lucky juga memberikan mahar juga uang pane yang Susan minta. Keduanya berphoto seraya menunjukkan jari tangan mereka yang kini sudah memakai cincin pernikahan, juga menunjukkan buku nikah berwarna merah dan hijau mereka sebagai bukti pasti jika mereka benar-benar sudah sah sebagai suami istri, dan setelahnya photo itu juga Rudy kirim ke nomer ponsel Matteo juga Wenda, selaku orang tua Lucky, agar kedua orang itu tidak lagi mendesaknya untuk segera menikah. "Jadi bagaimana sekarang. Apa yang harus Susan lakukan setelah ini?" tanya Susan pada Lucky dan Marni setelah mereka kembali ke rumah pak Mus, ayah Susan "Bagaimana apanya?!" Marni balik bertanya. "Apa...!" "Kamu akan langsung ikut pulang denganku. Bersiaplah!" ucap Lucky to the poin . "Tapi Tuan...!" "Bukankah sekarang aku sudah menikahi mu, dan kamu sudah menjadi istriku yang sah. Lagi pula aku sudah memberikan mahar kamu secara tunai beserta uang pane pada ayahmu, lalu apalagi?!" potong Lucky dan Pak Mus hanya menatap sendu ke arah putrinya, begitu juga dengan Marni. "Tuan Lucky benar nak Susan. Sebagai istri yang baik, emang lebih baik nak Susan langsung ikut pulang sama Tuan Lucky!" timpal Marni seraya merangkul punggung keponakannya. "Tapi Bik... Ayah tadi bilang mau bikin acara syukuran lusa. Kalo Susan ikut pulang, lalu siapa yang akan bantu ayah mengurus semua keperluan untuk syukuran itu!" ucap Susan sedikit tertahan , tapi Lucky justru terlihat menarik nafasnya. "Syukuran kan lusa, kita bisa balik ke sini lusa untuk bantu mempersiapkan semua keperluan untuk syukuran itu. Lagi pula apa kamu pikir para tetangga tidak akan ikut membantu ayahmu untuk acara itu...!" ujar Marni menenangkan Susan karena memang begitulah sistem gotong royong di kampung. "Bibi mu benar Susan. Tenanglah Ayah bisa mengurus semua itu. Kamu kan sekarang sudah menikah dan hal yang sangat wajar jika mulai sekarang dan seterusnya tanggung jawab Ayah atas diri kamu kini sudah sepenuhnya menjadi tanggung jawab suami kamu!" ucap pak Mus dan Marni langsung mengangguk, sementara Lucky hanya tersenyum. "Tapi Ayah..." "Susan. Dengarkan Ayah. Kamu sudah setuju untuk menikah dengannya dan resikonya ya ini. Kamu harus taat dan patuh pada suamimu dan menjadikan dia prioritas utama kamu sekarang, sementara Ayah... Ayah akan baik-baik saja di sini. Lagi pula kita masih bisa telpon - telponan untuk bertukar kabar, lalu apa yang kamu khawatirkan!" potong Pak Mus setelahnya, dan kali ini Susan tidak lagi berkata apa-apa. Dia hanya menunduk setelah mengangguk menyetujui apa yang ayahnya ucapkan. Susan langsung mengemas beberapa pakainya, dan membawa uang dua belas jutanya, juga ijazah terakhirnya . Mengemasnya pada tas jinjing ukuran sedang sebelum Marni membantunya untuk memasukkan tas itu ke dalam mobil. "Ayah jaga diri baik-baik ya. Jangan terlalu sering begadang. Telpon Susan kalo Ayah kenapa-kenapa. Susan pasti akan datang menyambangi Ayah!" ucap Susan saat bersiap masuk ke dalam mobil milik Lucky, dan Pak Mus hanya tersenyum menenangkan kegelisahan putri semata wayangnya. "Tenanglah. Ayah akan baik-baik saja. Seharusnya Ayah yang harus khawatir dengan kepergian kamu, jaga diri kamu baik-baik, dan jadilah istri yang baik untuk suami kamu. Namun jika dia berani menyakiti kamu, jangan ragu-ragu untuk menghubungi Ayah. Ayah akan membuat perhitungan dengannya, ayah akan bawa padam kebakaran . Ingat... Hari ini dia hanya menjadikan kamu istrinya, tapi sampai kapanpun, kamu akan tetap menjadi putri kecil kesayangan Ayah . Paham!" balas pak Mus dan Susan mengusap pipinya yang basah, lalu tersenyum dengan mata yang sedikit memerah. "Ayah tenang saja. Percayalah Susan bisa menjaga diri Susan sendiri. Dan jika dia berani macam-macam atau menyakiti Susan, Susan akan membalasnya. Tenanglah. Susan kan punya jurus batu dan petir yang diajarkan BoBoiBoy!" ucap Susan dan pak Mus hanya mengangguk pasrah. Pasrah untuk benar-benar melepas putrinya di bawa oleh laki-laki asing, yang bahkan dirinya tidak kenal. Hanya karena dukungan dan keyakinan Marni, adik iparnya, pak Mus benar-benar menyerahkan putrinya untuk di nikahi. Susan melambaikan tangan saat meninggalkan rumah ayahnya, dan pak Mus mengikuti mobil itu sampai keluar dari gerbang bahkan sampai beberapa meter dari jalan setapak itu dan lagi-lagi Susan tidak bisa mengalihkan pandangannya dari kaca spion ketika melihat ayahnya mengikuti mobil itu seolah laki-laki itu masih berat untuk melepaskan dirinya, dan Susan baru melepaskan pandangannya dari kaca spion itu setelah bayangan ayahnya menghilang di kejauhan. Mereka duduk dengan tenang, dengan Marni duduk di kursi depan sebelah kemudi bersama Rudi, sementara Susan dan Lucky memilih duduk di kursi penumpang belakang kemudi. Tidak ada percakapan apapun selama di perjalanan menuju kota. Hanya sesekali Rudi atau bibi Marni bersuara, dan entah kenapa Susan justru merasakan gugup yang begitu mendominasi. Rasa gugup ketika dia harus membayangkan dirinya akan bertemu langsung dengan kedua orang tua Lucky , dalam artian mertuanya. Dua jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di kediaman Matteo saat hari sudah beranjak petang. Marni lebih dulu turun dengan membawa tas jinjing milik Susan, di susul Lucky dan Susan di belakangnya. Gugup dan takut. Susan semakin merasa gelisah saat melihat dua orang paruh baya berdiri di depan teras utama rumah besar itu, seperti sedang menunggu kedatangan mereka , terlebih lagi ekspresi wajah keduanya terlihat tidak begitu bersahabat. Seperti sedang menatapnya dengan tatapan intimidasi dan penolakan. Takut. Susan berjalan di belakang punggung Lucky, seolah ingin menyembunyikan dirinya dari tatapan tidak bersahabat kedua paruh baya itu, dan saat Susan menaiki anak tangga teras rumah itu, kedua paruh baya itu justru............
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN