Menantu Mini

2110 Kata
Kemarahan orang tua Lucky. Takut. Susan berjalan di belakang punggung Lucky, seolah ingin menyembunyikan dirinya dari tatapan tidak bersahabat kedua paruh baya itu, dan saat Susan menaiki anak tangga teras rumah itu, kedua paruh baya itu justru terpaku melihat wanita yang sudah putra mereka nikahi. "Apa yang Mama dan Papa lakukan di sini? Apa kalian lagi nungguin kang bakso lewat....?" Lucky menyapa dengan gaya sengkleng kedua orang tuanya, tapi Matteo hanya menatap putranya dengan tatapan tajam, sementara Wenda justru mendorong tubuh tinggi putranya untuk menyingkir dari hadapannya, agar dia bisa melihat secara langsung wanita yang katanya sudah dinikahi oleh Lucky beberapa jam yang lalu. "Minggir kau Lucky... Mama mau liat menantu Mama!" ujarnya tidak sabaran dan Susan justru salah tingkah , kehilangan tubuh Lucky untuk menyembunyikan tubuh dan wajahnya. "Mama... Pelan dikit napa!" Lucky protes , tapi Wenda sama sekali tidak peduli keluhan putranya. "Oh my God. Dia manis sekali Lucky...!" Seru Wenda dengan mata berbinar, tapi Susan justru semakin merasa kikuk dengan perasaan serba salah dan gugup. Wenda lantas mengitari tubuh Susan, seolah wanita itu ingin memeriksa Susan dari ujung kaki sampai ujung rambut dan dari depan sampai belakang. Memperhatikan warna kulit juga pakaian yang digunakan gadis mini itu dan Wenda masih tidak bisa merangkai kata untuk mengungkapkan bahwasanya ada yang aneh dari putri menantunya. "Dia manis... Sangat manis. Hanya saja tubuhnya agak mini Lucky...!" ujar Wenda jujur. "Tapi tidak apa-apa. Mama menyukainya. menyukai pilihanmu," sambung Wenda lagi. "Liat model rambutnya... Oh gaya apa ini? Pasti di potong asal pake kapak ya...?" ucap Wenda seraya menyibak sedikit rambut pendek Susan, dan Susan hanya bergidik ngeri dengan penilaian Wenda akan dirinya yang begitu terus terang, seolah wanita itu tidak memikirkan, mungkin saja dia akan tersinggung dengan kalimat-kalimat yang baru saja lepas dari bibirnya. "Mama... Jangan ngomong gitu dong. Nanti istri Lucky ngambek...!" Lucky mencoba menghentikan pandangan menelisik ibunya, tapi alih-alih berhenti dan acuh atas penolakan putranya, Wenda semakin geleng-geleng dengan ekspresi tersenyum ketika mata itu terus memperhatikan wanita berbadan mini itu. "Tapi iya Lucky , sekali lagi Mama bilang jika dia sangat manis dan Mama suka!" ucap Wenda dengan senyum teduh juga ramahnya, dan setelahnya dia mengulurkan tangan di hadapan gadis itu untuk memperkenalkan diri. "Mamanya Lucky!" seru Wenda dengan senyum yang terlihat begitu tulus, dan Susan membalas senyuman itu dengan senyuman yang sama seraya menerima jabat tangan paruh baya itu. "Susan SCM!" balas Susan, dan Wenda kembali menatap gadis itu ketika menyebutkan namanya. "Susan SCM?" kutip Wenda mengulang dua suku kata nama dari gadis itu, dan tentu saja Susan langsung mengangguk. "Iya Nyonya. Susan SCM!" Susah mempertegas jika itu adalah benar. "SCM itu nama kah?!" Wenda berseru dengan tatapan bingung ke arah gadis itu dan kali ini Susan justru kembali tersenyum dengan ekspresi nyengir. "SCM itu singkatan Nyonya. Susan SCM, atau Susan Si Centil Manis!" jawab Susan sambil nyengir, dan Wenda justru langsung menoleh ke arah suaminya seolah dia benar-benar menemukan sesuatu yang menurutnya unik bin langka. "Aaah iya. Susan SCM. Susan si centil manis. Ah nama itu benar-benar sangat cocok untuk kamu Sayang. Kamu memang benar-benar sangat manis!" seru Wenda dengan senyum lepas lalu merangkul punggung Susan, putri menantunya, dan Susan yang justru kali ini semakin merasa kikuk. "Mama benar. Dia memang sangat manis!" kali ini Matteo yang ikut menimpali seraya mengulurkan tangannya di hadapan Susan untuk memperkenalkan diri dan tentu saja Susan langsung membalas jabat tangan laki-laki tampan dengan rambut separuh memutih itu, dan tanpa memperkenalkan dirinya, Susan langsung tahu siapa laki-laki yang saat ini berjabat tangan dengannya karena itu sudah pasti ayah dari Lucky, tapi meski begitu laki-laki itu tetap memperkenalkan dirinya sendiri. "Ayo masuk. Mama sudah menyiapkan sesuatu untuk kamu!" seru Wenda benar-benar bersemangat dan Susan lagi-lagi hanya tersenyum kikuk. Wenda membawa Susan masuk rumah besar itu, kemudian menariknya ke ruang tengah, lalu meminta asisten rumah tangganya untuk membawa apa yang mereka sudah siapkan. Lucky hanya mengikuti dari arah belakang, sementara Marni masuk dari arah pintu samping. "Duduk Sayang. Duduk dulu!" seru Wenda, dan Matteo juga Lucky hanya mengikuti kedua wanita itu. "Ooh katakan. Sejak kapan kamu sama Lucky saling kenal dan mulai saling jatuh cinta?" tanya Wenda terus terang dan Matteo terlihat bersemangat untuk mendengar jawaban gadis itu. "Tadi pagi Nyonya!" jawab Susan santai. "Tadi pagi? Maksudnya?" kutip Wenda dan Susan langsung mengangguk dengan sangat cepat, tapi Lucky buru-buru angkat suara, seraya bangkit dari duduknya, lalu berpindah tempat duduk ke sebelah Susan, kemudian merangkul punggung Susan seraya menariknya dalam pelukannya, berusaha untuk menghentikan kekacauan yang mungkin saja akan Susan katakan tepat di hari pertama mereka menjadi pasangan suami istri. "Aah iya. Tadi pagi Mama!" potong Lucky buru-buru, dengan senyum yang dia paksa semanis mungkin. "Kami udah kenal lama, pacaran juga udah cukup lama, tapi memang baru tadi pagi Lucky mengutarakan niat Lucky untuk menikah dengannya dan ternyata dia setuju , begitu juga dengan ayahnya. Jadi sebelum dia berubah pikiran, Lucky langsung menyiapkan pernikahan dadakan. Secara Mama kan nggak sabaran pengen punya mantu, entar kalau Lucky menundanya besok atau lusa, bisa jadi dia justru berubah pikiran dan tidak mau menikah dengan Lucky, jadi itu tadi. Lucky menyegerakannya sebelum dia berubah pikiran!" jelas Lucky dan Susan langsung menoleh ke arah Lucky, tapi Lucky justru semakin menarik pundak Susan untuk berada dalam dekapannya. "Apaan sih Tuan. Kan kita memang baru tadi pagi saling kenal. Kapan kita pacaran?!" bisik Susan dengan sangat lirih, tapi Lucky tetap hanya mengangguk seraya memamerkan senyum terbaiknya di hadapan ibu dan ayahnya. "Aaah good job Lucky. Kamu emang anak Papa yang paling keren. Harusnya kamu mengajaknya menikah kemarin-kemarin, jadi Papa dan Mama tidak perlu sibuk-sibuk noh nyariin kamu calon istri kalau tahu kamu punya pacar semanis dia!" timpal Matteo dan Susan hanya terlihat nyengir. "Nah itu. Itulah alasan kenapa dari kemarin-kemarin Lucky nggak mau Mama dan Papa cariin cewek buat Lucky, ya karena ini. Susan ini langka lho Ma. Dimana coba kalian akan mendapatkan mantu seperti dia, jadi kudu di sembunyikan dulu. Takutnya di curi laki-laki lain!" ucap Lucky dan Wenda langsung mengangguk setuju. "Kamu benar Lucky. Meski dia berbadan mini, tapi dia unik. Mama suka!" Wenda ikut menyaut, dan Matteo langsung memberikan dua ibu jari tangannya di hadapan Lucky dan Susan, dan menit berikutnya dua asisten rumah tangga selain Marni datang membawa nampan berisi kue dan minuman. Wenda mengambil satu cangkir minuman itu kemudian memberikannya secara langsung kepada Susan sebagai penghormatan jika Susan diterima di keluarga itu, dan tentu saja Lucky meminta Susan untuk menerimanya lalu meminumnya sebagai bentuk bahwasanya Susan kini sudah menjadi bagian dari keluarga mereka, karena memang itulah tradisi di keluarga itu. Tidak hanya itu, kali ini Matteo juga mengambil alih satu piring kue di atas nampan yang asisten rumah tangga itu bawah, kemudian menyerahkannya secara langsung kepada Susan dan lagi-lagi Lucky meminta Susan untuk menerima kue itu dan memakannya karena itu adalah simbol keterikatan mereka satu sama lain mulai hari ini. "Jadi katakan Lucky. Katakan sama Papa. Apa kamu pernah menikmati Susan?!" tanya Matteo yang justru terdengar ambigu di telinga Lucky juga Susan, detik berikutnya Wenda justru menepuk paha Matteo karena sudah begitu terus terang menanyakan perkara intim itu. "Papa... Apaan sih!" bisik Wenda lirih. "Menikmati Susan... Maksud Papa apa?!" heran Lucky. "Aaah itu lho Ky... anu itu...?" ujar Matteo yang justru terdengar semakin ambigu di telinga Lucky juga Susan yang memang tidak mengerti kemana arah pembicaraan laki-laki beruban itu. "Anu...anu apaan sih pa...?!" Lucky masih tidak mengerti. "Papa jangan gitu dong. Gak enak. Malu sama Susan!" bisik Wenda lagi , tapi Matteo benar-benar gendeng. "Is kamu ini. Itu lho. Anu itu!" ucap Matteo sambil menepuk-nepuk tangannya dengan posisi tangan kiri di bawah tangan kanan di atas lalu menggerakkannya turun naik, tapi baik Lucky ataupun Susan benar-benar tidak mengerti apa maksud Matteo. "Apa...?!" Lucky bingung, tapi detik berikutnya Wenda justru menyumpal bibir suaminya untuk tidak berbicara, apalagi menanyakan perkara itu lagi. "Sudah. Jangan di dengarkan. Papa kamu kehabisan obat. Jadi agak ngaco kalo ngomongnya!" ucap Wenda menengahi, dan meminta Susan untuk melanjutkan menikmati kue-kue yang dia suguhkan, jangan sampai wanita itu justru merasa tidak mendapat sambutan baik di hari pertama dia datang di rumah itu, dan iya lagi-lagi Susan hanya bisa mengangguk dengan senyum kaku meskipun Susan juga langsung menyadari jika kedua paruh baya di depannya adalah orang yang baik, persis seperti apa yang dikatakan oleh bibi Marni. Susan mulai mencoba satu persatu kue kue di piring cantik itu, dan benar saja, semuanya sangat enak. Susan belum pernah makan kue seenak ini. Pernah, pernah menikmati kue serupa hanya saja rasanya tidak sama dan jelas kue-kue di hadapannya ini rasanya jauh lebih enak dari kue yang sebelumnya dia nikmati di kampungnya. "Bagaimana Sayang. Bagaimana kue kuenya. Apa ...!" "Ini enak Nyonya. Ini , ini dan ini juga enak!" jawab Susan menunjuk ke kue-kue yang sudah dia coba tadi. "Ayo. Tuan Lucky juga harus mencobanya!" ucap Susan lagi, meraih satu potong kue warna - warni untuk dia berikan pada Lucky. "Eeeh kok manggilnya Nyonya sih. Panggil Mama dong. Kan sekarang kamu udah jadi putri menantu Mama, gimana sih!" tegur Wenda untuk panggilan nyonya yang masih Susan serukan untuknya. "Terus tadi apa... Kamu masih manggil suami kamu dengan panggilan Tuan...oooh mana bisa kek gitu Susan. Panggil dengan panggilan sayang dong!" "Aaah iya Mama. Susan lupa. Mungkin karena tadi Susan gugup... Jadi lupa panggilan Mama nya!" ralat Susan dan Wenda mengangguk sumringah. "Jangan lupa. Kau juga masih harus memanggilku, Papa!" Matteo tidak ingin ketinggalan , dia ikut menimpali dan lagi-lagi Susan hanya bisa mengangguk seraya memamerkan barisan giginya yang rapi hingga membentuk sebuah senyuman kelegaan. "Iya Tuan Papa!" jawab Susan dan suasana di ruang tengah itu langsung terasa hangat juga ramai karena obrolan Wenda, Matteo dan Susan, karena hanya mereka bertiga yang berbicara a sampai z sementara Lucky sendiri hanya terlihat diam sambil menopang kepalanya yang pusing dengan sikap kedua orang tuanya juga wanita yang baru hari ini resmi menjadi istrinya. Bukan istri kontrak ataupun istri di atas kertas, karena Lucky memang tidak menawarkan perjanjian apapun secara tertulis kepada Susan, karena Lucky memang tidak menginginkan itu. Meskipun iya, Lucky memang menyetujui beberapa syarat yang Susan minta sebelumnya untuk bisa menikahi wanita berbadan mini itu. Meskipun saat ini tidak ada cinta dari kedua belah pihak, akan tetapi Lucky sadar dan mengenal betul bagaimana karakter kedua orang tuanya. Jika kemarin-kemarin mereka tidak sabar untuk melihat Lucky menikahi seorang wanita, tidak menutup kemungkinan setelah ini mereka akan kembali ricuh dengan menginginkan sesuatu yang lebih. Maka dari itu Lucky memang tidak menyampaikan syarat dan poin-poin penting pernikahan mereka, karena dengan cara itulah Lucky sedikit bisa menekan Susan untuk tetap bertahan dengan kesepakatan mereka. Marni hanya mengintip dari sisi dinding, kemudian menghela nafas lega seraya menahan dadanya penuh rasa haru karena apa yang dia khawatirkan sebelumnya tidak benar-benar terjadi. Iya, Marni sempat khawatir jika Susan tidak akan diterima oleh kedua orang tua Lucky mengingat Susan hanya gadis kampung, ditambah ukuran badannya yang terbilang sangat mini dengan tinggi hanya seratus lima puluh sentimeter, kontras sangat jauh jika dibanding dengan tinggi badan Lucky yang seratus delapan puluh delapan sentimeter. Ibarat kata Susan itu jari kelingking, sedangkan Lucky itu jari tengah, jadi sangat wajar jika sebelumnya Susan sangat syok melihat tinggi badan Lucky, bahkan Susan langsung mengatakan jika Lucky adalah tiang listrik, karena Lucky memang sangat tinggi untuk ukuran laki-laki Indonesia. Setelah mengobrol banyak, akhirnya Lucky dan Susan beranjak ke kamar, dan entah sejak kapan kamar Lucky di hias seperti itu. Benar-benar menyerupai kamar pengantin, hingga membuat Susan berpikir jika sebenarnya Lucky memang sudah menyiapkan ini jauh hari sebelumnya, padahal itu semua murni Wenda yang melakukannya, dan Lucky sama sekali tidak tahu menahu. "Jadi sekarang aku akan tidur di mana Tuan?" tanya Susan setelah kaluar dari kamar mandi dan berganti baju dengan baju tidur motif hello Kitty, sementara Lucky masih mengunakan celana bahannya, juga kemeja yang dia pakai sebelumnya. "Tidur di kasur lah. Emang di mana lagi!" jawab Lucky santai, tapi Susan langsung bergidik ngeri sambil menahan kerah bajunya. "Terus Tuan tidurnya di mana?!" tanya Susan lagi, "Ya di kasur juga lah. Kan kita sekarang suami istri, Susan?!" sarkas Lucky yang sudah mengambil tempat di sini sebelah ranjang itu. "Eeeeh gak bisa gitu dong Tuan. Kan sebelumnya Tuan udah setuju agar kita tidak melakukan itu, tapi kenapa sekarang Tuan malah ingkar!" Susan syok, merasa di bohongi, tapi Lucky justru hanya terlihat menghela nafas lalu membuangnya dengan enteng. "Iya. Aku memang mengatakan untuk tidak akan melakukan itu sama kamu, Susan, tapi kan aku tidak mengatakan jika kita akan tidur di kamar atau ranjang terpisah!" balas Lucky dengan sangat jelas dan lugas, dan Susan langsung beranjak lebih dekat ke arah ranjang itu. "Tapi Tuan...." Belum selesai kalimat yang ingin Susan katakan untuk menyanggahi semua argumen Lucky, saat tiba-tiba Lucky justru menarik tangan Susan hingga Susan jatuh ke atas tubuhnya dan detik berikutnya.......
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN