Bab 2

1031 Kata
Hari ini, agenda para santri adalah menikmati sunset di pantai seminyak. Mereka sibuk bermain air dan membuat istana pasir di pinggir pantai. Natalie melangkah menuju tempat Fakih duduk di bawah pohon kelapa, membawa sebuah kelapa muda utuh lengkap sedotan di tangannya. “Minum ini, Ustad! Sepertinya es kelapa muda seger banget diminum sambil melihat sunset,” kata Natalie riang, duduk di samping Fakih. Fakih menoleh dan sedikit terkejut. Ia memperhatikan senyum lebar Natalie dan kelapa muda di tangannya. “Terima kasih,” ucapnya singkat, menerima kelapa muda itu. Ia bahkan hanya melirik sekilas ke arah Natalie, membuat semangat wanita itu langsung melorot seketika. Natalie berusaha tetap ceria. “Mau beli makanan, Ustad? Ada bakso yang terkenal enak disini!” “Nggak perlu, saya belum lapar,” jawab Fakih datar. Natalie menggigit bibirnya menahan dongkol. Ini bukan pertama kali Fakih cuek padanya. Tetapi ia sudah bertekad memenangkan taruhan Sarah dan membuat ustad tampan ini jatuh cinta padanya. Tanpa berkata banyak, Fakih bangkit dan membawa kelapa muda utuh itu ke arah sekelompok santri. Ia berlutut di hadapan salah satu anak laki-laki berwajah lusuh dan berkata hangat, “Kamu mau minum? Ini buat kamu.” Anak itu mengangguk malu. Fakih lalu melubangi kelapa muda itu dan menyerahkannya. “Alhamdulillah, Ustad. Terima kasih banyak,” ucap anak itu, matanya berbinar. Fakih hanya tersenyum tipis dan mengusap kepala anak itu. “Sama-sama. Nikmati, ya,” katanya ramah. Sementara itu, di kejauhan, mata Natalie membulat dan tangannya terkepal erat. “Kurang ajar! Kan gue ngasih kamu, kenala malah diberikan orang lain? Awas kamu, Ustad,” gerutunya dalam hati. Sarah dan teman-temannya dari kejauhan tertawa kecil melihatnya. “Gimana, Nat? Susah ya naklukin ustad sombong itu?” ledek Sarah. Natalie menarik napas dalam dan mengibaskan rambutnya. “Tenang aja. Ini baru satu hari. Nggak ada yang bisa nolak pesona gue terlalu lama,” katanya percaya diri, meski dalam hati ia mengakui bahwa Fakih benar-benar bukan lelaki yang mudah ditakhlukkan. Sarah tersenyum nakal. “Seminggu di Bali dan jangan lupa mobil gue, ya!” Natalie mengangkat dagunya. “Catat, Sar. Gue pasti dapetin dia!” Di sudut pantai, Fakih tampak berdiri menatap deburan ombak, sementara para santri bercengkerama riang di sekitarnya. Ia menjaga jarak darinya, begitu teguh dalam prinsipnya. Natalie memandanginya lama. Bukan hanya soal taruhan, tapi entah mengapa, ada sesuatu dalam diri ustad muda itu yang membuatnya semakin penasaran. Ia bertekad, apa pun caranya, harus membuat lelaki itu menatapnya lebih dari sekadar tour guide. “Siap-siap aja, Ustad. Kita lihat siapa yang lebih keras kepala,” gumam Natalie. Dini hari itu, udara di Kintakun begitu menusuk hingga ke tulang. Matahari belum sepenuhnya terbit, dan kabut tipis bergelayut di sela-sela perbukitan. Para santri sudah berbaris di tepi bukit untuk menunggu matahari muncul. Sementara itu, Natalie berdiri menggigil di samping Fakih, menatapnya dari sudut mata. Ia kemudian merogoh termos kecil dari dalam tasnya dan menuangkan kopi hangat ke dalam gelas kertas. “Kopi, Ustad,” ucapnya lembut sambil mengulurkan gelas. “Biar anget.” Fakih sempat meliriknya sekilas. Angin pagi membuat jubahnya berkibar dan wajahnya tetap tenang seperti biasa. Kali ini, dia mengulurkan tangan dan menerima gelas itu. “Terima kasih,” katanya pendek, lalu menyesapnya perlahan. Natalie menahan senyum puasnya dan berpura-pura sibuk meniup-niup telapak tangannya sendiri. “Dingin banget ya, Ustad,” celetuknya, mencoba mencairkan suasana. “Alhamdulillah. Ini bagian dari ciptaan-Nya,” jawab Fakih datar, tetapi kali ini ada sedikit kelembutan dalam suaranya. Natalie meliriknya cepat. Ia ingin berkata lebih banyak, ingin membuatnya bicara lebih lama. “Kita sarapan yuk, Ustad. Nanti makin dingin kalau perut kosong,” ajaknya, berharap kali ini Fakih mau berbincang lebih hangat. Namun lelaki itu hanya menggelengkan kepala. “Nggak perlu, saya bisa menunggu,” jawabnya singkat. Natalie menggigit bibirnya menahan kecewa, tetapi segera memaksakan senyum. “Oh, yaudah,” katanya ringan. Tak lama kemudian, matahari pun muncul perlahan di ufuk timur. Cahaya jingga berkilau di balik perbukitan, membuat hamparan danau di kejauhan tampak berkilauan. Para santri bersorak riang, sebagian sibuk memotret pemandangan, sementara Fakih tetap berdiri tegak, wajahnya terpantul cahaya matahari pagi, menenangkan hati siapa pun yang melihatnya. Natalie diam-diam memperhatikan wajah teduh itu. “Apa ya rasanya dicintai lelaki seperti dia?” batinnya, sedikit terkejut dengan pikiran sendiri. Setelah puas menikmati matahari terbit, mereka pun beranjak menuju bus untuk melanjutkan perjalanan. Angin pagi makin menusuk saat mereka menapaki jalanan setapak menurun menuju parkiran. “Bismillah,” gumam Fakih saat menaiki tangga bus. Ia lalu melangkah menuju kursinya di baris depan. Natalie ikut naik dan duduk di deretan kursi agak belakang. Baru saja ia menghempaskan tubuhnya, dua santri sudah berdiri di lorong membawa beberapa kotak makan. “Sarapan dulu, Ustad,” ujar salah satu santri sambil tersenyum. “Alhamdulillah,” jawab Fakih, menerima nasi kotak itu. Natalie memperhatikan sejenak. Fakih membuka kotaknya dan mulai makan dalam diam. Tak ada senyum, tak ada kata tambahan. Lelaki itu begitu tenang, bahkan ketika makan sekalipun. Natalie menatap kotaknya sendiri, kemudian melirik lagi ke arah Fakih. “Kalau mau membuatnya bicara lebih banyak,” pikirnya dalam hati, “gue harus lebih sabar dan lebih kreatif.” Ia menarik napas panjang dan bergumam lirih, “Gue pasti bisa,” diiringi senyum kecil di bibirnya. Hari ketiga perjalanan, Natalie makin frustasi. Ia baru sadar bahwa mendekati Fakih tak semudah membalikkan telapak tangan. Lelaki itu terlalu cuek, terlalu dingin, dan seperti punya tembok pembatas yang susah ditembus. Pagi itu, di sudut lobby hotel, Natalie mondar-mandir, menggigit kuku jarinya dengan mata menatap kosong. “Gue harus apa ya, biar dia mau lihat gue? Masa cuma sekadar senyum dan kasih kopi doang,” gumamnya kesal. Tiba-tiba Sarah muncul dari arah restoran. “Hei, kenapa loe kayak ayam mau bertelur begitu?” tegurnya, tertawa kecil. Natalie menoleh cepat, nyengir kecut. “Gara-gara taruhan loe nih,” sungutnya. “Ustad Fakih itu nggak mempan gue godain. Gue mau nyerah aja!” “Yah, masa baru tiga hari gitu aja nyerah?” Sarah menaikkan sebelah alisnya. “Mana semangatnya? Ingat, Honda Civic gue itu lhooo, Nat!” Natalie mendengus, merapatkan cardigan ke tubuhnya. “Gue harus gimana, sih? Dia beneran cuek banget. Gue kasih es kelapa, dia kasih ke santri. Gue kasih kopi, dia diem aja. Mau ngajakin makan bareng malah dikacangi.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN