Bab 3

932 Kata
“Lihat di sana, anak-anak,” ucap Natalie hangat sambil menunjuk ke arah kura-kura besar, “ini kura-kura hijau. Usianya bisa mencapai puluhan tahun, bahkan lebih lama dari kita.” Hari ini, agenda mereka ke tanjung benoa. Ustad Fakih imgin santrinya bisa bermain dengan penyu-penyu langka yang dilindungi . Ustad Fakih berdiri tak jauh di belakang Natalie, selama menjelaskan, mata Natalie tak pernah lepas dari wajah Fakih. Bukan hanya memandang wajahnya, melainkan juga memperhatikan caranya berbicara, memperhatikan senyumnya saat lelaki itu bercanda tipis pada santri. Tiba-tiba, Ustad Fakih berhenti bercanda dan menatap tajam Natalie. “Mbak Natalie, bisa nggak fokusnya sama penyu saja?” pinta Fakih dengan tenang. Natalie buru-buru menggelengkan kepala, wajahnya memerah. “Ah, maaf, Ustad.” Natalie pun melanjutkan penjelasannya. Fatih mulai merasa risih karena diperhatikan sedekat itu oleh wanita yang bukan muhrimnya. Ia berusaha mengabaikannya dan tetap fokus mengawasi anak-anak. --- Siang harinya, mereka melanjutkan perjalanan ke air terjun Tegenungan. Begitu sampai, suasana asri dan suara gemericik air membuat hati terasa lebih sejuk. Namun, baru beberapa saat mereka menikmati pemandangan, mendung tebal menyelimuti langit. “Sepertinya mau hujan,” gumam salah satu santri. Belum sempat mereka berteduh, hujan deras mengguyur kawasan itu. Para santri berlari mencari tempat berteduh di warung terdekat, sementara Natalie sibuk melindungi kepalanya hanya dengan tangan. “Ya Allah, basah semua ini,” keluhnya sambil melangkah cepat. Fakih, yang berjalan di belakangnya, melihat betapa kerepotannya Natalie. Ia berpikir sejenak, lalu tanpa ragu melepaskan sorban dari kepalanya dan berlari mendekat. “Pegang ini,” ucap Fakih lembut, menutupkan sorban di kepala Natalie. “Agar kepalamu tidak kehujanan.” Natalie terkesiap dan mendongak. “U-Ustad…?” “Sudah, cepat jalan,” perintahnya. Natalie menggenggam sorban itu erat-erat dan bergegas menuju warung terdekat. Ia bisa merasakan kehangatan sorban dan wangi tubuh Fakih yang menempel di kainnya. Begitu sampai di warung kecil, Natalie menoleh ke arah Fakih dan buru-buru menyerahkan sorban itu kembali. “Terima kasih banyak, Ustad,” katanya sedikit terengah-engah. Fakih mengangguk singkat, memeras sedikit ujung sorban agar airnya keluar. “Lain kali kalau mau pergi ke air terjun, jangan lupa bawa payung atau jas hujan,” katanya datar, namun matanya sekilas memperhatikan wajah Natalie. “Iya, Ustad. Saya pasti ingat,” jawabnya dengan senyum kecil. Perasaan hangat menyelimuti d**a Natalie. Tak hanya merasa nyaman, tapi juga ada rasa lain yang tak bisa dia pungkiri saat dia bersama Fakih. *** "Ustad, penduduk sekitar hotel, meminta Ustad untuk berkhutbah di masjid mereka jumat besok, apa Ustad bersedia?" tanya Natalie saat lelaki itu baru saja turun ke lobi hendak sarapan di restoran. Fakih melihat ponselnya kemudian mengangguk. "Besok adalah hari terakhir kita disini, rasanya, tidak masalah kalau sebelum pulang, kita sholat jumat dulu disini." Ini adalah kali pertama Fakih berbicara panjang padanya. Natalie pun mengangguk dan pamit. Keesokannya, Natalie mengarahkan santri-santri menuju masjid setempat, sebuah masjid tua di dekat hotel tempat mereka menginap. Jantungnya berdegup kencang saat ia melihat Fakih melangkah menuju mimbar. Jubah putihnya berkibar karena dihembus angin. Dengan sorban di kepalanya dan mata teduhnya, lelaki itu tampak begitu berwibawa dan tenang. Natalie memperhatikan dalam diam, debaran jantungnya berdegup lebih cepat. “Allahu akbar…” suara azan menggema, dan khutbah Jumat pun dimulai. Dengan suara yang lantang dan jernih, Fakih menyampaikan khutbahnya. Ia berbicara tentang keteguhan iman, kesabaran dalam menghadapi cobaan, dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Setiap kata yang meluncur seolah meresap langsung ke hati Natalie. “Allah tidak akan meninggalkan hamba-Nya,” ucap Fakih di sela khutbahnya, suaranya begitu menenangkan. “Ketika kita merasa sendiri dan kehilangan arah, di situlah Allah paling dekat. Dia mendengar rintihan hati yang bahkan tak terucap.” Tanpa sadar, mata Natalie memanas. Ia menundukkan kepala, dan sebutir air mata meluncur di pipinya. Fakih melanjutkan khutbahnya, dan di bagian penutup, ia melantunkan beberapa ayat Al-Quran. Suaranya begitu merdu dan khusyuk hingga membuat d**a Natalie bergetar. Ia tak tahu pasti arti setiap ayatnya, tetapi entah mengapa hati kecilnya merasa hangat dan damai. Setelah sholat Jumat selesai dan para santri berhamburan keluar masjid, Natalie menunggu di teras masjid hingga Fakih keluar. Lelaki itu tampak baru selesai bercakap-cakap dengan beberapa jamaah. Ketika Fakih melangkah menuju sandalnya, Natalie pun memberanikan diri mendekat. “Ustad,” panggilnya lirih. Fakih menoleh. “Ya, Mbak Natalie?” Natalie menggigit bibirnya, menahan degup kencang di d**a. “Tadi… saya dengar khutbah Ustad,” ucapnya hati-hati. “Saya nggak tahu banyak soal Islam, tapi mendengar Ustad bicara dan melantunkan ayat tadi membuat hati saya… terasa hangat.” Ia berhenti sejenak dan menarik napas. “Bolehkah saya… belajar mengenal Islam lebih dalam?” Sejenak, Fakih tampak terkejut. Matanya menatap wajah Natalie, mencari kesungguhan di sana. Ketika melihat binar tulus di mata wanita itu, senyum kecil melintas di bibirnya. “Alhamdulillah,” jawabnya tenang. “Tentu saja boleh. Islam adalah agama untuk semua, Mbak Natalie. Jika memang Mbak ingin belajar, saya dan teman-teman di pesantren pasti siap membantu.” “Benarkah?” wajah Natalie langsung bercahaya. “Saya ingin belajar, Ustad. Sungguh.” Fakih mengangguk pelan. “Insya Allah, nanti di pesantren akan saya kenalkan Mbak pada salah satu santri putri senior. Dia bisa menjelaskan banyak hal soal dasar-dasar Islam. Dan kalau mau, Mbak bisa mulai belajar membaca Al-Quran juga.” Natalie mengerjap, merasakan hangat di d**a. “Terima kasih banyak, Ustad. Saya benar-benar ingin tahu lebih banyak soal agama ini.” Fakih merapatkan kedua tangannya di depan d**a. “Semoga Allah memudahkan jalan Mbak menuju hidayah. Amin,” katanya lembut. “Amin,” sahut Natalie hampir berbisik, matanya berkaca. Senyum di bibir Natalie pun mengembang. "Aku mungkin tidak dapat menjadikanmu pacar, Ustad. Tapi aku yakin, kamu akan menjadi suamiku... suatu saat nanti."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN