"Sudah datang rupanya. Kenapa lambat sekali??" tanya Gerald yang kini sudah berdiri di depan gundukan tanah salah satu rekannya ini.
"Biasalah. Ada yang ingin ikut," ucap Maxime dan Gerald langsung melirik ke arah mobil Maxime, dengan Megan yang muncul di kaca mobilnya itu.
"Kenapa tidak membuangnya saja? Bukankah, sangat merepotkan dengan adanya dia??" ucap Gerald dan Maxime malah tersenyum kaku saja.
"Em, dia cukup berguna," ucap Maxime dan mata Gerald pun langsung menyipit.
"Bukan. Bukan hanya berguna di atas tempat tidur," ucap Maxime, yang berusaha untuk menjelaskan, biarpun hanya ditatap begitu saja, ia sudah sangat paham, apa maksud dari tatapan Gerald padanya ini.
"Ini lihatlah," ucap Maxime sembari membuka satu lengan jaketnya, yang tidak ia gunakan dan hanya sebagai penutup, bagi lukanya yang semalam.
"Aku pun tertembak semalam, saat akan menyelamatkan Devon. Tapi aku tidak mengatakannya dan Megan lah yang menolongku. Dia mengeluarkan peluru yang bersarang di lenganku ini. Bahkan, dia menjahit bekas lukanya dengan sangat rapi. Dia benar-benar bisa diandalkan. Dia cukup berguna," ucap Maxime dengan cukup ngotot.
"Kamu menyukainya? Kamu mencintai dia??" ucap Gerald dan Maxime pun tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa membahas hal ini, di saat kita sedang berkabung??" timpal Maxime.
"Karena tempat terakhir kita semua, adalah di sini," ucap Gerald dengan raut wajah yang nampak serius.
"Hari ini Devon dan satu persatu diantara kita semua, pasti akan menyusulnya juga. Entah besok, Minggu depan atau bisa juga malam ini. Pekerjaan kita ini, penuh dengan resiko Max. Apa kamu, akan melibatkannya juga?? Kalau dia berada di lingkaran hitam kita, bukan tidak mungkin, dia akan mendapatkan gilirannya juga," ucap Gerald dan tidaklah main-main.
Maxime terdiam. Ia sangat sangat tahu resiko dari pekerjaannya yang sekarang. Tapi untuk berpisah secepat ini, rasanya ia belumlah sanggup untuk melakukannya.
Megan mulai bosan. Pria di sana itu, kenapa lama sekali??
Sudah lebih dari tiga puluh menit, ia duduk diam di dalam mobil yang berhenti di pinggir jalan sempit ini. Mesin telah dimatikan, dan satu-satunya suara hanyalah detak jam di dashboard serta desah napasnya yang mulai berat karena bosan. Sinar mentari pagi inipun, sudah mulai menyeruak masuk melalui kaca mobil yang terbuka dan terasa silau serta mulai panas.
Megan menoleh ke arah kiri, memandangi gerbang tua yang terbuka sebagian itu, jalan masuk ke kompleks pemakaman lama yang tampak sepi dan seperti tidak terawat. Sementara sosok yang ditunggunya sedari tadi, malah berdiri saja di depan sebuah pemakaman bersama beberapa orang lainnya.
“Mau berapa lama lagi ini?” gumamnya pelan, separuh bicara pada dirinya sendiri.
Akhirnya, tanpa banyak berpikir lagi, ia membuka pintu mobil tersebut. Sinar matahari luar langsung menyergap, panas dan juga menyilaukan. Tapi langkahnya mantap, meski tanah basah sisa hujan semalam membuat sepatunya berat.
Deretan nisan berjajar diam, seolah mengawasi langkah kakinya. Rerumputan liar merambat di sela-sela batu, dan suara gemerisik dedaunan kering, mengiringi langkahnya yang perlahan.
Ia tak suka tempat seperti ini. Terlalu sunyi, terlalu penuh kenangan yang tak dimiliki olehnya. Tapi diam di dalam mobil pun tak menjanjikan ia sebuah kejelasan, kapan akan pergi dari tempat ini. Makanya, ia terus berjalan, menyusuri jalan setapak sempit yang melintasi tanah kuburan itu, berharap segera bertemu dengan orang yang di sana itu dan membawanya untuk cepat pergi dari sini.
Tinggal sedikit lagi saja. Tubuh Megan sampai kepada mereka dan saat sudah tinggal beberapa langkah lagi, mereka semua yang ada di sana, langsung segera menatap Megan, yang mencoba untuk melontarkan sebuah senyuman.
"Halo, adik ipar," sapa Gerald dan wajah Megan langsung memerah dalam sekejap. Jadi teringat tragedi di rumah yang dulu. Sudah ia naik ke tubuhnya, belum lagi, saat berhubungan di sofa malah ketahuan dia juga.
"Halo juga, Kak Gerald," jawab Megan.
"Perkenalkan, kami semua yang ada di sini, adalah kakak-kakak dari Maxime," ucap Gerald lagi dan Megan pun mulai menyalami orang-orang itu satu persatu, sambil menyebutkan namanya dan mereka pun melakukan hal yang serupa dengannya juga.
"Sepertinya, kamu sudah dijemput. Ayo, pergilah. Jangan buat dia menunggu terlalu lama," perintah Gerald dan Maxime pun nampak tersenyum miring.
Senang.
Ketika istrinya disambut hangat, oleh kakak-kakak seniornya ini. Dia disambut dengan baik di sini. Biarpun, setiap kata-kata dari Gerald tadi, masih memenuhi seisi pikirannya saat ini.
Maxime maju dan langsung merangkul pinggang Megan, dengan tangan kanannya.
"Ayo, kita pergi sekarang," ajak Maxime dan Megan pun tersenyum sambil mengangguk, kepada orang-orang yang berada di sana itu.
Maxime membawa Megan ke mobilnya dan seperti saat di awal mereka datang tadi. Megan lah mengemudi dan Maxime hanya tinggal duduk manis, sambil memperhatikan jalanan di depan maupun mengarahkan kemana jalan yang seharusnya mereka lalui.
"Kita mau kemana sekarang??" tanya Megan.
"Hotel," jawab Maxime dan Megan pun mendelik, lalu melirik sinis kepada Maxime.
"Buat apa ke hotel??" tanya Megan yang kembali memperhatikan jalanan di depan sana.
"Pesan kamar. Kita bisa pesanan makanan juga di sana. Kita makan sama-sama dan setelah makan, ya kamu tahulah, harus melakukan apa," ucap Maxime dan Megan terlihat geleng-geleng kepala sambil tersenyum masam.
"Dasar gila. Sakit juga, masih sempat-sempatnya," gumam Megan.
"Hm? Kamu mengatakan apa tadi??" tanya Maxime.
"Gak ada! Serius! Kita mau pergi kemana sekarang??" tanya Megan.
"Ke kantor saja. Aku harus mengurus pekerjaan di sana," ucap Maxime.
"Yakin ke kantor?? Kamu masih sakit kan??" ucap Megan.
"Ya, yang sakit cuma tangan kiriku. Tangan kananku, masih berfungsi dengan sangat baik. Apa lagi, bagaimana yang itu, masih bisa bangun dengan sangat kokoh," ucap Maxime sambil tersenyum menggoda.
"Ck! Urusi saja tanganmu dulu!" ketus Megan.
"Jadi, apa kita akan pergi ke hotel??" goda Maxime.
"Ke perusahaan! Sesuai keinginan kamu! Hotel hotel!" omel Megan.
Maxime tersenyum. Namun, senyumannya pudar dengan perlahan, saat ia kembali mengingat ucapan Gerald padanya. Harusnya melepaskan, karena semua itu, adalah demi keselamatannya juga. Tapi, apa ia bisa, bila tanpa wanita ini??
Hanya ingin kehangatan keluarga yang sesungguhnya. Yang di dalamnya ada dirinya, Megan dan juga anak mereka berdua.
Mobil dihentikan oleh Megan, sesaat setelah mereka sampai di tujuan mereka sekarang. Setelah itu, Megan pun menoleh kepada Maxime dan berbicara padanya lagi.
"Sudah sampai! Ayo turun!" seru Megan.
Maxime malah menggeleng perlahan dan juga mengulurkan tangan kanannya dan kemudian, ia juga mulai memajukan wajahnya dengan perlahan dan memagut bibir tipis, wanita yang langsung membuka kelopak matanya dengan lebar.