Mengelak

1103 Kata
"Ck! Nggak tahu ah!!" seru Megan yang nampak memalingkan wajahnya. "Hei, aku tanya serius. Sepertinya, kamu takut kehilanganku. Benar kan??" ucap Maxime dengan senyuman yang merekah. Biar sedang merasakan sakit, kalau sudah mulai menggoda istrinya begini, mana ingat dengan rasa sakitnya lagi? "Udah istirahat sana! Jangan malah ngoceh-ngoceh terus! Kamu mau sembuh gak!??" hardik Megan. "Tentu saja mau. Tapi, kamu belum jawab pertanyaanku yang tadi. Kamu, apa sebegitu takutnya kehilangan aku??" tanya Maxime lagi dan Megan malah berdecak sambil memperbaiki letak selimut, yang ada di atas tubuh Maxime ini. "Ayo tidur. Aku ngantuk!" cetus Megan yang sedang menaruh satu lipatan selimut yang tebal, untuk jadi pengganjal kepalanya sendiri. Baru saja kepala direbahkan. Suara bising menggema dari dalam selimut yang menutupi sebagian tubuh Megan. Maxime menatap pada sumber suara itu berasal. Sementara Megan kini, sedang memegangi perutnya sendiri dan kelihatan salah tingkah. "Lapar??" tanya Maxime. "Ya menurut kamu??" ucap Megan, yang langsung membeliak, saat Maxime malah akan turun dari atas tempat tidur. "Hei! Kamu mau kemana!??" seru Megan seraya menahan Maxime dengan memegangi bahunya. "Masak. Kamu lapar kan?? Jam segini, paling-paling cuma ada makanan cepat saji yang buka. Kamu jangan makan makanan yang tidak sehat. Harus yang sehat-sehat, untuk anak kita juga kan??" ucap Maxime. "Ya aku bisa masak sendiri nanti! Lagian, kamu sakit begini bukannya istirahat, malah mau jalan-jalan!" omel Megan. "Ya terus, masa aku biarkan kamu dan anak kita kelaparan? Mana mungkin," timpal Maxime, yang sudah akan bangun, tapi bahunya malah dicekal dengan kencang oleh Megan. "Jangan! Biar aku masak sendiri! Lagian, cuma masak! Aku juga bisa! Udah tidur sini! Jangan kemana-mana! Tangan kamu yang sebelah itu juga pasti mati rasa kan?? Emangnya bisa, masak cuma pakai satu tangan?? Udah tunggu di sini! Aku mau masak sendiri!" cetus Megan, seraya turun dari atas ranjang dan pergi ke dapur, untuk memasak makanannya sendiri. Pertama-tama, Megan sambil semua bahan dari dalam lemari pendingin ini. Kemudian, ia potong-potong saja sayuran maupun rempah-rempahnya juga. Bawang Bombay di masukkan dan ia tumis sampai layu. Aromanya sudah mulai tercium. Jadi, Megan memasak semua ini, dengan sambil menutup hidung. Mual. Tapi lapar. Ya sudah. Paksakan saja. Harus bisa mandiri, karena yang biasa memasak untuknya itu, saat ini sedang tak berdaya di atas ranjang. Oh bukan. Bukan lagi di atas ranjang. Tetapi sekarang, malah sudah berada di belakang tubuhnya saja dia ini. "Sini, biar aku yang masak. Hanya tinggal campurkan saja kan?? Tadi, sudah kamu potong-potong semua bahannya," pinta Maxime seraya mengulurkan tangan kanannya dan hendak mengambil spatula, yang berada di tangan Megan. "Kamu lagi sakit!" seru Megan dengan suara yang hampir tak jelas, karena sedang menjepit hidungnya sendiri dengan jemari tangannya. "Cuma tangan kiri. Tangan kananku masih berfungsi," ucap Maxime sembari mengambil paksa spatula dari tangan Megan. Ia juga, mengambil tempat Megan berdiri saat ini. "Sana. Tunggu di sana. Kamu mual cium aroma masakan ini kan?" usir Maxime. "Iya deh," ucap Megan, yang tidak mau lama-lama berdebat. Mual. Tidak tahan berlama-lama di sini. Megan berjalan lunglai sembari menghela napas dengan panjang. Dia duduk pada sofa dan menunggu kedatangan pria, yang sedang memasak untuknya itu. Sekitar sepuluh menit. Laki-laki yang mewakilinya tadi, akhirnya kembali lagi ke sini dan tentu saja tidak dengan tangan kosong. Dia membawa piring, yang berisi makanan, yang sudah ia buat dengan susah payah di dapur. "Ini, makanlah," ucap Maxime sembari menyajikan makanan di atas meja. "Aku coba sekarang ya??" izin Megan yang sudah memegang sendok dan mengambil sedikit, sampai di ujung sendoknya saja, lalu kemudian mencobanya. "Emmp... Enak," ucap Megan. "Ya sudah habiskan," ucap Maxime seraya tersenyum menatap Megan. Tapi selanjutnya, ia malah mendengar ponselnya sendiri berbunyi dan cepat-cepat menjawab teleponnya. "Ya? Ada apa??" tanya Maxime dengan ponsel yang sudah ada di daun telinganya. Maxime melirik Megan, yang sedang memperhatikan maupun mendengarkannya. Tapi kemudian, ia pun pergi dari sana dan berbicara di dekat balkon. "Ada apa??" tanya Maxime. "Devon kehabisan darah dan tidak tertolong lagi. Datanglah, ke pemakamannya besok!" Maxime menelan salivanya sendiri. Ia lirik Megan, yang tengah makan dengan perlahan dan seperti tengah menguping juga diam-diam. "Iya. Aku datang besok pagi," ucap Maxime. Maxime menutup teleponnya dan kembali lagi kepada Megan. Lantas, setelah selesai makan itupun, mereka berdua akhirnya tidur bersama-sama. Keesokan paginya. Maxime bangun lebih cepat, menurut dugaannya sendiri. Dia bangun dan menggeser tubuhnya pelan-pelan, agar tidak membuat bangun wanita yang ia kira tengah tertidur lelap. "Kamu mau kemana??" tanya Megan, saat kedua kaki Maxime sudah menyentuh lantai dan dia baru setelah berdiri untuk pergi. Maxime berdiri dengan tegak dan berbalik, lalu melihat Megan yang sudah bangun sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya sendiri itu. "Em, tidak ada apapun. Aku hanya... Aku ingin mencari udara segar di luar," ucap Maxime sembari mengambil kunci mobilnya. "Mau cari angin kemana, sampai bawa-bawa kunci mobil segala??" tanya Megan dan Maxime memutar bola matanya ke bawah, untuk mencari-cari alasan. "Eum... Cari angin sekalian cari sarapan," ucap Maxime berbohong. "Ok. Aku ikut!" cetus Megan yang segera bangun dan mencari-cari pakaian di dalam lemari. "Em, itu... kamu tidak usah ikut. Biar aku yang pergi sendiri," ucap Maxime. "Kenapa?? Kenapa aku nggak boleh ikut??" cecar Megan. "Ya tidak apa-apa. Cuma jangan ikut saja," balas Maxime dan Megan nampak tidak peduli. Ia ambil pakaiannya sendiri dari dalam lemari dan pria satu itu malah menggosok-gosok alisnya dengan satu tangan kanannya saja. "Pakailah baju berwarna hitam, kalau kamu memilikinya," ucap Maxime, yang sepertinya sulit sekali untuk menentang istrinya sendiri. Megan menarik lagi pakaian yang sudah sempat ia lewatkan di atas ranjang, kemudian, dia ganti dengan pakaian hitamnya itu di dalam kamar mandi, sekalian dengan membersihkan tubuhnya juga. Tetapi, Megan malah kembali, saat pintu kamar mandinya baru saja ia tutup rapat. "Sini berikan!" cetus Megan seraya menarik kunci mobil Maxime dan kemudian baru masuk ke dalam kamar mandi. Tidak terlalu lama. Megan telah siap dengan gaun hitam polosnya, yang memiliki panjang lengan hingga ke sikunya saja. Serta panjang gaun sekitar sepuluh sentimeter di bawah lutut. Megan keluar dari dalam kamar mandi tidak dengan tangan yang kosong. Dia membawa satu wadah air hangat, dengan handuk kecil di dalamnya. Tidak bicara apapun itu. Megan langsung mengelap tubuh Maxime saja dan menggantikan pakaiannya juga. Setelah beres, Megan dan Maxime pergi keluar bersama dengan Megan yang menyetir mobil, setelah sebelumnya dilarang Maxime. Tetapi ia bersikeras dan menyatakan bisa membawa mobil sendiri, jadi ya sudah. Ia iyakan saja keinginannya. "Di depan nanti belok kiri," perintah Maxime dan Megan sudah penuh sekali dengan kerutan yang ada di dahinya kini. "Sudah. Berhenti di sini," perintah Maxime tepat di sebuah tempat pemakaman. "Kamu tunggu di sini saja. Aku tidak akan lama," ucap Maxime sembari membuka pintu mobil dan berjalan melalui gundukan-gundukan tanah, yang berjajar dan sebagian ada yang tumbuh rumput di atasnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN